Seorang perempuan datang kepada Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy-Syaibani atau dikenal sebagai pendiri mazhab Hanbali. Perempuan melarat yang dihantui perasaan bersalah ini mengadukan permasalahan yang terus mengganggu pikirannya.
Kepada Imam Ahmad bin Hanbal, ia menceritakan kondisi hidupnya yang serba kekurangan. Seorang diri, ia menghidupi dirinya dan membesarkan ketiga anaknya yang masih kecil. Sementara sang suami telah lama meninggal dunia, tanpa meninggalkan harta benda.
Untuk bertahan hidup, perempuan itu mengandalkan hasil keuntungan dari usahanya sebagai pemintal benang. Setiap malam ia memintal benang. Siang hari digunakan untuk menjual hasilnya. Pekerjaan ini hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kadang, ia mengalami kekurangan.
Perempuan ini memintal benang dengan memanfatkan cahaya bulan di malam hari. Namun suatu malam, sekitar rumahnya tidak segelap biasanya. Suasana terang ini bukan berasal dari sinar rembulan, namun dari lentera rombongan kafilah yang sedang bermalam di dekat rumah perempuan ini. Lampu-lampu musafir ini menerangi area di sekelilingnya.
Di hadapan Imam Hambali, perempuan ini mengaku telah memanfaatkan cahaya lampu para kafilah tersebut untuk memintal benang. Pada kesempatan itu, ia tidak meminta izin kepada rombongan itu untuk memanfaatkan sinar lentera mereka. Ia sangat menyesal atas kekeliruannya.
Setelah selesai menceritakan kronologi masalahnya, perempuan ini lantas bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah hasil penjualan benang yang saya pintal di bawah cahaya lampu kafilah tanpa izin itu halal untuk saya gunakan bagi keluarga?” Hanya itu pertanyaannya.
Demi mendengar pertanyaan ini, Imam Hambali meneteskan air mata. Banyak orang di luar sana tidak mempedulikan sumber kekayaan yang diperolehnya. Di saat banyak orang dilanda keserakahan terhadap dunia, perempuan yang hidup dalam kesulitan justru sangat menjaga kesucian hartanya.
Kisah perempuan ini bisa menjadi refleksi kita bersama. Di tengah wabah corona, banyak orang mengalami nasib tidak menguntungkan. Di tengah kesulitan, betapa tidak mudahnya menjaga diri untuk tetap memperhatikan sumber rizki yang halal. Dalam kondisi melarat, orang terkadang berbuat meninggalkan batasan moral.
Perbuatan yang dilakukan karena terpaksa, bisa jadi dimaafkan. Namun, bukan berarti menjadi pembenaran bahwa mencari penghidupan dari sumber yang abu-abu itu diperbolehkan. Kita kerap memanfaatkan kesempatan dengan mencari-cari alasan bahwa kondisi darurat membolehkan kita melakukan apapun.
Lebih parah lagi adalah mereka yang sehari-harinya hidup dengan melanggar batasan. Ia tidak terlalu memperhatikan sumber pendapatannya. Ia hidup berkecukupan, bahkan berkelebihan, namun didorong oleh keserakahan, ia rela menghalalkan segala cara. Perbuatannya sudah dianggap sebagai suatu kewajaran.
Jika perbuatan itu dilakukan terus-menerus, kita akan merasa tidak berbuat salah. Kita akan menganggap hal itu patut. Kondisi inilah yang pernah diprediksi oleh Baginda Nabi dalam sabdanya, “Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram,” (HR Bukhari).
Kita diperintahkan untuk saling membantu dalam kebaikan. Sikap aktif kita menolong mereka yang kekurangan bisa menjadi sebab keselamatan bersama. Bagi kaum yang termarjinalkan, ia akan selamat dari berbuat sesuatu yang tidak sepatutnya. Bagi kaum yang memberi, ia akan merasakan ketentraman dan mendapat ganjaran. Kebaikan yang dilakukan akan kembali bermuara kepadanya.
Kata Nabi, seorang muslim adalah ia yang mampu menjaga sekelilingnya selamat dari bahaya ucapan dan perbuatannya. Ketika ada yang berbuat melanggar norma, bisa jadi yang bersalah adalah kita semua yang tidak peduli. Ketika ada yang mencuri, bisa jadi karena kita tidak mau berbagi. Dalam kondisi sulit ini, saatnya kita mengasah nurani. (ribas)