Pagebluk

Pagebluk

Cerpen  : Erwito Wibowo

   Desa terpencil itupun terpapar informasi adanya wabah pademi covid 19, lantas masyarakat desa tersebut menyebut pagebluk, sesuai dengan pengetahuan lamayang mereka miliki ketika muncul wabah penyakit yang mematikan dan menjangkiti suatu wilayah yang sangat luas.

   Di  desa terpencil tersebut, lumayan terdapat 3 masjid. Mengikuti maklumat yang sudah diketahui umum, ketiga masjid tersebut hanya mengumandangkan adzan, dan meniadakan sholat jamaah. Panggilan adzan diserukan hanya sebagai penanda sudah manjing masuk waktu sholat. Masyarakat sudah paham, mereka mengerjakan sholat jamaah dengan keluarganya di rumah masing-masing.

   Sore itu, entah ada apa yang terjadi, seorang pemuda ditangkap ramai-ramai oleh para pemuda desa yang sama. Pemuda apes itu dibawa  beramai-ramai ke salah satu masjid desa itu. Sebentar saja banyak orang berkerumun ingin mengetahui apa yang tengah terjadi. Ada orang yang baru saja datang, nerocos tanya ini itu, yang ditanya juga belum paham benar, hanya menggelengkan kepala. Lantas orang yang bertanya tidak berminat mengetahui lebih lanjut, langung pergi. Banyak orang bersahut-sahutan menanyai pemuda yang dirangkap itu. Tapi karena  pertanyaannya bertubi-tubi,malah menjadi  tidak jelas, sehingga sulit dijawab oleh pemuda itu.

   Lalu datang seorang pemuka agama setempat. Para pemuda yang mengerumuni membuka ruang bagi pemuka agama itu mendekat.

   “Ada apa ini rupanya ?” tanya pemuka agama.

   “Pemuda ini membuat kesalahan besar,” teriak salah seoramg pemuda desa.

   “Apa kesalahan yang kamu lakukan ?” tanya pemuka agama pada pemuda yang ditangkap.

   “Ayo ngaku saja….!” teriak pemuda lainnya.

   “Silakan kamu kemukakan apa yang kamu perbuat sehingga menjadikan pemuda desa ini marah, “ tanya pemuka agama.

   “Ayo….!  katakan lekas…!”  teriak pemuda lainnya.

   “Biarkan tenang dia dulu, agar dia bisa berpikir untuk menyusun jawaban,” ujar pemuka agama itu bijaksana.

   “Saya ingin menarik perhatian masyarakat, “jawab pemuda yang ditangkap  itu.

   “Ukh…! apa…?”

   “Sembarangan…!”

   Para pemuda desa mulai gaduh lagi.

  “Katakan, apa yang sudah kamu lakukan ?” tanya pemuka agama.

  “Saya yang memutus kabel pengeras suara masjid ini.”

  Pemuda desa dan masyarakat mulai gaduh dan ribut lagi. Lalu pemuka agama meredakan suasana lagi. Pemuda itu melanjutkan alasan kenapa melakukan hal itu.

   “Dengan memutus kabel pengeras suara masjid. Pasti orang-orang akan mencari saya. Dan sekarang saya sudah ditangkap, “ pemuda itu menjelaskan dengan tenangnya.

   “Terus apa maumu ?” tanya pemuka agama.

   “Saya beberapa kali kecelik. Ketika suara adzan dikumandangkan, saya datang ke masjid. Sudah selesai sholat jamaahnya. Ternyata yang sholat di masjid cuma muadzinnya saja. Saya datang di dua masjid lainnya, kejadiannya serupa,” pemuda yang ditangkap itu menjelaskan.

   “Woooooooo……….,” semua pemuda dan masyarakat serentak berseru.

   “Lantas apa yang kamu inginkan ?” tanya pemuka agama.

   “Saya hanya ingin menarik perhatian masyarakat. Dengan begitu saya bisa menyampaikan gagasan saya, “ ungkap pemuda tersebut.

  “Apa gagasanmu ? “ tanya salah seorang pemuda desa.

  “Pagebluk ini harus pergi. Salah satu caranya. Kita harus melakukan taubatan nasuha. Di rumah masing-masing. Memohon ampunan pada Allah. Mengakui kesalahan dan tidak mengulangi lagi.  Perbuatan maksiat apa saja harus kita tinggalkan. Maksiat terhadap keluarga, terhadap  istri, terhadap anak, terhadap alam, terhadap bumi. Sanggupkah kalian ?” tantang pemuda itu.

   “Tapi, pagebluk covid 19 ini wabah dunia, bagaimana mengajak masyarakat dunia ?

   “Kita mulai dari masyarat desa kita saja. Jangan berpikir terlalu jauh. Titik perhatian kita, hanya pada desa kita saja, “ jelas pemuda pemilik gagasan itu.

   “Baiklah. Kita setuju pada gagasannya. Kita coba saja, “ usul salah seorang pemuda desa.

   “Jangan dicoba. Harus kita dilaksanakan,” pemuka agama mengoreksi usulan pemuda desa.

   Semua setuju. Kerumunan masyarakat bubar. Masyarakat melakukan rutinitas yang harus dilakukan. Romadhon cepat berlalu. Idul Fitri baru saja  berlalu. Bulan Syawal sudah berakhir. Desa tersebut belum ada seorangpun yang terpapar. Masyarakat desa baru terpapar kengerian informasi berita. Negara melalui pemerintah masih memberlakukan lockdown makin ketat. Korban berjatuhan sudah sulit dijumlah. Grafik statistik menunjukkan garis keluar dari bingkai. Masyarakat takut membuka informasi. Masyarakat desa itu tersungkur sujud di rumah masing-masing. Pada suatu sore yang jingga, pemuda desa pemutus kabel pengeras suara masjid, digelandang menuju masjid kembali.

   “Mana bukti omonganmu, “ teriak pemuda desa yang menyeretnya.

   “Omong kosong…! teriak yang  lain

   “Bagaimana dengan gagasanmu ?” tanya pemuka agama.

   “Saya yakin semua masyarakat desa telah melakukan taubatan nasuha. Tapi ada satu orang yang belum melakukan, sehingga pagebluk ini masih mengancam desa ini,” ungkap pemuda yang digelandang kedua kalinya itu.

   “Siapa…?”

   “Siapa lagi ?”

   “Orang mana ?”

   Pemuda dan masyarakat bersahut-sahutan mempertanyakan. Pemuka agama dengan lemah lembut di kesempatan terakhir mempertanyakan.

   “Siapa ?”

   “Seorang pertapa. Orang desa ini.” Jawab pemuda pemutus kabel pengeras suara masjid.

  “Kenapa dengan dia ?”

  “Di saat masyarakat lainnya melakukan taubatan nasuha, dia malah bertapa.”

  “Bertapa di mana  ?”

  “Di bukit Permoni.”

   Pemuda pemutus kabel pengeras suara masjid digelandang menuju bukit Permoni. Di kaki bukit Permoni masyarakat berkerumun. Ada yang berteriak pada orang yang melakukan tindakan bertapa. Seorang yang melakukan tindakan bertapa menuruni terasering bukit itu.

   “Ada apa ?” tanya dia pada masyarakat yang berkerumun.

   “Kenapa di saat seperti ini kamu malah bertapa ?” tanya salah seorang masyarakat.

   “Saya bertapa sedang merenungkan sepakterjang maksiat yang dilakukan masyarakat saya.  Saya belum memperolehh jawaban atas pertanyaan saya.”

   “Tindakanmu itu maksiat, mendatangkan murka Tuhan.”

   “Tuhan tidak pernah murka. Tuhan memberikan peringatan maksiat kalian.”

   “Kesimpulannya bagaimana ini Kiai ?” tanya seorang pemuda pada pemuka agama yang menyertai.

   “Memang harus kita cermati maksiat kita masing-masing yang tidakkita sadari.” Ujar pemuka agama itu.

   “Cuma begitu ?” tanya salah seorang pemuda desa.

   Kerumununan membubarkan diri. Maing-masing saling mengaca pada runcingnya kebenaran.

Kotagede, 7 April 2020         

Exit mobile version