Saat Allah dan Pertolongan-Nya Menghampiri Kita

Saat Allah dan Pertolongan-Nya Menghampiri Kita

Konon, pada zaman Nabi Musa ada semacam tradisi sangat disukai elite negeri. Yakni suka memberi hadiah kepada para pejabat. Mereka juga rajin beribadah, namun kerajinan mereka beribadah itu lebih didasari pada pamrih duniawi. Agar lancar rejeki atau cepat naik pangkat. Maka tempat pemujaan yang mereka datangi itu adalah tempat peribadatan yang ditradisikan untuk hal-hal itu. Misalnya, kalau cepat naik pangkat mereka beribadah di puncak bukit, kalau ingi kelancaran rezeki mereka beribadah di muara sungai dan lain sebagainya.

Tradisi lain saat itu adalah mereka sangat tidak peduli kepada nasib kaum miskin dan anak-anak yang yatim yang hidupnya terlantar yang mungkin tidak bisa makan apalagi berpakaian secara layak. Setiap mereka mengadakan perjamuan (pesta pernikahan atau hajat apapun) mereka hanya mengundang kaum kaya yang mempunyai relasi bisnis besar serta para pejabat yang dapat memuluskan karier dan roda usahanya.

Suatu hari Nabi Musa memerintahkan kaumnya untuk mengadakan perjamuan besar dan mewah melebihi perjamuan yang biasanya. Para orang kaya kaum Musa bertanya, apakah perjamuan itu akan dihadiri seorang Bupati? Musa menjawab lebih besar dari itu. Melebihi kekuasaan Gubernur, Amir, Presiden, Raja, Kaisar, ataupun Sultan.

 Musa juga memastikan kalau Sang Penguasa akan hadir dari awal hingga akhirnya perjamuan itu. Dia akan datang sendiri tanpa memerlukan penjemputan dan pengawalan. Mendengar janji Musa yang seperti itu, mereka sangat bersemangat menyiapkan perjamuan akbar.

Namun, ketika malam perjamuan itu tiba, yang pertama kali datang adalah seorang nenek tua renta berpakaian compang-camping dan tampak sangat kelaparan. Dia datang meminta sedikit makanan. Mereka mengusir nenek itu untuk pergi dengan tangan hampa. Setelah itu, datang lagi seorang anak kecil yang juga kelaparan, mereka kembali mengusirnya. Kemudian seorang pengemis laki-laki tua berkaki satu, yang juga diusirnya. Sampai tengah malam, saatnya perjamuan bubar, mereka telah mengusir dan memaki-maki kedatangan sembilan puluh sembilan tamu yang tidak mereka kehendaki.

Keesokan harinya, mereka mendatangi Nabi Musa sambil marah-marah. Mengapa Penguasa yang dijanjikannya tidak jadi datang. Saat itu Nabi Musa menjawab, “Adakah tamu yang tidak kamu kenal mendatangi perjamuan kalian?”

Mereka menjawab, “Ya, sembilan puluh sembilan pengemis dan gelandangan miskin yang tidak berguna”. Musa menjawab, “Di akhir malam tadi, Penguasa itu mengatakan kepadaku, Dia mendatangi perjamuan kalian sebanyak sembilan puluh sembilan kali. Dan kalian mengusirnya sembilan puluh sembilan kali juga.”

Musa juga berkata, “Apakah kalian lupa, siapakah Dia yang paling berkuasa di muka bumi ini? Dia adalah  Allah SwT, Tuhan Kita semua. Apakah kalian juga melupakan ajaranku untuk mengasihi orang-ora.ng yang teraniaya? Malam itu Dia hadir dalam wujud yang harusnya kalian kasihi itu, namun kalian malah mengusinya pergi”.  

Cerita di atas adalah cerita pada “zaman Kumbayana”, pada saat anak-anak yang tidak pernah bisa diam selama pelajaran, mendadak hening ketika mendengarkan cerita dari guru mengajinya yang hanya bisa membaca aksara pegon dan huruf arab itu.

Guru mengaji itu memang mempunyai sekumpulan kisah unik yang entah dari mana dia dapatkan sumbernya. Namun, di akhir cerita selalu memberi semacam kesimpulan dan ibrah yang harus dipetik oleh para muridnya. Dia juga menekankan bahwa yang terpenting dari semua dongeng itu bukanlah pada kisahnya, tapi pelajaran pekertinya.

Hari ini, ketika musim wabah melanda, cerita itu zaman masa kecil kembali hadir dan didongengkan oleh juru kisah yang lain, yakni ketika ada seorang alim yang hanya dengan gagah mendeklarasikan diri hanya percaya pada kuasa Allah SwT semata. Saat banjir melanda desa, sang alim ini berdoa memohon pertolongan. Seketika itu pintu rumahnya diketuk tetangganya, diajaknya dia mengungsi. Sang Alim menolak, seraya berkata dia menanti pertolongan dari Tuhan bukan dari sesama manusia.

Ketika banjir semakin tinggi, dia kembali menyeru nama Tuhan seraya memohon pertolongan, belum sampai dia menurunkan tangan yang diangkat, pintu rumahnya yang terbuka dihampiri serombongan pengungsi berperahu karet, masih ada satu tempat untuknya. Namun dia Sang Alim itu kembali menolak tawaran itu. Rombongan pengungsi pun lalu berlalu sambil menaikkan seekor kambing yang hampir mati hanyut ke perahu karetnya. Mereka melaju ke tempat pengungsian yang aman.

Air banjir kian deras dan tinggi, Sang Alim naik ke atap rumahnya, dia kembali berseru memanggil nama Tuhan dan memohon pertolongan dari-Nya. Tiga anggota KOKAM berperahu karet mendatangi atap rumah itu berniat mengevakuasi Sang Alim, namun sekali lagi dia menolak tawaran evakuasi.

Tiga anggota KOKAM memaksa, yang dua melompat ke atas atap dan menarik paksa Sang Alim ke arah perahu, yang satu menjaga kemudi perahu. Sang Alim memberontak, tarik-menarik terjadi dengan sengitnya.

Sayang, juru kisah kali ini berbeda dengan guru ngaji terdahulu, juru kisah kali ini tidak mau meneruskan ceritanya sampai paripurna. Apalagi memberikan ibrah dan pelajaran dari cerita yang dikisahkannya. Maka kami persilakan para pembaca memetiknya sendiri. Ketika didesak dia hanya menjawab, “Nashrun Minallah Wa Fathun Qarib wa Bassyiril Mukminin”. (mjr8)


Tulisan ini disadur dari dari Suara Muhammadiyah nomor 17 tahun 2008

Exit mobile version