Perceraian dan Kekerasan Terhadap Anak di Tengah Wabah Corona

Perceraian dan Kekerasan Terhadap Anak di Tengah Wabah Corona

Oleh Fahd Pahdepie

Topik berikutnya yang perlu kita antisipasi menyusul dampak pandemi COVID-19 adalah soal perceraian. Saat masyarakat didorong terus berada di rumah untuk menekan laju penularan virus, banyak pasangan yang terpaksa mengisolasi diri bersama orang-orang yang tidak lagi mereka cintai. Tak ayal, bagi sebagian orang, rumah justru menjadi penjara bahkan neraka.

Dalam situasi krisis yang membuat banyak orang tertekan, aneka pertengkaran akan sulit dielakkan. Bahkan dipicu hal-hal sepele. Di Israel, menurut laporan The Jerusalem Post (28/04), di tengah pandemi corona ini banyak kasus perceraian muncul disebabkan hal-hal yang tak masuk akal.

Diberitakan seorang istri menggugat cerai suaminya gara-gara selalu menyuruh memasak pizza dan burger, sementara si suami hanya menghabiskan waktu dengan menonton TV atau bermain ‘gadget’. Di tempat lain, seorang suami menceraikan istrinya karena tak tahan lagi dengan kebiasaan belanja ‘online’ si istri. Meski itu hanya sekadar ‘melihat-lihat’ saja, si istri bisa menghabiskan waktu berjam-jam.

Pada kasus yang lain, perceraian diakibatkan oleh hilangnya gairah seksual pada satu sama lain. Ada juga yang bercerai karena merasa porsi pembagian tugas pengasuhan anak sangat tidak adil. Bahkan ada seorang istri yang menggugat cerai suaminya karena si suami menolak untuk mencuci piring!

Di China, angka gugatan perceraian pasca berakhirnya kebijakan ‘lockdown’ pun dikabarkan meningkat signifikan. Sebagaimana diberitakan Bloomberg (31/03), di kota Xian, Provinsi Shaanxi, dan Dazhou, provinsi Sichuan, berkas gugatan perceraian menumpuk tinggi di kantor-kantor pengadilan negeri. Di Hunan, Provinsi Miluo, bahkan para staf kantor pengadilan tak bisa untuk sekadar istirahat minum, saking panjangnya antrean pasangan yang ingin bercerai.

Sejumlah faktor

Apakah dampak yang sama akan tiba juga di tengah masyarakat Indonesia? Saya kira demikian. Alasan ekonomi akan menjadi pemicu utamanya. Wabah corona yang memporak-porandakan berbagai sendi ekonomi, membuat penghasilan berkurang drastis, menjadi faktor stress yang bisa menyebabkan pertengkaran rumah tangga terjadi. Bahkan bisa berujung KDRT.

Faktor lain adalah berubahnya pola dan kebiasaan. Kelas pekerja yang biasanya berada di luar rumah, yang barangkali didominasi para suami, kini dipaksa untuk menghabiskan waktu di dalam rumah dengan kebijakan ‘work from home’. Tidak ada lagi tempat berlari atau mengasingkan diri, tidak ada ‘me time’, rumah menjadi satu-satunya ruang di mana segala emosi terakumulasi.

Budaya patriarki yang melekat pada keluarga Indonesia, di mana relasi laki-laki perempuan ditempatkan tidak setara, rentan membuat perempuan menjadi pihak yang mendapatkan banyak tekanan di dalam rumah. Mereka menjadi pihak yang dipaksa mengikuti pola dan kebiasaan baru yang berubah itu, yang boleh jadi menempatkan suami sebagai ‘boss’ atau ‘raja’ di rumah yang harus dituruti dan dilayani.

Barangkali sebenarnya itu bukan fenomena baru. Tetapi para istri biasanya punya ‘waktu istirahat’ ketika suaminya bekerja atau keluar rumah. Kini waktu istirahat itu hilang. Bagi sebagian orang, terus bersama selama 24 jam barangkali bukan semacam impian yang romantis, tetapi mimpi buruk yang menakutkan. Apalagi jika relasi yang tidak setara itu disertai kekerasan, fisik maupun verbal.

Namun, mungkin juga sebaliknya. Banyak para suami yang tertekan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena satu atau alasan lain. Singkatnya, jika tidak ada cinta atau prinsip kesetaraan dan kebersamaan yang terbangun di rumah, masa-masa isolasi mandiri tentu jadi sangat melelahkan dan penuh tekanan.

Anak-anak menjadi korban

Masalahnya, jika orangtua, suami-istri, dalam keadaan tertekan atau tidak bahagia, pihak lain yang paling rentan menjadi korban berikutnya adalah anak-anak. Meski bukan hal baru anak-anak kerap menjadi korban dari ketidakmampuan orangtuanya untuk melampiaskan emosi kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya atasan di kantor atau rekan bisnis di luar, situasi ‘di rumah saja’ seperti sekarang ini bisa menjadi penderitaan tersendiri untuk anak-anak.

Misalnya tekanan yang dihadapi seorang istri yang kerap dimarahi suaminya. Karena ia tak bisa melampiaskan emosi kepada si suami, bisa jadi karena takut atau karena alasan lain, kerap berujung pada menjadikan anak-anak sebagai objek pelampiasan itu. Anak-anak dimarahi tanpa alasan yang jelas, dihukum, bahkan mendapatkan perlakuan kasar.

Bagi sebagian anak yang menghadapi kekerasan-kekerasan verbal atau fisik di rumah, sekolah atau waktu bermain bisa jadi sebenarnya merupakan pelarian atau ‘safe haven’. Tetapi, dengan ditiadakannya sekolah seperti sekarang ini, bagaimana nasib anak-anak itu?

Saya kira kita perlu mulai mengantisipasi kasus-kasus semacam ini. Di tengah pandemi yang memaksa kita di rumah saja, ada ancaman meningkatnya angka perceraian dan potensi KDRT serta kekerasan terhadap anak. Kita perlu memberi perhatian yang cukup mengenai hal ini.

Saya kira penting bagi setiap pasangan untuk mulai menengok hubungan rumah tangga mereka kembali. Tekanan dan tanggung jawab yang sedang dihadapi bersama, perlu dikelola dan dibagi. Masing-masing pihak perlu belajar mengelola emosi dan saling menghargai peran satu sama lain.

Di antara sejumlah tips, merawat dan memberi perhatian pada diri sendiri saya kira baik untuk bisa melihat bahwa selama ini kita disayangi. Cobalah melakukan hal-hal baru. Tumbuhkan kembali cinta di dalam rumah. Upayakan jangan membuat keputusan-keputusan besar dalam keadaan tertekan. Meski di rumah saja, saya kira setiap anggota keluarga tetap perlu ‘me time’-nya masing-masing.

Akhirnya, di sinilah saya kira ruang lain di mana pemerintah, organisasi keagamaan serta organisasi masyarakat juga bisa ikut berperan. Masalah-masalah ini perlu perhatian serius dan jangan dibiarkan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Pemerintah melalui Kemenko PMK, Kementerian Agama, Kementrian PPPA, Komnas Perempuan dan KPAI bisa bekerjasama dengan berbagai organisasi keagamaan maupun kemasyarakatan seperti Aisyiah atau berbagai lembaga swadaya masyarakat lain untuk mulai serius memperhatikan hal-hal ini di tengah pandemi. Bisa digelar berbagai kelas atau seminar daring, pendampingan atau advokasi, juga lainnya.

Di Arkansas, Amerika Serikat, kasus perceraian dan kekerasan terhadap perempuan dan anak dikabarkan meningkat selama pandemi ini. Bisa jadi juga di Indonesia. Sangat bisa. Tinggal kita menganggapnya sebagai hal biasa saja atau masalah penting yang harus kita hadapi bersama.

Tabik!

Fahd Pahdepie, Penulis buku Rumah Tangga (2015), Sehidup Sesurga (2017), dan Cerita Sebelum Bercerai (2020)

Exit mobile version