Al-Qur’an menyebut umat Nabi Muhammad antara lain sebagai khairu ummah (Ali Imran: 110), ummatan wasathan dan syuhada alannas (Al-Baqarah: 143). Sebutan ini bermakna sebagai wujud keistimewaan, tantangan, harapan, dan sekaligus sebagai tanggung jawab peradaban. Umat Islam mengemban misi untuk mewujudkan cita-cita itu dalam kehidupan. Dalam realitas, kata Buya Ahmad Syafii Maarif, antara idealitas Al-Qur’an dan Islam yang kita praktekkan memiliki jurang yang lebar.
Wasath punya makna sebagai pilihan, adil, keseimbangan. Posisi wasathiyyah menghendaki umat Islam untuk berada di tengah dan tidak ekstrem dalam hal apapun. Dengan posisinya di tengah, ia mampu menjalin relasi dengan semua ragam agama, budaya, dan peradaban. Suatu komunitas tidak akan menjadi saksi atau syuhada’ alannas jika menutup diri dari lingkungan sekitar dan perkembangan dunia global.
Prinsipnya adalah keterbukaan: pikiran dan pergaulan. Keterbukaan memungkinkan manusia dari beragam latar belakang untuk saling memberi dan menerima. Keterbukaan akses ilmu pengetahuan akan bermanfaat bagi kemajuan peradaban. Informasi yang lengkap dan mudah diakses, akan mempercepat proses pembelajaran dan berguna dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan menjadi modal utama dalam mengemban peran kekhalifahan.
Umat terbaik atau khairu ummah, menurut Haedar Nashir, adalah umat yang menjunjung sifat rabbaniyah sebagai pantulan dari nilai-nilai ilahiyah (hablumminallah), sekaligus mencandra dan tercermin ke dalam sifat-sifat insaniyah yang mulia dan utama dalam relasi kemanusiaan (hablumminannas), yang kehadirannya menjadi rahmat bagi semesta alam.
Dengan prinsip keterbukaan, umat Islam yang unggul tidak akan ekslusif untuk hanya berbuat baik bagi komunitasnya. Ia akan berbuat baik dan berbagi rahmat yang bersumber dari-Nya untuk seluruh manusia, bahkan segenap ciptaan-Nya di alam raya. Keunggulan dan kemenangan tidak dimaknai sebagai sikap jumawa. Keunggulan dimaknai sebagai wujud amanah untuk dibagi kepada semua makhluk Tuhan, sang pemilik segalanya.
Nabi Muhammad di Madinah merupakan perintis dan sekaligus teladan dari masyarakat khairu ummah. Nabi mampu mengelola masyarakat majemuk dan menawarkan nilai baru yang lebih baik. Negara Madinah dengan prinsip kontrak sosial dan segala tatanannya, menjadi cikal negara bangsa. Sampai saat ini, rumusan negara bangsa menjadi salah satu capaian penting manusia dalam konsep kehidupan bersama. Prestasi Nabi di Madinah menjadi sesuatu yang bahkan melampaui zamannya. Begitulah laku khairu ummah.
Kehidupan Nabi di Madinah sering dianggap sebagai periode terbaik, sehingga banyak yang ingin kembali ke zaman ini secara literal-tekstual. Mereka ingin berpakaian seperti di masa Nabi, misalnya. Padahal yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal dan prinsip-prinsip dasar Nabi dalam mewujudkan peradaban yang utama. Nabi berjuang menegakkan kebaikan, keadilan, persaudaraan, dan seterusnya. Kita bisa meniru Nabi dalam ketekunannya membangun peradaban, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kepada cahaya.
Meniru Nabi dalam berdakwah juga bisa menjadi sesuatu yang penting. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1994) menyebut bahwa dakwah Nabi melalui tiga tahapan penting. Pertama, ketika menerima wahyu pertama, Muhammad dilantik menjadi Nabi. Wahyu selanjutnya, barulah Nabi ditasbihkan sebagai rasul. Kandungan wahyu pada periode ini berkisar tentang (1) pendidikan bagi Nabi dalam membentuk kepribadiannya, (2) pengetahuan dasar tentang sifat dan perbuatan Allah, dan (3) keterangan tentang dasar akhlak islamiyah.
Kedua, periode mulai terjadinya pertarungan hebat antara Islam dan komunitas jahiliyah. Pada masa ini mulai turun ayat-ayat yang berisi kewajiban, sekaligus kecaman dan ancaman bagi yang berpaling dari kebenaran. Namun, terdapat juga ayat-ayat yang berisi argumentasi tentang keesaan Allah, tanda-tanda dalam kehidupan, hingga tentang kepastian hari kiamat. Ayat-ayat yang turun dalam periode ini berusaha untuk memblokade paham jahiliyah.
Ketiga, periode ketika dakwah telah mulai berhasil. Umat Islam mulai menunjukkan prestasinya pada saat itu. Turun misalnya ayat Ali Imran ayat 64, Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Pada periode akhir menunjukkan bahwa umat Islam sebenarnya telah meraih kemenangan, ketika orang berbondong-bondong menuju kepada nilai ajaran Islam (Qs. An-Nashr: 1-2). Dipungkasi dengan Al-Maidah ayat 3 yang menyatakan telah sempurnanya risalah Islam. Keseluruhan proses itu memberi pelajaran bagi umat Islam dalam menyebarkan dakwah. Prinsipnya harus menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat dan mengedepankan argumen rasional yang sesuai konteks ruang dan waktu. Akhlak umat pemenang ditunjukkan Nabi ketika peristiwa haji wada’. Nabi berhasil menaklukkan hati penduduk Mekkah dengan jalan damai, tanpa dendam dan tanpa pertumpahan darah.
Dengan kemenangan itu, Nabi Muhammad berhasil menjadi Imam bagi semua kalangan. Mereka berbai’at dan menyatakan kesetiaannya. Menurut Nasaruddin Umar, kata ummah berasal dari bahasa Ibrani, alef-mem yang arti dasarnya cinta kasih. Dalam bahasa Arab, umm memiliki arti dasar ibu, yang memiliki cinta kasih yang paling dalam. Dari kata itu muncul kata amam (depan, unggul) dan imam (pemimpin di depan). Pemimpin itu bersikap tengahan dan kedudukannya ada di depan sebagai imam yang diikuti oleh semua jamaah. Dengan posisi tengahan, pemimpin mampu merangkul dan menjaga ritme komunitas yang dipimpinnya. Begitulah posisi umat Islam seharusnya.
Predikat sebagai imam peradaban menuntut tangung jawab besar. Di mata Kuntowijoyo, Ali Imran: 110 mengajarkan prinsip humanisasi (memperlakukan manusia secara arif dan bijak), liberasi (membebaskan manusia dari segala kemungkaran sosial, ekonomi, politik dan budaya), dan transendensi (refleksi keterkaitan dengan Allah). Khairu ummah merupakan predikat yang bersyarat. Jika umat Islam sudah tidak mampu menjadi imam peradaban, maka keistimewaan itu pun menjadi luruh. (ribas)