Ki Hajar Dewantara: Peletak Dasar Pendidikan Nasional

Ki Hajar Dewantara: Peletak Dasar Pendidikan Nasional

Ki Hajar Dewantara: Peletak Dasar Pendidikan Nasional Foto Dok Istimewa

Ki Hajar Dewantara: Peletak Dasar Pendidikan Nasional

Oleh: Faiz Amanatullah

Pengabdiannya yang begitu besar terhadap pendidikan nasional, membuat nama Ki Hajar Dewantara dijadikan sebagai ikon sekaligus pahlawan pendidikan nasional yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei juga bertepatan dengan hari kelahirannya. Ki Hajar Dewantara juga sempat diberikan amanah sebagai Menteri Pendidikan RI yang pertama.

Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantara, merupakan seorang anak yang lahir di lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Kerjaan Pakualaman ini merupakan bagian pecahan dari Dinasti Mataram selain Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta.

Masa kecil Ki Hajar berbeda dengan anak kerajaan pada umumnya yang hanya merasakan dari manisnya kenikmatan serta layanan yang lengkap dalam lingkungan kerajaan. Sejak kecil Ki Hajar ambisi yang tinggi dalam dunia literasi dan jurnalistik hingga dirinya dikenal sebagai aktivis sekaligus jurnalis pergerakan nasional pemberani. Sejak hidup di Jakarta, Ki Hajar pernah mengikuti organisasi Boedi Oetomo (BO) di Batavia (Jakarta) pada 20 Mei 1908, kemudian ia pamit dari Boedi Oetomo dan mendirikan organisasi IP atau Indische Partij bersama Dr.Cipto Mangunkusumo serta Ernest Douwes Dekker hingga dalam lembaran sejarah dikenal dengan Tiga Serangkai pada 25 Desember 1912.

Tiga Serangkai pun pernah diasingkan ke Belanda pada tahun 1913 karena terbitnya tulisan yang berjudul “Andaikan Aku Seorang Belanda” yang isinya menkritik Belanda. Kala itu Belanda akan membuat peringatan kemerdekaannya dari jajahan Prancis, namun biaya kemerdekaan itu adalah hasil iuran dari rakyat pribumi.

Bahkan ketika dalam pengasingannya di Belanda, semangat Ki Hajar untuk menulis di media massa masih berkobar, yaitu dengan mendirikan kantor berita yang bernama Indonesische Persbureau di Den Haag. Dari nama awal media tersebut, itulah untuk pertamakalinya kata “Indonesia” digunakan di ranah internasional.

Bapak Pendidikan Nasional

Sebelum dikenal sebagai tokoh pendidikan, mulanya Ki Hajar Dewantara sering berkecimpung dalam ranah politik. Hanya saja ia merasa tidak bisa menahan emosinya, terkadang sulit mengendalikan dirinya sendiri, lantara ia sering berurusan dengan apparat colonial Belanda karena aktivitas dan tulisan-tulisannya yang acapkali mengkritik pemerintah Belanda. Sehingga membuat dirinya beberapa kali harus mendekap di dalam jeruji besi.

Istrinya yang setia, Sutartinah, memberikan saran yang diiringi dengan pertimbangan matang, akirnya Ki Hajar mengambil sikap untuk berjuangan melawan penjajah dengan cara lain, yaitu mencerdaskan generasi bangsa melalui bidang pendidikan.

Pada 3 Juli 1922, Ki Hajar mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Taman Siswa yang berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam buku Perjalanan Pendidikan di Tanah Air (2005) karya Najamuddin, Taman Siswa memiliki tujuan untuk membahagiakan bangsa dan manusia serta terdapat panggilan hati nurani untuk memajukan bangsa.

Keberadaan Taman Siswa menjadi pioner awal kebangkitan masyarakat terpelajar bumiputera yang mempelopori kebangkitan rakyat melawan kolonialisme. Serta konsep pendidikan yang dilakukan di Taman Siswa, dijadikan sebagai tawaran untuk gagasan pendidikan nasional yaitu dengan adanya semangat perjuangan dan kerakyatan menghadapi kolonialisme.

Pelajar Taman Siswa dikenal dengan memiliki idealisme dan indepedensi yang tinggi sebagai wajah dari cita-cita kemerdekaan untuk manusia yang merdeka lahir batinnya, hidup selamat dan bahagia serta membangun masyarakat tertib dan damai. Inilah pondasi awal pendidikan nasional yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara.

Maka dampak dari segenap sumabangsihnya terhadap kepentingan pendidikan nasional, Soekarno selaku Presiden RI pertama, menunju Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pengajaran (Pendididkan) pada 2 September 1945. Hingga tiba waktu ajalnya, pemerintah RI menetapkan jasa beliau sebagai pahlawan nasional serta menyematkan beliau dengan gelar Bapak Pendidikan Nasional. Hari kelahirannya pun diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Hakikat Pendidikan

Ki Hajar mendefinisikan pendidikan itu sebagai tuntunan, berbeda dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa pendidikan itu adalah transfer of knowledge atau mengisi ilmu kepada siswa. Ia mengibaratkan pendidikan seperti menuntun anak kecil belajar berjalan, karena potensi berjalan ada pada anak itu sendiri. Sedangkan orang tua hanya menuntun agar anak tersebut tetap tegak, berdiri dan tidak jatuh. Sehingga fungsi dari orang tua itu hanya menuntun saja. Ini adalah hakikat pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Adapun maksudnya pendidikan yaitu, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Pertama-tama hal yang dilakukan oleh seorang peserta didik yang sedang belajar adalah harus mengenali potensi dan kemampuan dirinya sendiri. Mungkin seringkali kita jumpai, terdapat anak-anak yang sulit menemukan potensi dirinya sehingga apabila hal tersebut dialami tersebut menerus, anak-anak itu akan berpikir bahwa ia tidak ada gunanya di dunia ini.

Maka dalam dunia pendidikan terdapat yang namanya guru, yang berfungsi untuk menuntun anak-anaknya sehingga menjadi manusia yang utuh, selamat dan bahagia. Karena alasan Tuhan menciptakan makhluknya pasti memiliki fungsinya tersendiri. Maka dari itu temukan potensi diri.

Tujuan Pendidikan

Tri Rahayu yang dikenal sebagai tujuan pendidikan oleh orang-orang jawa, ternyata hal tersebut dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar pendidikan akan menghasilkan tiga guna (tri rahayu) yang sangat luar biasa, yaitu: Hamemayu Hayununging Sarira (mempercantik dan menjaga diri), Hamemayu Hayuning Bongso (memelihara dan menjaga bangsa) dan Hamemayu Hayuning Bawono (memelihara dan menjaga alam raya).

Ketiga hal tersebut menggambarkan bahwa pendidikan menjadi kunci dalam kehidupan. Pendidikan mengawali perannya dalam membentuk pribadi yang berbudi pekerti, setelah insan menjadi manusia yang beradab, maka langkah selanjutnya akan berdampak kepada bangsa yang beradab. Dalam istilah Islam dikenal dengan baldattun thayyibatun wa rabbun ghaffur. Muaranya adalah alam raya akan senantiasa seimbang dari segi kelestarian alam, karena manusia sadar ketika mengeksploitasi alam akan memperkeruh suasana. Kemudian konflik dunia akan terhindar karena akhlak manusia yang baik akan menjauhi dari kepentingan pribadi yang merugikan orang banyak.

Dasar Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Mayoritas masyarakat Indonesia sudah mengenal istilah tut wuri handayani, karena tulisan tersebut terdapat di topi siswa sekolah dasar. Tut wuri handayani itulah salah satu dari tujuan pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara.

Semboyan dunia pendidikan Indonesia mempunyai tiga dasar yang disebut dengan tri loka, yaitu: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani.

Pertama, ing ngarsa sung tuladha. Artinya di depan menjadi contoh atau panutan. Dasar pertama dari pendidikan adalah harus memberikan contoh, bahkan kerap kali guru juga diistilahkan sebagai orang yang digugu dan ditiru. Ketika dalam diri seseorang terdapat kelebihan yang dimiliki diantara lingkunganmu, berarti orang tersebut sedang didepan, maka tugasnya adalah memberikan perilaku yang dicontoh baik serta dijadikan teladan.

Apabila seorang pendidik tidak memiliki perilaku yang dapat dicontoh dan dijadikan teladan, maka belum dapat dikategorikan sebagai seorang pendidik.

Kedua, ing madya mangun karsa. Di tengah membangun kreatifitas. Ketika kita berada di posisi tengah orang lain ataupun masyarakat, misalkan sedang berada di kelas, karena sejajar dengan murid lainnya. Hal yang harus kita lakukan adalah mangun karso, membuat inisiatif yang melahirkan hal baru yang menjadikan pribadi dan orang lain produktif.

Sebagai seorang yang mendapatkan pendidikan, maka ia harus mampu mengimplementasikan ilmu yang di dapat dalam kelas, sehingga ilmu tersebut tidak berhenti di perpustakaan yang terkemas dalam bentuk skripsi saja.

Ketiga, tut wuri handayani. Artinya di belaakang melakukan tuntunan dan dorongan. Hal ini sesuai dengan hakikat pendidikan diatas, seorang pendidik harus mampu menuntun peserta didik supaya mengoptimalkan potensinya, sehingga peserta didik tersebut mengenal akan bakat dan potensi dari dirinya. Ketika seorang pendidik berada di posisi belakang, maka ia harus melakukan handayani atau memberdayakan, menguatkan, mendukung. Tuntunan yang diberikan pun harus dijalani penuh keikhlasan dan kesabaran, karena hal tersebut akan membentuk karakter peserta didik.

Oleh karena itu, tolak ukur kesuksesan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah yang di depan memberi contoh, yang ditengah memberi sumbangsih kreatif dan produktif dan yang dibelakang memberikan dukungan. Maka dalam struktur pendidikan dewasa ini, antara pemerintah dan guru harus mempunyai kolaborasi yang baik, muaranya akan saling memahami atas tujuan dari pendidikan.

Penulis sangat setuju apabila pendidikan didefinisikan sesuai dengan harapan Ki Hajar Dewantara, yaitu setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah. Pendidikan tidak berhenti di bangunan sekolah saja, tapi juga di rumah, di jalan dan dimana-mana.

Faiz Amanatullah, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Exit mobile version