Oleh: Hasnan Bachtiar
Setelah peristiwa 11 September 2001, trend Islamisme semakin mendunia. Di satu sisi, kita patut bersyukur karena populasi Muslim semakin banyak. Namun di sisi lain, perkembangan ideologi-ideologi yang ada di sekitar wajah Islam global ini, menggelinding liar.
Di saat sebagian wajahnya muram durja, sebagian wajah yang lain sangat menggembirakan. Disebut muram lantaran menunjukkan geram, kemarahan dan upaya balas dendam yang berat. Sementara tampak gembira, karena ingin merayakan reformisme yang berorientasi pada progress dan pembangunan peradaban.
Wajah muram melekat pada gerakan Islam garis keras. Terutama Taliban yang hingga kini sibuk menggapai kekuasaan di Afghanistan, al-Qaedah yang menyelinap di berbagai organisasi keagamaan transnasional, ISIS dan berbagai turunannya yang bubar karena terus-menerus digempur pasukan militer banyak negara, dan seterusnya.
Di Indonesia, gerakan Islamisme yang ada, tidak selalu membenarkan berbagai aksi kekerasan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) misalnya. Meskipun, sebagian yang lain seperti Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) dan Jamaah Anshorud Daulah (JAD) teridentifikasi sebagai organisasi teroris yang lekat dengan kekerasan.
HTI sudah dibubarkan beberapa tahun yang lalu. Sedangkan JAT dan JAD, ditumpas habis oleh pasukan anti teror Polri, Densus 88. Sisa-sisa yang masih ada, masih terus diawasi secara ketat, diwaspadai dan diburu bila perlu.
Nah, gerakan-gerakan ini bukan sekedar gerakan semata-mata. Namun juga membawa serta ideologi keagamaan (transnasional) yang berbeda dengan kebanyakan pemahaman keagamaan yang ada di tanah air. Hal-hal umum yang menjadi keyakinan ideologi keagamaan garis keras adalah menganggap Barat (Eropa dan Amerika) sebagai musuh dan ideologi-ideologi yang berkembang di sana sebagai produk yang diciptakan kaum pengingkar agama.
Menurut kaca mata ideologi garis keras, Indonesia bukanlah negara Islam, Pancasila adalah ideologi pro-Barat yang sekular dan sistem politik yang ada adalah demokrasi yang bertentangan dengan sistem Islam (kekhalifahan global). Secara lebih jauh, konsekuensinya, Indonesia harus diislamkan melalui berbagai proyek Islamisasi. Sedangkan Pancasila, mesti digantikan oleh syariat Islam. Dan demokrasi yang berlaku, didorong menjadi sistem khilafah.
Sebagai ideologi, penyebarannya lebih cair dan leluasa. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak bisa diidentifikasi. Masalahnya adalah, ideologi garis keras tersebut juga merangsek masuk, menyusup dan bermutasi ke organisasi-organisasi keagamaan arus utama yang ada, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Karena itulah, belakangan kita menyaksikan adanya NU Garis Lurus dan Muhammadiyah Garis Lurus. Eksistensi mereka seolah menyatakan bahwa, NU dan Muhammadiyah telah bengkok atau mengikuti jalur yang berbeda arah dengan kebenaran sehingga perlu diluruskan. Beberapa pengamat seperti Sydney Jones, Greg Fealy, Greg Barton, Martin van Bruinessen, Najib Burhani, Vedi Hadiz, Marcus Mietzner dan Burhanudin Muhtadi melihat bahwa mereka muncul di hadapan publik secara intensif dalam kurun waktu 2014-2019.
Konteks kemunculan Islamis “Garis Lurus” ini, bergulir seiring dengan terselenggaranya momen kontestasi politik elektoral. Kekuasaan politik, dalam hal ini, menjadi agenda penting yang bermakna bagi penetrasi mereka di ruang publik. Selama hal ini berlangsung, berbagai peristiwa penting yang bisa kita ingat adalah kasus penistaan agama Ahok, demonstrasi 411 dan 212, popularnya sosok Rizieq Shihab, serta dilantiknya KH Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden republik ini.
Tapi sejarah tidak memihak mereka. Setelah Jokowi kembali terpilih sebagai Presiden, Prabowo sebagai kandidat oposisi yang sebelumnya mereka dukung, ternyata diangkat sebagai Menteri Pertahanan. Setelah keluar dari penjara, Ahok menjadi bagian dari kekuasaan (menjadi Komesaris Utama Pertamina) dan KH Ma’ruf Amin berhasil ter-deradikalisasi sehingga menjadi lebih toleran.
Pada akhirnya kita semua memahami bahwa dalam persoalan politik praktis, ideologi Islamis garis keras kalah. Para petarung politik, berhasil memanfaatkan ideologi-ideologi yang menentangnya – ideologi Islam moderat, Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan – dan memukul telak mereka. Program instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik telah berjalan dengan baik.
Tapi hal itu menjadi persoalan lain, ketika musim politik telah usai. Terutama, karena berbagai ideologi “Garis Lurus” tersebut, bermutasi ke dalam organisasi Islam yang ada, khususnya Muhammadiyah. Mereka seringkali menggunakan argumentasi-argumentasi keagamaan yang berkembang di dalam Muhammadiyah, dengan maksud dan tujuan berbeda.
Misalnya, mereka dengan tegas menyebut bahwa “Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar.” Hal itu memang benar dan tercantum di dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 4. Dengan penyebutan itu, mereka hendak menarik simpati massa agar supaya senantiasa berdiri sebagai oposisi dan menentang segala kebijakan pemerintah yang berkuasa. Kita bisa membaca bahwa, agenda politik “ideologis” ini belum selesai.
Terlebih bahwa, dalam penentangannya terhadap segala pandangan pemerintah, mereka menonjolkan pentingnya “nahi munkar”. Hal yang selama ini dipandang “absen” dari agenda besar Muhammadiyah. Memang Muhammadiyah telah berkhidmat di bidang pendidikan, kesehatan dan filantropisme, sebagai upaya menggenapkan misi amar ma’ruf-nya. Namun, dituduh sama sekali tidak memberikan kontribusi yang signifikan ketika terjadi kemunkaran.
Kemunkaran yang mereka soroti, sebenarnya berhubungan dengan masalah kompleks yang dihadapi bangsa ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa, Indonesia masih berjuang melawan korupsi, ketidakadilan sosial dan ekonomi, kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan lain sebagainya. Namun bukan berarti bahwa, “pemerintah yang berkuasa” lantaran menang dalam kontestasi politik praktis layak dijadikan kambing hitam.
Jelas bahwa diagnosa yang keliru, juga membawa kepada argumentasi dan preskripsi (obat penawar) yang keliru pula. Di samping itu, juga tidak benar menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak melakukan nahi munkar. Persoalan lainnya, apakah ber-nahi munkar harus beroposisi dengan pemerintah? Memang benar jika posisi masyarakat sipil adalah mengontrol pemerintah (yang menjalankan tugas kenegaraan) agar supaya memperhatikan kepentingan rakyat. Masalahnya posisinya bukan sebagai penentang, tapi sebagai mitra yang sama-sama berjuang memastikan berlangsungnya proses pembangunan.
Persoalan fundamental lainnya yang harus disinggung di sini adalah, sebenarnya Muhammadiyah bukan hanya “…gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar.” Tetapi “Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah.” Ada orientasi tajdid yang harus dilakukan. Dakwah dan tajdid tersebut merupakan aktualisasi dari Statuten Pertama ketika Muhammadiyah didirikan pada 1912. Muhammadiyah berjuang untuk “menyebarluaskan” dan “memajukan” ajaran agama Islam.
Dalam konteks ini, jelas bahwa mereka yang menyusup ke dalam tubuh Muhammadiyah itu, sama sekali tidak memahami ideologi dan sejarah Muhammadiyah dengan baik. Para aktivis Muhammadiyah garda depan seperti Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah dan bahkan Ketua Umum, Haedar Nashir, menyebut mereka dengan sebutan Muhammadiyah Salafi (Musal) atau Muhammadiyah “rasa” Salafi (Mursal). Artinya, ideologi kemuhammadiyahan mereka masih belum utuh dan perlu ditempa secara lebih serius, agar semakin sempurna.
Dengan dakwah dan tajdid, Muhammadiyah memberikan prioritas pada pembangunan masyarakat ilmu. Dengan kesadaran kaum Muslim yang lebih kritis dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka berbagai persoalan kompleks bangsa dan negara akan lebih mudah diselesaikan secara lebih konkret dan strategis. Jika masalah-masalah yang mendasar telah diatasi, maka “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” akan lebih leluasa dibangun. Masyarakat Islam yang demikian inilah yang akan mampu membangun peradaban kemanusiaan yang luhur.
Muhammadiyah yang demikian (yang membangun masyarakat ilmu), kiranya layak disebut sebagai Islam yang berwajah gembira, bergembira dan menggembirakan. Inilah Islam yang berkemajuan.[]
Hasnan Bachtiar, Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) alumnus the Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS) the Australian National University (ANU).