Andhita Dyorita Kh.,S.Psi, M.Psi, Psikolog
Wabah pandemi Covid-19 saat ini semakin meluas dan tersebar hampir di seluruh penjuru dunia. Di Indonesia sendiri, jumlah penderita Covid bertambah dengan cepat. Berbagai media tak henti memberitakan kondisi terkini. Baik media televisi, radio, media sosial, semua berita dan informasi merujuk sepurat wabah Covid 19. Dampak akibat covid 19 sangat bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Secara keseluruhan, kondisi ini mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial, budaya, fisik dan psikologis. Anjuran pemerintah untuk melakukan physical distancing dengan menjaga jarak dan membatasi interkasi tentu juga memberikan penyesuaian tersendiri bagi sebagian besar orang.
Kondisi Psikologis dan Imunitas Tubuh
Physical distancing berhubungan erat dengan perasaan terisolasi sehingga dapat menimbulkan kecemasan dan kesepian. Kecemasan masih dikatakan normal apabila memang ada suatu kondisi buruk yang dicemaskan. Siapa yang tidak cemas dengan adanya wabah ini? ditambah lagi dengan media yang terus menerus memberitakan bahwa pasien Covid-19 semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Tapi tentu saja hal tersebut akan menjadi boomerang bagi kita sendiri apabila kecemasan yang kita rasakan tidak bisa kita kendalikan. Apalagi jika kecemasan tersebut semakin meningkat karena adanya pikiran negatif yang tidak terkendali. Seperti berpikir bahwa pandemi ini akan semakin memburuk meskipun sudah melakukan physical distancing, berpikir bahwa dirinya bisa saja tiba-tiba tertular Covid-19, berpikir bahwa pekerjaan, karir, bisnis akan sulit diperbaiki, uang akan semakin sulit dicari, kehidupan ekonomi semakin sulit dan sebagainya. Dugaan atau pikiran negatif semacam itulah yang pada akhirnya membuat seseorang semakin cemas dan bisa jadi kehilangan harapan dan optimisme.
Anjuran pemerintah untuk bekerja dari rumah dan sekolah dari rumah juga membawa perubahan dalam keseharian. Kondisi ini ‘memaksa’ banyak dari kita untuk melakukan penyesuaian diri dan sosial. Sebagian orangtua mungkin ada yang merasa cukup kewalahan karena harus tetap bekerja dirumah sembari mengasuh anak. Belum lagi jika anak-anak masih duduk di bangku sekolah, tentu saja orangtua harus mengajar sekaligus membantu anak dalam menyelesaikan tugas-tugasnya dari sekolah. Sebagian besar masyarakat yang tidak bisa bekerja di rumah, seperti pekerja harian lepas, ojek online atau kurir yang tidak mempunyai pilihan selain tetap berlari menjemput bola. Hal tersebut tentu membawa kecemasan tersendiri bagi mereka. Secara global, pandemi covid-19 ini jelas memberikan perubahan yang signifikan terhadap kesejahteraan psikologis seseorang. Jika tidak dapat dikelola dengan baik perubahan ini bisa mengakibatkan kecemasan akut, stress hingga depresi.
Salah satu bagian otak yang bertanggungjawab untuk mendeteksi adanya stressor (penyebab stress) adalah hipotalamus pitutary adrenal (HPA). Fungsi hipotalamus yang paling utama adalah menjaga tubuh dalam kondisi homeostatis, yaitu memastikan dan mempertahankan semua sistem dalam tubuh berjalan dengan stabil. Hipotalamus merupakan pusat kontrol saraf autonom yang juga memproduksi hormon-hormon yang berhubungan dengan kesehatan tubuh. Salah satu hormon yang dikendalikan adalah hormon kortisol. Terlalu banyak atau terlalu sedikit hormon kortisol dapat mempengaruhi kesehatan tubuh kita. Saat kondisi stress, hormon kortisol meningkat dan akan memberikan efek seperti mudah pusing, rasa lelah yang berlebihan, tekanan darah meningkat, gula darah tidak stabil serta sulit konsentrasi. Ketika stress, amygdala, sebagai pusat emosi, juga memberikan respon dengan mengaktifkan sistem saraf otonom secara berlebihan. Tubuh kita seolah menghadapi ketakutan atau ancaman terus menerus sehingga selalu siaga. Akibatnya, munculah gejala psikosomatik seperti rasa mual atau ingin muntah karena asam lambung yang meningkat, denyut jantung semakin cepat, tekanan darah meningkat, terasa sesak napas dan tidak jarang ada yang merasakan nyeri di dada. Hal tersebut jelas menunjukan bahwa kecemasan dan stress tidak hanya mempengaruhi perasaan dan emosi, namun juga bisa mempengaruhi kesehatan.
Bagaimana cara mengelola kesehatan mental selama pandemi Covid-19?
Saat cemas dan stress, setiap orang mempunyai gejala yang berbeda-beda. Tapi secara umum ada beberapa gejala yang nampak, diantaranya gejala emosi seperti sulit menenangkan pikiran, merasa kesepian, suasana hati yang tidak menentu dan sering bingung. Gejala fisik seperti sering pusing atau migrain, mual, jantung berdebar dan mengalami gangguan tidur. Gejala perilaku ditunjukan dengan tidak mau makan atau makan berlebihan sebagai pelampiasan. Selanjutnya gejala kognitif yang ditunjukan dengan menurunnya konsentrasi, pikiran negatif dan perasaan pesimis.
Metode untuk menjaga mental kita agar selalu sehat dalam masa karantina seperti ini mencakup beberapa hal. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah membatasi informasi. Prioritaskan untuk mencari sumber berita yang terpercaya, sehingga tidak termakan hoax dan menambah rasa khawatir. Lakukanlah aktivitas yang positif seperti relaksasi, melakukan berbagai hobi yang disukai, berolahraga, memasak, berkebun atau menjadi pegiat kegiatan sosial. Selanjutnya, tetaplah terhubung dengan teman dan saudara, meskipun interaksi fisik dibatasi, tetapi kita masih bisa melakukan sosialisasi dengan berbagai media. Setidaknya kita tidak merasa sendiri dan bisa saling memberikan dukungan sosial.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah menjaga pikiran positif. Semua berawal dari cognitive appraisal atau penilaian kognitif, yaitu proses mental seseorang dalam menilai suatu kejadian dan memberi makna pada kejadian tersebut. Berpikir positif bukan berarti kita menyepelekan kondisi yang terjadi saat ini, tetapi suatu cara dalam menyikapi kondisi dari sudut pandang yang lebih baik. Saat kita memproses pikiran negatif dan overthinking, fungsi tubuh menjadi tidak maksimal karena tubuh tidak dalam kondisi homeostatis. Sebaliknya, saat kita menjaga untuk berpikir positif, sistem saraf dan hormon akan bekerjasama untuk menyeimbangkan kerja organ tubuh. Sehingga, tubuh menjadi lebih sehat secara fisik dan psikis. Berpikir positif juga termasuk sikap untuk selalu bersyukur pada Allah SWT atas apapun yang sedang kita alami saat ini. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kebersyukuran dapat menurunkan stress, depresi dan kecemasan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah saat kondisi cemas atau stress yang dirasakan sudah cukup mengganggu, sulit ditangani, mempengaruhi produktifitas dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Maka, sudah saatnya kita membutuhkan bantuan profesional. Jangan remehkan kesehatan mental dan tidak perlu ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog. Keep positive thinking, keep positive feeling. Salam sehat jiwa!
Andhita Dyorita Kh.,S.Psi, M.Psi, Psikolog, Dosen Prodi S1 Psikologi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA), Kepala Biro Layanan Psikologi (BLP) UNISA