Al-Qur’an adalah kitab suci yang memberi perhatian secara khusus dan serius hubungan antara manusia dengan alam semesta sekaligus manusia sebagai bagian dari alam semesta itu sendiri. Keduanya sama-sama sebagai ciptaan Allah. Seluruh alam semesta diciptakan sebagai muslim dengan ketundukan dan kepatuhan secara otomatis, sedangkan manusia diberi kebebasan untuk memilih patuh atau tidak. Alam semesta, di samping sebagai tanda kebesaran-Nya, diciptakan untuk memenuhi hajat hidup manusia. Al-Qur’an pun diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, di antaranya tentang bagaimana mengelola dan memanfaatkan alam semesta bagi kehidupan mereka. Lalu, untuk apa manusia diciptakan?
Dalam al-Qur’an surat az-Zariyat ayat ke-56 disebutkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Fazlur Rahman, pemikir Muslim abad ke-20, menjabarkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, bersyukur, melakukan kebaikan di dunia, tidak menyekutukan-Nya, sekaligus tidak menyalahgunakan anugerah kebebasan yang Allah berikan itu untuk menentukan segala aturan dengan sesuka hati dan hanya untuk kepentingan dan tujuannya sendiri. Meskipun alam semesta disediakan untuk kebutuhan hidup manusia, manusia harus sadar bahwa dalam dirinya ada sifat zhalūm dan jahūl (zalim dan bodoh) yang dampak buruknya pasti akan kembali kepada dirinya sendiri.
Kekhususan manusia, dengan segala kelebihan dan kelemahannya, dibandingkan dengan makhluk lainnya di dunia menjadikannya meraih kedudukan istimewa sebagai khalifah. “Dan Dialah yang telah menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan telah Dia angkat (derajat) sebagian kamu atas yang lainnya.” (al-An’am: 165). Menurut Hamka, arti khalifah dalam ayat ini adalah pengganti atau penyambung dengan tugas meramaikan bumi, memeras akal budi untuk mencipta, berusaha, mencari dan menambah ilmu, membangun, berkemajuan, berkebudayaan, mengatur siasat negeri dan bangsa.
Ketidaksamaan derajat manusia dalam ayat di atas tidak lantas menjadikan posisi khalifah hanya berlaku bagi sebagian manusia. Memang tidak ada yang menyangkal bahwa ada orang yang pandai dan bodoh, kuat dan lemah, kaya dan miskin, penguasa dan rakyat jelata. Namun semua sama-sama diberi akal budi dan petunjuk berupa agama. Maka semua mempunyai tugas yang sama sebagai khalifah. Perbedaan derajat manusia di dunia, bagi Hamka, adalah ujian yang harus diatasi. Di sisi Allah, semua sama, yang membedakan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya hanyalah takwa sebagai buah dari menjalankan fungsinya selaku khalifah.
Kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah kesempatan bagi manusia itu sendiri untuk mewujudkan ketakwaannya kepada Allah dengan beribadah kepada-Nya semata-mata dan berbuat baik bagi alam semesta dan seisinya. Bukan justru melakukan kerusakan (fasād), baik kerusakan lingkungan hidup, kerusakan moral, maupun sosial sebagaimana yang telah dan sedang berlaku di dunia, termasuk di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Dalam hal ini, antara al-Qur’an dan umat Muslim, berlaku peribahasa jauh panggang dari api.
Bersahabat dengan alam dan merawat keseimbangannya adalah bagian dari perwujudan takwa seorang hamba kepada Tuhannya. Manusia harus menyadari dan merenungkan bahwa alam semesta ini diciptakan dengan sungguh-sungguh, bukan dengan main-main dan coba-coba belaka. Bahkan, sampai pada batas yang jauh, Rahman mengatakan bahwa alam semesta adalah sebuah tanda yang menunjukkan sesuatu yang melampaui alam itu sendiri, sesuatu yang tanpanya alam semesta, dengan seluruh hukum di dalamnya, akan menjadi tiada dan hampa.
Dalam Surat ar-Rahman, bahkan Allah menegaskan tentang penciptaan alam dan keseimbangannya sebagai anugerah bagi manusia sekaligus mengandung perintah untuk menjaganya. “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseibangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu, dan bumi dibentangkannya untuk makhluk-Nya, di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunya kelopak mayang, dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (ar-Rahman: 7-13).
Alam dan keseimbangannya diciptakan untuk hajat hidup manusia. Namun ia tidak berhenti hanya di situ saja. Di saat yang sama manusia pun harus berusaha untuk meneladani semangat penciptaan alam, yaitu semangat memberi, menjaga keseimbangan, serta rasa syukur. Dalam Bahasa yang lebih lebih sederhana: berbuat baik kepada alam. Menurut Hamka, jika kesadaran sebagai manusia telah tumbuh, kemudian ia melihat kepada alam sekitarnya, makai ia akan merasakan rahmat Allah ada di mana-mana. Ia pun akan menanamkan sifat rahmat itu ke dalam dirinya. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw pun diutus ke dunia sebagai rahmat bagi alam semesta.
Rahmat diwujudkan dengan memberi kebaikan nyata bagi alam semesta atau mewujudkan hidup baik (hayah thayyibah). Hamim Ilyas menjelaskan bahwa syarat mewujudkan hidup baik itu, berdasarkan surat an-Nahl ayat 97, adalah iman dan amal saleh. Hidup baik harus menciptakan hidup yang sejahtera, damai, dan bahagia. Maka, kaitannya dengan penciptaan alam sebagai rahmat Allah, manusia semestinya berbuat baik secara terus-menerus sebagaimana Allah berbuat baik kepada manusia itu sendiri tanpa henti.
Namun, manusia juga mempunyai sifat zhalūm dan jahūl yang selalu mengarahkan kepada kerusakan (fasād). Maka benar belaka firman Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia,” (ar-Rum: 41). Maka bencana alam, bahkan bencana sosial, terus-menerus terjadi karena ulah mereka sendiri. Mereka belum memahami siapa dirinya, untuk apa ia diciptakan, dan bagaimana hubunganya dengan alam semesta. Lalu Allah melanjutkan: “Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41).
Sekali lagi, manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang mempunyai kehendak bebas. Apakah akan kembali pada dasar penciptaan atau hanya akan menuruti sifat zhalūm dan jahūl dengan berbagai dalih dan dalil masing-masing. Wallāhu a’lam (Erik Tauvani Somae)