Terhitung beberapa bulan berlalu dengan himbauan di rumah saja didengungkan sebagai salah satu cara dalam mencegah penyebaran Covid19. Beberapa dari masyarakat merasa bosan dan jenuh karena mobilitas yang terbatas, belum lagi kegelisahan akan dampak ekonomi yang menjadi momok karena tidak sedikit pekerja yang harus dirumahkan dengan maupun tanpa sumber ekonomi lain. Selain telah memaksa manusia untuk melakukan penyesuaian terhadap sumber-sumber ekonomi dan kesejahteraan alternatif, pandemi Covid19 ini telah memberikan dampak dan mengubah banyak hal dalam sekejap. Khususnya dalam pergerakan manusia dan migrasi global. Baik dalam konteks migrasi teratur (regular migration) ataupun migrasi paksa (forced migration), situasi pandemi memberikan konsekuensi yang cukup signifikan.
Namun, jauh sebelum wabah Covid19 tersebar dengan cepat ke segala pelosok, di satu sisi, pengungsi dan pencari suaka yang berada di kamp, community housing, ataupun secara hidup secara mandiri di indekos telah merasakan hidup dalam terbatasnya mobilitas dan ketiadaan akses atau hak untuk bekerja di sejumlah negara, salah satunya di Indonesia. Hal tersebut membuat pengungsi dan pencari suaka bagai hidup dalam sebuah perangkap dengan sumber kesejahteraan dan perlindungan yang terbatas, termasuk perlindungan kesehatan. Belum lagi stigma yang melingkupi pengungungsi dan pencari suaka juga minimnya pengetahuan masyarakat akan siapa itu pengungsi dan pencari suaka membuat mereka kerap dipandang sebelah mata sebagai sumber pembawa kekacauan hingga kriminal. Namun, di sisi lain, instabilitas politik dan berbagai ancaman kemanusiaan di negara asal membuat mereka seakan tidak mempunyai pilihan selain bergerak mencari perlindungan, menempuh perjalanan penuh resiko, meskipun di tengah-tengah situasi pandemi seperti saat ini.
Konflik dan Krisis Kemanusiaan
Konflik di tengah-tengah situasi pandemi telah terbukti mampu memperburuk situasi kemanusiaan yang telah ada dan berpotensi menggiring kepada situasi yang disebut sebagai complex Humanitarian emergency. Artikel Máire A Connolly dan David L Heymann berjudul ‘Deadly comrades: war and infectious diseases’ menjelaskan bahwa perang, konflik dan pandemi atau gabungan keduanya merupakan hal yang sama-sama mematikan.
Di satu sisi, situasi konflik dan perang merupakan medium yang sangat rentan dalam penularan penyakit atau virus karena kolapsnya fasilitas kesehatan, minimnya sanitasi juga terbatasnya bahan pangan juga tempat berlindung. Di sisi lain, pandemi dalam situasi perang memperburuk jumlah korban yang jatuh baik dari masyarakat sipil ataupun kombatan. Amy Hagopian melalui tulisannya yang berjudul Why isn’t war properly framed and funded as a public health problem yang dikutip oleh Catherine Conolly menggarisbawahi bagaimana perang dan konflik dapat dipandang sebagai penyebab berbagai permasalahan yang berkaitan dengaan kesehatan dan mengancam nyawa manusia. Seperti menjadi penyebab terenggutnya nyawa secara brutal, penyebab berbagai infeksi, penyakit kronis hingga mental.
Sejak akhir Maret 2020, Sekretaris Jendral PBB António Guterres telah menyerukan agar pihak-pihak yang berkonflik untuk menghentikan ketegangan merespon keberadaan pandemi untuk kemudian berfokus dalam penanganan penyebaran virus ini juga menyediakan kebutuhan kemanusiaan bagi polulasi yang terdampak. International Crisis Group (ICG) memandang secara positif inisiatif tersebut dan dilaporkan terdapat 12 negara yang berkonflik di mana paling tidak, terdapat salah satu pihak yang menyambut seruan tersebut. Dalam rilisannya, ICG mengakui bahwa terdapat kemungkinan bahwa situasi pandemi berpotensi memunculkan gocangan sosial yang berbeda serta memberikan distraksi terhadap proses perundingan yang dilakukan di negara yang sedang berkonflik. Namun, di sisi lain terdapat bukti bahwa bencana mampu menciptakan kondisi tertentu yang mampu menggiring pihak berkonflik untuk mencapai kesepakatan, seperti yang terjadi di Aceh pada 2004 silam. Meskipun, inisiatif António Guterres dalam konteks ini masih dihadapkan kepada sejumlah kendala. Di antaranya beragamnya motif dan ketidaksungguhan pihak-pihak yang berkonflik dalam merespons seruan ini, ataupun berbagai kepentingan politik yang berpusar di antara anggota Dewan Keamanan PBB sehingga membuat inisiatif ini belum mendapatkan dukungan yang bulat yang tertuang dalam Resolusi DK PBB.
Meskipun dengan keberadaan pembatasan mobilitas yang diberlakukan, pencari suaka dan pengungsi tidak memiliki pilihan lain selain meninggalkan area-area konflik yang mengancam keamanan dan keselamatan mereka. Dalam situasi pandemi ini, pencari suaka dan pengungsi kemudian harus menghadapi tantangan kebijakan yang diberlakukan oleh negara-negara di berbagai kawasan salah satunya kalangan ekstrim kanan di Eropa.
Sejumlah pemimpin ekstrim kanan anti-imigran mengeksploitasi momentum ini sebagai justifikasi dalam menekan mobilitas pengungsi dan pencari suaka dengan menutup perbatasan juga memberhentikan proses-proses legal yang dibutuhkan pengungsi dan pencari suaka untuk mengakses perlidungan. Dari Italia, Jerman, hingga Hungaria, momentum pandemi juga dimanfaatkan untuk menggiring sentimen xenophobik juga representasi pengungsi dan pencari suaka sebagai carrier virus. Hal tersebut salah satunya dilakukan dengan mengaitkan keberadaan pengungsi yang positif terinfeksi Covid-19 dengan jumlah kasus Covid-19 yang telah terkonfirmasi untuk menyimpulkan bahwa melonjaknya jumlah tersebut merupakan dampak dari terbukanya perbatasan negara.
Pada pertengahan April, tercatat 400 pengungsi Rohingya di mana 32 di antaranya meninggal dunia, terombang-ambing di perairan karena ditolak oleh Malaysia setelah negara tersebut pemperketat penjagaan batas pantai. Amerika Serikat sendiri telah menutup akses suaka di perbatasan juga memberlakukan kebijakan deportasi termasuk terhadap anak-anak untuk kembali ke negara asal seperti Amerika Selatan dan Tengah.
Di sejumlah negara, pengungsi dan pencari suaka yang tinggal di kamp-kamp pengungsian juga mendapati kengerian yang serupa. Seperti yang dirilis oleh International Rescue Committee (IRC), sebuah organisasi non-profit berbasis di New York yang berfokus dalam memberikan bantuan kemanusiaan salah satunya pengungsi, beberapa waktu lalu bahwa situasi di kamp-kamp seperti di Suriah, Yunani, dan Bangladesh berpotensi tinggi untuk terjangkit virus ini dikarenakan kepadatan penghuni serta minimnya akses terhadap layanan kesehatan, air, juga sanitasi.
Di Suriah sendiri kurang lebih 68,000 pengungsi dan pencari suaka tinggal di dalam kamp bernama Al Hol yang memiliki luas sebesar 1.81 km2. Sehingga kurang lebih kepadatan pemukim yaitu 37.570 pengungsi dan pencari suaka per km2. Di Cox Bazar, Bangladesh, kamp pengungsian kurang lebih emnampung sejumlah 1 juta pengungsi dengan perkiraan kepadatan 40.000 pengungsi setiap km2. Di Yunani, tepatnya di Kamp Moria, kurang lebih memiliki potensi kepadatan yaitu 203,800 per km2. Hal ini telah diakui dalam rilisan Direktur Eksekutif UNICEF, yang menjelaskan bahwa ancaman Covid19 terhadap kelompok migran, pengungsi, pencari suaka, dan Internally Displaced Persons (IDPs) sangatlah tinggi karena kondisi pemukiman yang padat.
Respons dan Perlindungan yang Inklusif
Penyebaran pandemi Covid19 ini tidak akan memandang status sosial, suku, ras, ataupun identitas kewarganegaraan. Sejumlah organisasi internasional seperti WHO, IOM, dan lainnya mendorong agar berbagai negara merespons kebutuhan kesehatan pengungsi, pencari suaka, juga imigran layaknya bagian dari masyarakat itu sendiri.
Dalam pernyataan resminya, WHO dan Organisasi Internasional lainnya mengakui bahwa upaya untuk menekan laju Covid19 dapat dilakukan melalui pendekatan yang inklusif dengan melindungi hak setiap individu untuk mengakses layanan kesehatan. Kelompok pengungsi, pencari suaka dan imigran lainnya sangat rentan terhadap eksklusi, stigma, dan diskriminasi, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki dokumen yang memadai. Oleh karenanya pemerintah seharusnya memberikan perlindungan akan hak-hak juga kesehatan tanpa terkecuali karena hanya dengan demikian mampu membantu untuk mengontrol penyebaran Covid19 dan dalam satu waktu secara maksimal melindungi warga negaranya sendiri.
Upaya tersebut telah terlebih dahulu dilakukan oleh pemerintahan Portugal yang membuka akses kesehatan dan jaminan sosial terhadap pengungsi, pencari suaka dan imigran layaknya warga negara setempat selama masa pandemi. Sejumlah negara juga telah memberlakukan layanan secara online agar pencari suaka tetap bisa melanjutkan proses legal untuk kemudian memungkinkan mereka mengakses berbagai layanan kesehatan.
Di Indonesia, keberadaan kurang lebih 13.000 pengungsi dan pencari suaka berada dalam situasi ketidakpastian dan kerentanan, terlebih saat pandemi ini merebak. Selain tidak memiliki sumber kesejahteraan yang tetap kecuali yang datang dari UNHCR, ataupun organisasi non profit lokal maupun internasional, pengungsi dan pencari suaka tidak memiliki hak bekerja sehingga memperburuk kondisi mereka di situasi pandemi seperti ini.
Dalam Webinar yang belakangan diselenggarakan oleh LBH Jakarta yang berkolaborasi dengan salah satu Organisasi Nirlaba Suaka, sebuah organisasi yang bergerak dalam mengadvokasi perlindungan pengungsi dan pencari suaka, Yunizar Adiputera mengidentifikasi sejumlah tantangan yang dirasakan oleh pengungsi di Indonesia dalam situasi pandemi Covid19. Di antaranya bahwa himbauan untuk melakukan physical distancing akan cenderung sulit karena keterbatasan tempat bermukim yang ada. Akses terhadap kesejahteraan pun kian langka. Terlebih, keterbatasan bahasa yang dimiliki oleh pengungsi menjadi tantangan dalam mengakses informasi terkait situasi pandemi. Selain itu, pengungsi yang tidak memiliki hak dalam mengakses jaring pengaman sosial membuat kondisi kesehatan pengungsi cenderung rentan dalam situasi pandemi sepert saat ini.
Kolaborasi dan Pelibatan Pengungsi
Jauh dari keterbatasan yang dihadapi selama masa pandemi ini, di negara-negara Eropa dan negara kawasan lainnya, pengungsi, imigran dan pencari suaka melakukan berbagai upaya dalam merespons berbagai bentuk eksklusi. Beberapa dilakukan dengan membangun koalisi dan jejaring untuk memberikan perlindungan bagi kelompok yang cederung lebih rentan, hingga upaya advokasi mendesak pelibatan mereka dalam merespon pandemi ini. Di berbagai belahan dunia, pengungsi telah berada di garda depan masyarakat dalam merespon Covid19.
Dalam publikasi yang dikeluarkan oleh lembaga Andrew and Renata Kaldor Centre for International Refugee Law Universitas New South Wales (UNSW) Sydney berjudul By refugees, for refugees: Refugee leadership during COVID-19, and beyond, telah dijabarkan bagaimana pengungsi dan organisasi yang diinisiasi oleh pengungsi melakukan mobilisasi dukungan juga informasi seputar pandemi ini di masing-masing wilayah. Dari Afrika Timu, Eropa, Timur Tenga, Asia Tenggara, pengungsi menjadi penyedia informasi dan berbagai pelatihan, mendistribusikan makanan, bantuan hukum, dukungan mental secara online, memberikan akses pendidikan hingga perlindungan. Selain itu, pengungsi juga menggalang kesadaran masyarakat terkait bagaimana rekan pengungsi mendapatkan dampak dari pandemi juga
Dokumen Global Humanitarian Response Plan for COVID-19 yang secara resmi dirilis oleh PPB beberapa waktu lalu telah menggarisbawahi pentingnya melibatkan organisasi lokal dalam penanganan pandemi ini. Dalam konteks ini, sejumlah refugee leaders dan organisasi yang diinisiasi oleh pengungsi belum melihat adanya pelibatan dalam response bermakna dan substantif terhadap pandemi ini, meskipun mereka memiliki kapasitas yang telah terbukti.
Elena Fiddian-Qasmiyeh dalam laman refugeehost.org menyajikan gambaran bagaimana pengungsi di kamp Badawi, Lebanon memberikan respons perlindungan terhadap sesama pengungsi. Lambatnya respons United Nations Relief and Works Agency (UNRWA) dalam memberikan informasi yang memadai terhadap keberadaan Covid19 di kamp, membuat sekelompok pengungsi di kamp tersebut menyebarkan informasi melalui poster, menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dipahami oleh pengungsi setempat dan membagikan berbagai arahan tertulis melalui media sosial untuk menjangkau berbagai kalangan di kamp.
Upaya tersebut tersebut yang juga dilakukan di Kongo. Pengungsi mengorganisir diri menjadi relawan untuk menggalang kesadaran terhadap keberadaan Covid19. Setiah hari para relawan berkeliling sejak pagi menggunakan pengeras suara untuk memberikan edukasi kepada pengungsi yang ada di area pemukiman. Kurang lebih saat ini terdapat satu juta pengungsi ataupun IDPs yang berdiam di negara tersebut. Menurut salah satu relawan pengungsi yang bergerak, edukasi yang dilakukan cukup efektif dalam menggalang kesadaran pengungsi untuk tetap menaati protokol kesehatan yang ada.
Di Iran, pengungsi yang memiliki pengetahuan dan berprofesi sebagai tenaga medis juga berada di garda depan dalam merespons pandemi. Sejak awal meledaknya pandemi ini, pemerintah Iran telah memberikan akses yang sama kepada pengungsi dan pencari suaka kepada fasilitas kesehatan, termasuk melibatkan pengungsi dalam merespons Covid19. Hingga saat ini, kurang lebih terdapat satu juta pengungsi di Iran yang sebagian besar berasal dari Afghanistan dan Irak.
Upaya yang sama juga dilakukan oleh Jerman. Di negara tersebut, imigran dan pengungsi yang memiliki kualifikasi sebagai tenaga medis dilibatkan untuk membantu dalam menangani pasien Covid19. Hingga saat ini, kurang lebih terdapat 14,000 pengungsi Suriah yang masih menunggu untuk bisa masuk dalam kualifikasi sebagai petugas medis.
Sedangkan di belahan bumi lainnya, pengungsi berperan dalam memberi dukungan dalam bentuk logistik kepada masyarakat yang terdampak juga tenaga kesehatan. Seperti yang dilakukan kelompok pengungsi di Malaysia. Pengungsi yang berasal dari Suriah, Palestina, Yaman, dan Irak bekerjasama dengan organisasi non-profit yang diinisiasi oleh pengungsi ataupun yang bersifat lokal, mempersiapkan logistik bagi petugas kesehatan di salah satu Rumah Sakit setempat.
Inistaif yang sama dilakukan oleh pengungsi yang ada di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat. Salah satu restoran milik imigran yang juga mempekerjakan sejumlah pengungsi perempuan sebagai chef juga memenuhi kebutuhan logistik bagi mereka yang membutuhkan juga pekerja medis. Makanan yang diberikan diberikan secara cuma-cuma tersebut tidak hanya berguna bagi mereka yang membutuhkan namun juga membantu pekerja yang sebagian beras merupakan pengungsi untuk tetap bekerja juga pekerja restoran lainnya yang terkena dampak dari pandemi ini.
Melihat sejumlah upaya tersebut dapat disimpulkan bahwa pengungsi yang notabene merupakan kelompok rentan dan kerap terkena stigma sebagai kelompok yang pasif dan tidak berdaya mampu menunjukkan resiliensinya, berada di garda depan, bahu membahu memberikan bantuan serta solidaritas dalam krisis yang tengah terjadi. Selain itu,juga melakukan advokasi terhadap pemerintah demi melawan eksklusi. Selain memberikan perlindungan tanpa terkecuali, sudah seharusnya kelompok-kelompok rentan dilibatkan untuk berkolaborasi dalam melakukan respons. Sehingga dalam menghadapi krisis ini, tidak lagi ada yang tersisih keberadaannya dari masyarakat lokal maupun dunia. (setahari r)