Imron Nasri
Puasa Ramadhan tahun ini pelaksanaannya berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Kita, tidak bisa shalat tarawih berjamaah di masjid, pengajian atau ceramah menjelang buka puasa, ceramah sebelum shalat tarawih, dan kegiatan-kegiatan lain yang biasanya diselenggrakan selama Ramadhan, tahun ini semuanya ditiadakan. Ini akibat menjalarnya virus Corona, yang mengharuskan kita untuk tidak keluat rumah, tidak boleh ada kerumunan atau kumpul-kumpul sampai hari ini masih terjadi. Suasana Ramadhan tahun-tahun lalu yang meriah dan semarak, tahun ini tidak kita rasakan. Namun demikian, kita berharap adanya virus Corona ini tidak mengurangi kekhusyuk’an kita dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan tahun ini.
Peletakan perintah puasa di bulan Ramadhan pada konteks sistem sosial Islam, secara implisit mengisyaratkan refleksi sosial dalam substansi puasa. Maksudnya, puasa bukan hanya ritual tahunan yang berfungsi membina individu Muslim. Tapi, ia juga mengandung sejumlah imbasan positif dalam kehidupan masyarakat.
Dalam Islam ada banyak jenis ibadah. Ada ibadah yang bersifat lisan (zikir), tindakan (shalat), harta (zakat) dan lainnya. Ada juga yang menggabungkan beberapa sifat, seperti jihad dan haji yang memadukan antara harta dan perbuatan. Ada lagi yang bersifat pasif. Artinya, perintahnya berisi larangan untuk melakukan suatu hal tertentu. Puasa termasuk dalam golongan ini. Sekalipun bersifat pasif, puasa sesungguhnya menyentuh banyak dimensi —khususnya dimensi kejiwaan— yang pada akhirnya bersifat aktif. Sebab, hampir semua efek puasa bermuara pada peningkatan pengendalian diri.
Surat Al-Baqarah ayat 183, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
yang selalu menjadi landasan dalam melakukan perintah berpuasa, bukanlah perintah baru. Semua umat terdahulu juga telah diwajibkan menjalani puasa. Hanya bentuk dan tata cara pelaksanaannya yang agak berbeda. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebut riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya, mengatakan bahwa puasa umat terdahulu –sejak nabi Nuh—adalah tiga hari setiap bulan. Syariat itu baru dinasakh setelah Islam datang. Itupun setelah Rasulullah saw, hijrah dari Mekah ke Madinah. Sebab, sebelum itu sahabat-sahabat Rasulullah saw juga berpuasa tiga hari setiap bulan.
Kedalaman akar historis syariat puasa itu, jelas menambah bobot urgensi puasa serta semua dimensi tarbawi yang tercakup di dalamnya. Tapi bobot itu semakin terasa kuat, ketika kita mengaitkan momentum turunnya syariat puasa ini. Yaitu, pada bulan Ramadhan bulan turunnya Al-Qur’an. Puasa secara substansial, adalah sarana pembinaan masyarakat Islam yang dilaksanakan secara berkala. Sebagai sarana, puasa memiliki keistimewaan tersendiri, karena ia menyentuh setiap individu masyarakat Muslim secara langsung. Pada kaitan yang terakhir ini, syariat puasa dibangun sedemikian rupa berdasar keselarasan struktur psikis dan fisik manusia sebagai individu, serta keterkaitannya dengan pola kehidupan sosial masyarakat Muslim.
Manusia yang terdiri dari tanah dan ruh, selalu mengalami pertarungan internal, antara kehendak ruh untuk menjadi suci sesuci malaikat. Dengan daya tarik tanah (dunia) untuk memenuhi tuntutan nafsu hewani dalam dirinya. Peristiwa menang-kalah dalam pertarungan itu merupakan siklus kehidupan rohani manusia. Melalui puasa, Allah SwT mensuplai manusia dengan kekuatan ruh untuk memenangkan kehendak-kehendak baik dalam dirinya, serta mematikan seluruh dorongan jahat yang bercokol dalam nafsunya. Dorongan-dorongan jahat ketanahan dalam diri manusia mempunyai dua kecenderungan yakni, hewani dan syaitoni. Dan keduanya, tertanam dalam instink manusia. Lalu terdorong secara fisik setelah mendapat suplai makan dan minum atau rangsangan luar. Maka, ketika ketiga hal tersebut dikeluarkan –untuk sementara waktu—dari bagian kehidupan manusia, ia secara otomatis akan merasakan ‘penguatan’ pada jiwanya. Seluruh pikiran dan jiwanya akan terfokus pada tujuan-tujuan besar yang melandasi proses penciptaannya, yaitu ibadah kepada Allah SwT. Pada waktu yang sama, kehendak-kehendak baiknya akan terdorong secara kuat untuk melaksanakan semua kebajikan yang menyampaikannya pada tujuan-tujuan besar itu. Sekaligus merasa lebih tinggi dari semua bentuk daya tarik duniawi. Baik makan, minum atau menggauli wanita.
Karena puasa diwajibkan kepada kaum Muslimin, sudah tentu pengkondisian individu –seperti tersebut—akan mengimbasi pola dan nuansa kehidupan sosial masyarakat Muslim. Dimensi sosial dari puasa paling tidak dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, puasa dapat menimbulkan ikatan-ikatan kemanusiaan dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya kaum Muslim. Lapisan masyarakat kaya, pada bulan puasa ini secara langsung maupun tidak langsung (ikut) merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat fakir-miskin. Itu merupakan bentuk pelatihan kepekaan sosial yang bernuansa imani. Sehingga efeknya terasa lebih kuat dibanding bentuk sarana pelatihan lainnya. Ini pula yang menyebabkan, mengapa kaum Muslim itu rata-rata mudah bersedekah dan berinfak di bulan Ramadhan .
Kedua, menguatnya semangat pembelaan dan pengorbanan dihati kaum Muslimin. Karena, selama puasa mereka mengalami kemerdekaan jiwa dan iman dari segala bentuk perbudakan duniawi (hewani dan syaitoni) yang sering mengangkanginya diluar puasa. Keterlepasan jiwa dari pesona dunia itu telah meringankan langkah mereka menapaki ketinggian langit, mengeratkan hubungan dan ketergantungan mereka terhadap Allah sekaligus rasa percaya diri dan keberanian. Inilah rahasia besar, mengapa Allah SwT mensyariatkan jihad (perang) pertama, yaitu perang Badar, justru pada bulan Ramadhan . Sebab, secara imani mereka lebih kondusif menerima beban berat. Dibanding ketika tuntutan jasmani mereka mendominasi suasana hati mereka.
Ketiga, menurunnya dorongan-dorongan destruktif (merusak), karena gerak syahwat mereka terbatasi selama puasa. Dalam konteks kehidupan sosial, hal ini bisa dilihat dari menurunnya angka kriminalitas selama bulan Ramadhan .
Pada hakekatnya, puasa sebagai sarana bagi manusia untuk membentuk dua hubungan, yaitu hubungan dengan Allah SwT (hablun min Allah), dan hubungan dengan manusia (hablun min al-naas). Dikatakan sebagai pembentuk hubungan dengan Allah SwT, karena puasa mengandung tujuan penghambaan seumur hidup kepada Allah SwT. Manusia lahir sebagai hamba Tuhan dan adanya manusia semata-mata untuk beribadah kepada Allah SwT.
Adapun sebagai pembentuk hubungan dengan manusia, karena dengan berpuasa manusia dapat merasakan penderitaan kelaparan orang-orang yang miskin. Sehingga dalam diri orang yang berpuasa, tumbuh solidaritas sosial yang tinggi untuk membantu saudaranya yang lain yang menderita kekurangan. Dengan puasa, seseorang dilatih untuk mengontrol dirinya atau dengan kata lain sebagai latihan kesabaran. Kesabaran inilah yang pada akhirnya bisa digunakan untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dengan hati dan pikiran yang tenang, tanpa tercampur dengan sifat emosi seperti yang terjadi saat ini.
Bagaimanapun juga, puasa merupakan sarana untuk membersihkan hati. Sedangkan hati adalah pusat dari kecerdasan ruhaniah yang perlu mendapatkan pendidikan ruhani. Karena dengan hati, Allah ingin memanusiakan manusia. Memuliakannya dari segala makhluk ciptaan-Nya.
Keutamaan bulan Ramadhan ini, semestinya dilihat dalam konteks peningkatan amaliah ke-Islaman, baik itu yang bersifat fardi (individu) maupun jama’i (kolektif), yang mencakup seluruh permasalahan umat Islam saat ini. Secara individu semaksimal mungkin memanfaatkan Ramadhan untuk tazkiyatunnufus (membersihkan jiwa), tafaquh fiddin (memperdalam agama) dan ikut mendukung rangakaian acara yang digelar pada bulan mulia ini.
Secara kolektif, adalah menanamkan kebersamaan di kalangan umat. Tergalangnya kerjasama dalam berbagai aktivitas, mengembangkan sikap saling mengisi antara umat yang sama-sama mengemban misi dakwah, dan memanfaatkan seluruh potensi umat untuk mengemban misi dakwah dan lain-lainnya. Alangkah naifnya apabila bulan Ramadhan yang mulia ini kita isi dengan kegiatan yang penuh dengan hura-hura dan foya-foya.
Imron Nasri, Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY