Oleh Nidia Zuraya
“Pada zaman itu ada semacam kepercayaan yang tumbuh di masyarakat bahwa sehebat dan secerdas apapun seorang perempuan, pada akhirnya kodrat dan takdir perempuan akan kembali pada kehidupan rumah tangga yang hanya mengurusi urusan dapur, sumur, dan tempat tidur.”
Era sebelum kemerdekaan bisa dikatakan sebagai masa ketidakberpihakan terhadap kaum perempuan di Nusantara khususnya dalam bidang pendidikan. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia pada masa itu, sikap apriori terhadap perempuan yang bersekolah masih menjadi fenomena utama dalam kehidupan sehari-hari.
Anggapan demikian juga dianut oleh masyarakat matrilinial sekalipun, seperti Sumatra Barat. Hal ini pula yang agaknya mengusik nurani seorang Rahmah El-Yunusiyah. Rahmah merupakan satu dari sedikit perempuan di Sumatra Barat pada zaman pra-kemerdekaan yang menolak anggapan seperti itu.
Bagi Rahmah, perempuan memiliki hak belajar dan mengajar yang sama dengan kaum laki-laki. Bahkan dibandingkan laki-laki, perempuan juga mampu memiliki kecerdasan yang tak kalah hebat. Persoalannya, hanya terletak pada akses pendidikan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, sistem pendidikan di Nusantara memang masih sangat jauh dari yang diharapkan dan kaum perempuan belum memiliki akses pendidikan yang sama dengan laki-laki.
Menurut Rahmah, seorang perempuan sekalipun hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetap memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama, dan tanah airnya. Tanggung jawab itu, kata dia, dapat diberikan melalui pendidikan, baik di lingkungan keluarga (domestik) maupun di sekolah (publik).
Dilahirkan di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada 29 Desember 1900 dan wafat pada 26 Februari 1969. Rahmah berasal dari keluarga terpandang dan religius. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Syekh Muhammad Yunus dan Rafi’ah.
Ayahnya adalah seorang qadhi (hakim agama) di wilayah Pandai Sikat yang juga ahli dalam ilmu falak. Kakeknya adalah Syekh Imaduddin, ulama terkenal Minangkabau dan tokoh Tarekat Naksyabandiah.
Selama hidupnya, Rahmah tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Mula-mula ia mengenyam pendidikan dari ayahnya, namun hanya sebentar karena sang ayah meninggal ketika ia masih sangat muda. Sepeninggal sang ayah, Rahmah kemudian mendapat bimbingan langsung dari kakak-kakaknya yang ketika itu telah dewasa.
Kemampuannya dalam membaca dan menulis Arab dan Latin diperoleh dari kedua orang kakaknya, Zainuddin Labay El-Yunusy dan Muhammad Rasyad. Ia kemudian belajar ilmu agama pada sejumlah ulama terkenal Minangkabau. Di antara para ulama yang pernah menjadi gurunya adalah Haji Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya Hamka), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padangpanjang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi.
Selain ilmu keislaman, Rahmah juga mempelajari ilmu kesehatan (khususnya kebidanan) dan keterampilan-keterampilan wanita, seperti memasak, menenun, dan menjahit. Kelak ilmu yang diperolehnya ini diajarkannya kepada murid-muridnya di sekolah yang didirikannya, Diniyah Puteri.
Seorang pejuang
Di samping sebagai pendidik, Rahmah juga seorang pejuang. Dalam Ensiklopedia Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve (IBVH) disebutkan bahwa Rahmah merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Semasa revolusi kemerdekaan, ia dipenjarakan Belanda dan baru dibebaskan tahun 1949 setelah pengakuan kedaulatan. Hingga tahun 1958, ia aktif di bidang politik. Ia antara lain menjadi anggota KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Sumatra Tengah, ketua Barisan Sabilillah dan Sabil Muslimat di Padang, dan anggota Konstituante mewakili Masyumi. Peranannya yang paling menonjol adalah kepeloporannya dalam pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada tanggal 2 Oktober 1945.
Sosok pejuang wanita ini juga dikenal memiliki prinsip dan sikap yang teguh. Ketika Belanda menawarkan diri untuk membantu sekolahnya dengan subsidi penuh dengan syarat Diniyah Puteri menjadi lembaga yang berada di bawah pengawasan Belanda. Namun, syarat tersebut ia tolak dengan tegas.
Demikian juga ketika kaum komunis memerahkan lapangan Bancah Laweh, Rahmah pun dengan berani sehari kemudian, memutihkan kota Padang Panjang untuk menghadang manuver pihak komunis. Karena sikapnya yang tidak sependapat dengan Presiden Pertama RI, Soekarno, yang dinilainya telah melenceng dari demokrasi terpimpinnya dan kedekatan dengan pihak komunis, membuat dirinya dikucilkan.
Seluruh hidupnya diabdikan untuk pendidikan kaum perempuan. Rahmah El-Yunusiyah memang memiliki cita-cita agar wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita, sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ia mendidik kaum wanita Indonesia agar sanggup berdikari untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif, dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, di mana kehidupan agama mendapat tempat yang layak. Cita-cita dan tujuannya ini dirumuskannya dalam tujuan pendirian Diniyah Puteri.
Cikal bakal Diniyah Puteri bermula dengan dibentuknya Madrasah li Banat (sekolah untuk puteri) pada 1 November 1923. Pendirian sekolah khusus perempuan pada masa itu bukanlah hal mudah. Kendala utama yang dihadapi adalah cemoohan dari masyarakat. Bagi banyak kalangan saat itu, sekolah perempuan dengan tenaga pengajar yang juga perempuan merupakan hal aneh, tabu dan melanggar adat.
Untuk menampik ejekan ini Rahmah membuktikan dengan menampik bantuan dari masyarakat (yang masih memandang miris perempuan) dan menggunakan cara sendiri untuk membangun sekolah. Bahkan, ia merelakan rumahnya dijadikan sebagai ruang kelas.
Selama dua tahun pertama, cara belajar yang diterapkan di sekolah ini menggunakan sistem halaqah seperti yang diterapkan di Masjidil Haram, yakni para murid duduk di lantai mengelilingi guru yang menghadap meja kecil. Lambat laun sekolah ini memiliki gedung sendiri.
Sumber: Republika, Mitra Suara Muhammadiyah