Sebulan sudah anak-anak sekolah melakukan aktivitas belajarnya dari rumah. Dan selama corona masih menjadi pandemi, yang sampai saat ini belum bisa ditentukan kapan akan berakhir, maka selama itu pula pembelajaran daring akan menjadi pilihan utama.
Ketika anak-anak msaih terpksa bersekolah dari rumah masing-masing. Itu artinya peran guru sebagai pendidik, bukan sekedar transfer of knowledge tapi juga transfer of value, sedikit atau banyak terkikis oleh keadaan. Lalu siapkah orangtua berperan menjadi guru bagi anak di rumah? Jawabnya adalah harus. Orangtua harus mau tampil sebagai guru dari anak-anaknya. Tidak hanya untuk masa pandemi ini saja, tapi hal ini mesti dilakukan orangtua tatkala di rumah.
Keharusan menjadi guru “dadakan”, bagi sebagian orangtua mungkin dipandang sebagai rutinitas yang lumrah. Sering dilakukan dalam kesehariannya. Tapi ternyata tidak sedikit orangtua yang selama ini sudah berpangku tangan dan memasrahkan sepenuhnya (pasrah bongkokan) pendidikan anak kepada sekolah maupun lembaga pendidikan lain. Dalam hal pengetahuan umum, anak dipasrahkan sepenuhnya kepada sekolah. Dalam hal agama anak dititipkan sepenuhnya kepada TPA/Q atau masjid.
Begitu di rumah, anak kehilangan sosok guru. Yaitu sosok yang mengajari banyak tentang ini dan itu, sekaligus sosok manusia bermoral yang dalam perilaku dan perkataannya mengadung berbagai nilai dan nasehat. Sebab dalam lingkungan sekolah, ada pembiasaan penguatan karakter anak, yang dilakukan oleh guru dan murid secara bersama-sama. Seperti pembiasaan shalat dhuha, shalat dhuhur, bersih-bersih kelas, membuang sampah pada tempatnya, disiplin, serta pembiasaan budaya literasi dengan mendekatkan anak pada buku dan aktivitas menulis.
Apakah kegiatan sebagai upaya pembentukan karakter di atas juga dilakukan anak-anak sekolah saat belajar dilakukan dari rumah? Atau justru sebaliknya, asal anak-anak sudah mengumpulkan tugas, karena umumnya guru hanya mampu melakukan pembelajaran daring dengan tugas-tugas dalam bentuk mengerjakan soal-soal, kemudian anak dibebastugaskan dari aktivitas lain.
Bebas ber-hp-ria dalam durasi tak terbatas, mengurung diri dalam kamar tanpa komunikasi, dan tanpa disiplin. Bangun tidur bebas kapan saja sesuka anak, pergi tidur pun lewat tengah malam bahkan jelang pagi, dan mandi serta bersih-bersih diri tidak lagi jadi aktivitas pertama. Kalau demikian cerminan umum anak-anak sekolah ketika di rumah, layaknya hari libur, maka wajar jika sekarang tumbuh subur generasi malas pemuja segala hal yang instan.
Sebagian orangtua ada yang menyadari akan pentingnya kehadirannya bagi pendidikan anak, sebagaian lagi mungkai memang abai. Mayoritas memilih alasan klasik, yaitu sebagai orangtua yang terpenting adalah mencari nafkah. Tugas dan perang yang lain dianggap tidak penting dan benar-benar dikesampingkan.
Mestinya, sesibuk apapun orangtua, pendidikan anak jangan terlampau diabaikan. Walau kemampuan pengetahuan orangtua tak sehebat anaknya, orangtua tetap memegang peran dalam hal mendidik anak. Jangan sepenuhnya pasrah terhadap orang lain, inilah pelajaran penting dari adanya pendemi corona. Lewat aktivitas belajar dari rumah, terkait urusan pengetahuan, anak-anak bisa akses ilmu lewat internet. Tapi dalam hal pembiasaan hal-hal baik dan pembentukan karakter, mestinya orangtua tampil di depan sebagai teladan. Misalnya membudayakan bangun pagi, bersih-bersih, dan mandi, shalat tepat waktu, memberlakukan jam belajar, jam bermain, dan jam istirahat. Intinya orangtua harus bisa menjadi pemandu anak, agar hal-hal positif yang dibudayakan di sekolah bisa diaplikasikan juga di rumah. Sehingga rumah juga memiliki fungsi pendidikan layaknya sekolah. (gsh).