Suara Muhammadiyah – Bagi masyarakat penganut sistem patriarki, keberadaan perempuan tidak lebih baik dari pada laki-laki. Sebaliknya, masyarakat penganut matriarki, keberadaan laki-laki tidak lebih baik dari pada perempuan. Rumusan ini, setidaknya memudahkan seseorang untuk menilai suatau bangsa, suku, ras, bahkan agama, akan kecenderungannya terhadap dua sistem ini.
Jika yang terus menerus dijadikan objek hukum adalah laki-laki, maka langsung maupun tidak langsung sebenarnya sistem matriarki-lah yang lebih berlaku. Kebalikannya, jika yang terus menerus dijadikan objek hukum adalah perempuan, seperti larangan keluar rumah tanpa mahram, larangan menggunakan celana, larangan keluar kos di atas jam 22.00, munculnya fikih perempuan, terbitnya buku adab al-mar’ah, dsb, semua membuktikan bahwa sebenarnya sistem patriarki-lah yang lebih dominan.
Kedatangan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, salah satu peranannya yang paling dirasakan, adalah dalam rangka mengharmoniskan hubungan perempuan dengan laki-laki. Menyetarakan peran dan fungsi perempuan sebagaimana hak dan kewajiban laki-laki sebagai hamba Allah sekaligus makhluk sosial. Itu salah satu alasannya, Abdul Mu’ti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah mengatakan, mengapa ayat-ayat yang turun di Makkah berkaitan erat dengan ketauhidan dan akidah.
Tidak salah jika kebanyakan menafsirkan sebagai strategi untuk membangun kekuatan keyakinan sehingga akan melahirkan militansi. Tapi dalam formula sosiologis, bahwa ayat-ayat tentang tauhid tersebut membawa kepada nilai egalitarianisme kemanusiaan. “Kalau orang itu hanya menyembah kepada Allah, maka selain Allah itu makhluk. Karena satu manusia dengan manusia lain merasa sesama makhluk, maka sesama makhluk itu tidak saling menindas,” terangnya.
Jadi dengan turunnya ayat-ayat akidah, diharapkan tercipta atau muncul masyarakat egaliter (egalitarianism society), yang hal itu merupakan formula untuk melawan masyarakat feodal (feudalism society). Termasuk ialah formula untuk melawan sistem patriarki, di mana perempuan pada saat itu menjadi makhluk rendahan, dianggap sebagai aib keluarga, dan tidak memiliki hak lain selain sebagai pelayan atau budak bagi para laki-laki.
Sayangnya, Lailatis Syarifah Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengkritik, nilai kesetaraan gender yang dibawa Rasulullah saw tidak berjalan lama. Setelah Nabi wafat, secara berangsur perempuan kembali kepada keadaan sebagaimana pra Islam. Perempuan kembali mendapatkan predikat sebagai makhluk yang paling pantas di belakang dan dipandang cukup saja mengurus rumah tangga. Hal ini semakin diperkuat dengan banyaknya aturan dan larangan (fatwa) seputar perempuan.
Mulai dari bermunculannya imam mazhab, Iman Maliki, Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Hambali, hingga sampai sekarang ini, dominasi laki-laki terhadap perempuan masih sangat kuat. Laki-laki lebih banyak memiliki kesempatan untuk berkembang dari pada perempuan.
Sebagai contoh, Alimatul Qibtiyah Komnas Perempuan menyebutkan keberatannya pada RUU Ketahanan Keluarga yang sedang dirumuskan itu. Salah satunya pada pasal 25 yang mengatur perihal hak dan kewajiban suami-istri, yang isinya antara lain bahwa seorang istri wajib untuk mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Padahal sekarang ini banyak istri yang juga turut mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga. Mestinya, tugas rumah tangga adalah kewajiban bersama dan dibicarakan bersama secara baik-baik oleh suami dan istri.
“Bisa dibayangin tidak, istri pulang kerja, begitu sampai di rumah ia masih harus mengurus perkerjaan rumah, jelas capek sekali menjadi seorang istri. Belum lagi pas ramadhan nanti. Pulang dari tempat kerja, istri masih diminta untuk menyiapkan makan untuk berbuka puasa. Sedang suami hanya menunggu dengan duduk-duduk. Maka kembalikan tugas rumah tangga kepada suami dan istri,” ucapnya.
Bukankah Rasul sendiri sangat memuliakan istrinya? Misalnya saja Siti Aisyah yang sangat diberi keleluasaan dan jalan untuk mengembangkan diri. Aisyah diberi kesempatan untuk belajar sehingga di kemudian hari ia tercatat sebagai perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadits. Karena kesempatan yang sama, ia juga dikenal sebagai salah satu perempuan tokoh politik yang juga dikenal sebagai pemimpin perang.
Atas dasar itulah, Chamamah Soeratno Ketua Umum PP Aisyiyah (Periode 2000-2010) mengatakan, organisasi perempuan Muhammadiyah diberi nama Aisyiyah (pengikut Siti Aisyah). Tujuannya jelas ingin menciptakan dan mendorong perempuan untuk tampil di depan sebagai pemimpin di masyarakat sebagaimana istri Nabi Muhammad tersebut. Tentu saja untuk melahirkan perempuan yang tangguh dan unggul, pendidikan menjadi kata kunci. Dengan pendidikan perempuan akan bangun dan bangkit sehingga tergerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia lain. Itulah yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah.
Memang, Chamamah mengakui, jauh sebelum Walidah dan Aisyiyah, sudah muncul perempuan-perempuan hebat seperti Nyi Ageng Serang, RA Kartini, Cut Nyak Dien, dan Dewi Sartika. Namun perjuangan mereka tidak mengalami keberlanjutan. Artinya usai mereka wafat, perjuangan mereka pun selesai. KH Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah memiliki format perjuangan yang berbeda. keduanya berkolaborasi mendirikan organisasi dan menjadikan Aisyiyah sebagai sebuah gerakan perempuan yang terus berkiprah dan berperan untuk umat hingga sekarang ini. Bahkan bisa dikatakan, sekarang ini organisasi Aisyiyah berjalan dengan rapih dan tertib. “Begitu tombol dipencet, semua lampu akan menyala (semua intruksi dan program tersosialisasikan dan dilaksanakan dengan baik dan menyeluruh),” ujarnya.
Tapi ternyata, kemerdekaan perempuan sebagaimana yang dicita-citakan Islam dan sudah dicontohkan Nabi, dipandang kurang tepat oleh sebagian muslim. Salah satunya Ideolog Syiah, Ali Syariati. Dibandingkan sosok Aisyah yang tampil ke permukaan publik, ia lebih memilih sosok Fatimah, ibu rumah tangga yang baik, perempuan yang dipandang tidak turut campur dalam urusan laki-laki. Dan baginya, perempuan Syiah cukup seperti Fatimah dan jangan seperti Aisyah. (gsh/rahel/diko).