Saat Keras Kepala dan Tidak Jujur Itu Terbukti Mencelakakan

Saat Keras Kepala dan Tidak Jujur Itu Terbukti Mencelakakan

Meski sudah menjadi permasalahan dunia, masih saja ada warga yang tidak peduli pada pandemi covid-19  ini.  Saat pemerintah telah teriak, ormas agama juga sudah membuat seruan dan himbauan untuk mecegah penyebarannya,  kepedulian warga belum juga tercipta secara sempurna. Masih saja warga yang menganggap diri dan keadaan sekitarnya baik-baik saja.  Dalam konteks seperti ini, antara bebal dan percaya diri terlalu sulit dibuat demarkasi.

Bagaimana tidak, saat kota Surabaya susah menyatakan diri sebagai daerah merah, masih saja ada orang yang keluyuran tanpa terpaksa. Nongkrong di warung kopi (café) misalnya. Dan saat pemerintah setempat melakukan razia sekaligus rapid test pada mereka, ada beberapa pengunjung cafe terkonfirmasi positif corona. Bencana karena paparan yang lebih besar tampak membayang akibat kebebalan ini.

Sungguh tidak dapat dibayangkan rangkaian penularan seperti apa yang dapat tercipta kalau pengunjung cafe yang positif corona itu tidak terjaring razia. Mereka tidak menunjukan gejala dan merasa sehat-sehat saja, tapi  dalam keadaan seolah baik-baik saja itu, dia akan terus membawa dan menyebarkan virus ke orang yang berinteraksi dengan dirinya.

Untung ada yang terjaring razia dan diketahui untuk kemudian diisolasi. Namun berapa yang sampai hari ini belum diketahui dan tetap keluyuran di warung kopi, mall, pasar, tempat ziarah, juga tempat ibadah? Mungkin jumlahnya lebih banyak dari yang sudah diketahui.

Oleh karena itu jangan merasa terlalu percaya diri virus ini tidak melekat kepada diri kita sehingga merasa baik-baik saja dan berhak keluyuran ke manapun. Ingat kasus di Italia, saat anak-anak muda keras kepala yang merasa dirinya baik-baik saja nekad keluyuran dan bakan membuat keramaian baru. Pada saat itu mereka memang baik-baik saja namun ternyata mereka membawa virus yang kemudian menginveksi anggota keluarganya yang tidak pernah ke mana-mana di waktu pandemi.

Sementara itu di Kediri, Grobogan, dan kota lain sejumlah tenaga medis “terpaksa harus cuti” dan menjalani isolasi mandiri karena ada pasien yang tidak jujur dalam menyatakan riwayat kesehatanya. Mereka menutupi beberapa fakta, yang ternyata tidak hanya membahayakan dirinya sendiri tapi juga orang lain.

Mungkin karena rasa takut yang berlebihan, para pasien ini tidak mau terus terang tentan gejala yang dirasakan dan riwayat perjalanannya, mereka mungkin takut menerima kenyataan sebagai ODP. Mungkin mereka sekedar menghibur diri atau menenangkan diri sendiri dengan menutup segala riwayatnya. Akibatnya, paramedis yang tidak mendapat informasi yang memadai itu saat memeriksa juga tidak melengkapi diri dengan alat pelindung diri yang jumlahnya saat ini memang terbatas.

Namun ternyata,  yang disembunyikan itu terbukti. Pasien itu di kemudian hari diketahui positif covid-19. Ada kemungkinan paramedis yang selama itu berinterakasi juga terpapar virus berbahaya ini.

Saat ini, terpapar wabah memang resiko tenaga medis. Namun, di tengah lonjakan jumlah pasien, berkurangnya tenaga medis yang jumlahnya juga terbatas sekalipun di waktu normal, bisa menjadi masalah serius yang patut disesalkan. Satu kerugian berganda tercipta karena ketidakjujuran.

Apalagi di negeri ini ketidakjujuran sering berpadu dengan kebebalan sebagian warga yang bangga bersikap keras kepala dan menentang semua otorasi yang ada, entah karena alasan apa.  Hari ini, tidak ada alasan lain bagi diri kita selain untuk peduli. Konon, pintu syurga ada yang terbuka untuk kita lewat sarana perbuatan kita menyingkirkan batu atau duri dari jalan.  (diko, isma)

Exit mobile version