Sidang Tanwir Muhammadiyah II di Surabaya bulan Desember 1993 membuat keputusan menarik. Sidang di bawah Muktamar itu menetapkan almarhumah Marsinah sebagai “Pahlawan Pekerja”. Sikap Muhammadiyah itu bukanlah sendirian. Sebenarnya jauh sebelum menentukan sikapnya itu, beberapa kalangan telah memberikan penghargaan serupa. Bahkan, Marsinah telah dinobatkan sebagai penerima Yap Thiam Hiem Award, sebuah penghargaan yang diberikan kepada tokoh penggerak hak asasi dan pembela kaum lemah.
Penghargaan-penghargaan yang sedemikian rupa bagi Marsinah, tampaknya memang layak adanya. Marsinah telah berjuang bagi perbaikan nasib kelas pekerja, yang kemudian menyeret dirninya menjadi korban pembunuhan sadis. Nyawanya telah menjadi taruhan bagi anak lulusan SMA Muhammadiyah Nganjuk yang dikenal gigih dan vocal memperjuangkan nasib teman sesamanya di pabrik PT CPS, Sidoarjo, tempat dia bekerja.
Perjuangan Marsinah bersama 13 kawannya di pabrik jam tangan CPS Porong (Sidoarjo) berkisar pada tuntunan kenaikan upah pokok Rp 1.700 menjadi Rp. 2.250, sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Jatim, pembubaran unit SPSI di perusahaan dinilainya tak berpihak pada nasib buruh setempat, pembayaran upah lembur dan cuti haid, dan tuntutan-tuntutan bagi kesejahteraan dan perbaikan nasib pekerja setempat. Suatu tuntutan yang sebenarnya wajar, bahkan masih minimal, namun telh mengantarkannya ke kematian yang mengenaskan pada 8 Mei 1993. Kasus yang menghebohkan dan diduga melibatkan beberapa pihak ini disidangkan di Pengadilan Negeri Sidoarjo.
Daerah Rawan
Namun, apa pun yang diputuskan Pengadilan, Marsinah tetap telah pergi untuk selama-lamanya. Yang tinggal adalah sebuah jejak perjuangan dari seorang buruh wanita muda usia yang dengan gigih dan penuh keberanian memperjuangkan nasib kaum pekerja. Marsinah kini telah menjadi lambang perjuangan kaum pekerja di negeri kita. Marsinah adalah potret buram dan kelam dari persoalan ketenagakerjaan yang musykil dan kompleks, yang boleh jadi akan makin menyeruak sebagai masalah nasional yang sifatnya structural di negeri ini, kini dan untuk masa-masa mendatang.
Bagaimana dengan Muhammadiyah, juga organisasi-organisasi dakwah Islam di negeri ini? Ada yang berpendapat, sikap Muhammadiyah sebenarnya terlambat. Demikian halnya ormas-ormas Islam lain dalam menanggapi dan menghadapi persoalan dunia ketenagakerjaan di tanah air. Bahkan ada yang menilai, Muhammadiyah menanggapi kasus Marsinah karena Marsinah adalah alumnus dari sekolah Muhammadiyah.
Namun, tak apalah. Hal terpenting yang dapat dipetik dari keputusan Tanwir Muhammadiyah tentang Marsinah ialah, bahwa Muhammadiyah mencoba peduli pada persoalan perburuhan. Ini sangat penting. Selama ini, ormas Islam pada umumnya, juga Muhammadiyah, seperti membiarkan dunia ketenagakerjaan mejadi urusan pemerintah dan perusahaan. Atau yang peduli adalah LSM-LSM yang memang sejak awal bergerak di masyarakat akar rumput (grassroots), dan sebagian memang tidak sabar melihat kemapanan ormas Islam.
Maka tantangan pasca Tanwir Surabaya ialah, dalam bentuk apa Muhammadiyah memperhatikan dunia pada pekerja yang masih diliputi banyak persoalan? Ini tidak mudah. Dunia perburuhan terbilang daerah rawan. Ketika berbicara soal buruh saja, sering digeret ke masa silam sebagi isu kekiri-kirian, yang kebetulan dulu dimanupulasi sedemikian rupa oleh gerakan PKI untuk tujuan politik mereka.
Selain itu, menghadapi duni pekerja atau perburuhan akan berhadapan dengan berbagai persoalan dan kendala yang saling kait-mengait. Bahkan sarat benturan. Di sana ada kepentingan para pekerja. Lalu kepentingan pengusaha juga kepentingan SPSI, pemerintah, bahkan keterlibatan aparat keamanan. Bahkan kolusi antara perusahaan dan oknum aparat keamanan tidak jarang menghimpit para pekerja untuk memperjuangan nasib mereka.
Lebih dari itu, dunia ketenagakerjaan tentu terkait dengan sistem perekonomian dan faktor-faktor non-ekonomi yang berjalan di negeri ini. Bagaimana Muhammadiyah menghadapi dunia yang rumit itu? Sudah siapkah? Atau, Muhammadiyah hanya berhenti pada pengangkatan Marsinah sebagai pahlawan, tanpa tindak lanjut untuk merumuskan aksi program dalam ikut serta mengentaskan persoalan pada pekerja di negeri ini?
Tinggal Diam
Agaknya Muhammadiyah tak bisa tinggal diam. Persoalan perburuhan khususnya di perusahaan-perusahaan manufaktor akan makin rumit. Dan itu menyangkut masyarakat bawah, lebih khusus lagi persoalan ummat. Bahkan dengan makin meningkatkatnya jumlah pekerja wanita dan anak-anak, persoalan akan melintasi banyak aspek. Termasuk aspek moral. Bila perlu, seperti pernah disusulkan orang, Muhammadiyah membentuk majlis atau badan advokasi kaum pekerja – suatu usulah yang boleh dipertimbangkan.
Juga bagi Aisyiyah. Akankah Aisyiyah berhenti pada program-program yang selama ini dikembangkan, tanpa mulai masuk ke dunia ketenagakerjaan yang rawan itu? Persoalan anak-anak dan wanita pekerja di pabrik-pabrik begitu rupa kompleksnya, jauh lebih kompleks dari yang ditangani BKIA dan program KB. Aisyiyah pun agaknya dituntut untuk berani mengevaluasi greget gerakannya ke hal-hal yang lebih mendasar dan msuk ke persoalan akar rumput.
Demikian halnya bagi Nasyiatul ‘Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah, akankah persoalan para pekerja luput dari perhatian gerakannya? Di arena Muktamar Pemuda di Bandung, dalam konperensi pers calon-calon ketua umum organisasi ini, isu soal perlunya Muhammadiyah memperhatikan masalah dunia dan nasib para pekerja sempat diangkat ke permukaan oleh Immawan Wahyudi. Immawan bahkan ketika konperensi pers saat itu mengusulkan agar Muhammadiyah – bila perlu – membentuk Majelis Perburuhan.
Sementara Nasyiatul Aisyiyah juga sempat mengingatkan forum Tanwir Surabaya untuk masuk lebih kongkret dalam menanggapi persoalan ketenagakerjaan, khusunya membela nasib buruh di pabrik-pabrik yang sarat persoalan. Itu sebagai konsekuensi lebih dari kepedulian terhadap nasib tragis Marsinah. Persoalannya, bagaimana Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah dapat bekerja sama melakukan program aksi untuk ikut serta memecahkan persoalan ketenaga kerjaan yang satu ini, khususnya di kalangan pekerja muda yang relatif besar jumlahnya.
Ala kulli hal, masih ada konsekuensi lain setelah Marsinah diangkan jadi pahlawan pekerja. Muhammadiyah juga dituntut memberhatikan kesejahteraan dan nasib para pekerja yang berada di seluruh lingkungan Persyarikatan. Jika hal itu terlupakan, bisa berabe. Ibarah pepatah, gajah di seberang lautan tampak, kotoran kecil di pelupuk mata tak kelihatan. (Abu Nuha)
Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 1994