Perempuan dan Islam. Dua kata itu secara terpisah atau tidak selalu menjadi kata yang menarik untuk dikaji. Dari kacamata Islam melihat perempuan maupun perempuan memandang Islam, tetap akan menjadi pembahasan yang berkepanjangan.
Di Suara Muhammadyah Tahun 1925, HM Yunus Anis menulis artikel berjudul “Derajat Perempuan”. Di artikel tersebut Ketua PP Muhammadiyah tahun 1959-1962 ini menyatakan bahwa hanya di dalam agama Islam, kaum perempuan memperoleh kemuliaan, mendapat kemerdekaan dan derajat yang tinggi.
Apabila merujuk pada tradisi pra-Islam sebagaimana yang terekam dalam surat An-Nahl (16) ayat 58-59. Kehadiran Islam memang rahmat bagi perempuan, sebagimana kesimpulan Yunus Anis. Bagaiamana tidak, di ayat terekam betapa kejmanya tradisi masyarakat Pra-Islam dalam memposisikan kaum perempuan.
Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya (hidup-hidup) ke dalam tanah.
Kisah dalam Al-Qur’an ini bukan sekedar kisah majazi tetapi ini merupakan tradisi yang hidup secara nyata di masyarakat arab pra-Islam. Di masyarakat non arab juga tidak jauh berbeda. Sastra Yunani lama juga pandangan filosof purba juga cenderung meletakkan perempuan sebagai “musuh” peradaban. Di berbagai kebudayaan perempuan sering diangap sebagai “bukan manusia”.
Ada yang mengangapnya sebagai syetan pengganggu, ada pula yang menganggapnya sebagai mesin pencetak manusia baru, ada juga yang mengangapnya sekedar sebagai alat pelampiasan nafsu.
Ketia Islam datang, budaya yang tidak ramah bagi perempuan itu mulai dikikis habis. Pada budaya arab (juga udaya bangsa lain) pra Islam, perempuan biasa dianggap sebagai property yang dapat diberikan kepada siapapun, bahkan dijadikan barang warisan yang dibagi kepada para ahli waris.
Saat Islam datang, perempuan diangkat derajatnya sebagai “manusia” yang bahkan menjadi ahli waris. Dari barang warisan yang dapat diserahterimakan berubah menjadi ahli waris yang berhak menerima harta warisan. Ketika budaya masyarakat pra-islam membolehkan poligami tanpa syarat dan tanpa batas. Islam mebatasi poligami hanya empat dan dengan syarat harus adil. Sebuah syarat yang sangat berat yang juga disertai serangkaian ancaman apabila pelaku ternyata gagal memenuhi syarat keadilan tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu, ketika Islam mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia, budaya Islam juga bersilaturahmi degan budaya bangsa lain yang belum tercerahkan. Ada kalanya budaya lain tercerahkan oleh Islam, namun ada pula sebagian orang Islam, yang tergelapkan kembali oleh budaya yang baru dikenalinya tersebut. Termasuk budaya dalam memposisikan perempuan.
Akibatnya budaya yang kurang memanusikan perempuan itu sebagian juga terserap dan diamalkan oleh sebagian orang Islam, yang lambat laun dianggap sebagai budaya bahkan ajaran Islam. Dampak lanjutannya adalah lahir berbagai tradisi dan juga ajaran yang terkesan ingin menertibkan perempuan. Model pakaian dan ajaran domestifikasi perempuan adalah salah satunya. (isma).