Masa Saling Berbagi

Sebelum wabah corona melanda Indonesia, pada Agustus 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran di Indonesia 7,05 juta jiwa. Setelah covid-19 positif menerpa tanah Ibu Pertiwi ini, Sri Mulyani Menteri Keuangan RI memprekdisikan tingkat pengangguran akan bertambah di angka 2,9 juta (skenario rendah) sampai 5,2 juta orang (skenario tinggi).

Sedang Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memprediksikan angka pengangguran akan bertambah 4,25 juta jiwa pada skenario rendah, 6,68 juta jiwa pada skenario sedang, dan 9,35 juta orang pada skenario tinggi.

Data lain menunjukkan, pada September 2019 BPS mencatat penduduk miskin sebanyak 24,79 juta orang. Dalam masa pandemi yang serba sulit ini, Mulyani pun memproyeksikan akan terjadi penambahan angka kemiskinan sekitar 3,78 juta jiwa.

Terlepas dari semua ramalan tersebut, faktanya hingga 11 April 2020 lalu, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pekerja yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sebanyak 160.067 orang dari 24.225 perusahaan. Sedangkan yang dirumahkan sebanyak 1.080.765 pekerja dari 27.340 perusahaan. Sudah barang tentu angka PHK ini akan terus berjalan naik mengikuti laju lamanya wabah virus ini.

Situasi pada sektor bisnis UMKM paling merasakan dampak adanya wabah corona. Sebab mayoritas dari mereka adalah kelas menengah-bawah. Mulai dari pedagang di pasar tradisonal, warung rumahan, dan kuliner merasakan penurunan penjualan. Termasuk, hal ini juga dirasakan oleh mereka para driver ojek online.

Melihat berbagai dampak yang ada, khususnya menyangkut bidang ekonomi, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan. Di antaranya meningkatkat anggaran kartu Prakerja dari 10 triliyun menjadi 20 triliyun, Program Keluarga Harapan (PKH) berupa sembako pangan non-tunai untuk masyarakat miskin, dan bantuan sembako senilai Rp 600 ribu per bulan selama tiga bulan.

Misalnya saja program kartu Prakerja. Gelombang pertama yang dibuka untuk kuota 200 ribu orang, ternyata dibanjiri hamper 6 juta jiwa pendaftar. Gelombang kedua pun hamper sama, kuota yang ada tak sebanding dengan 1 juta lebih pendaftar. Itu artinya bantuan dari pemerintah belumlah mencukupi ekspetasi masyarakat. Padahal, pemerintah sendiri memprediksikan situsi berat ini mungkin akan berlangsung hingga akhir tahun. Jika benar semua akan berakhir pada akhir tahun 2020, maka masih ada beberapa bulan ke depan situasi susah ini membelit negara. Itu artinya, dampak demi dampak corona kemungkinan besar akan semakin bertambah dan makin mencekik masyarkat.

Negara atau pemerintah tidak bisa berdiri sendiri untuk menyelesaikan persoalan ini. Semua elemen masyarkat harus ambil peran dan andil dalam lilitan situasi yang menghimpit. Karenanya, sejak Maret lalu, Muhammadiyah melalui Lazismu membentuk Gerakan Ta’awun Nasional.

Ta’awun, Hilman Latief Direktur Utama Lazismu Pusat menjelaskan, ialah kebersamaan, solidaritas, dan keterlibatan untuk ikut bersama orang lain dalam menyelesaikan masalah. “Bukan nambah masalah, nambah ramai, nambah pusing, karena orang yang meramaikan masalah itu banyak. Nah yang menyelesaikan masalah itu juga sedikit,” ujarnya.

Karenanya, ia berharap, baik itu Lazismu, Majelis, dan Ortom (organisasi Otonom Muhammadiyah) harus menjadi kelompok-kelompok yang ikut menyelesaikan masalah. Semua elemen yang ada di lingkungan Muhammadiyah harus bersama-sama dan bergandengan tangan dalam mengurangi dampak wabah corona ini. Sebab ta’awaun tidak bisa dilakukan secara nafsi-nafsi. Karena harus dilakukan secara bersama-sama dengan jalinan sinergi yang baik, maka dalam ta’awun dibutuhkan kebesaran hati dan keterbukaan.

Hal tersebut, terang Hilman, sejalan dengan QS Al-Maidah ayat 2; Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Karakter ta’awun ini, menurut KH Tafsir Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, sejalan dengan makna puasa dalam bingkai sosial, terlebih pada masa pandemi seperti sekarang ini. Di mana satu sama lain harus saling bantu-menbantu.

Di antaranya, Tafsir menekankan makna sosial dari puasa pada: pertama, membangun rasa santun dan kasih sayang. Rasa kasih sayang inilah yang harus lebih dieksplor untuk menjalin kasih sayang terhadap sesame, yang menjadi salah satu wujud berta’wun di masa pandemi ini.

Kedua, memupuk rasa solidaritas utamanya antara si kaya dan si miskin. Termasuk antara penguasa dan rakyatnya. Ketiga, dapat melatih manusia menjadi orang yang disiplin. ”Saya kira hal ini sangat aktual jika kita realisasikan lebih jauh lagi agar sama-sama bisa menghadapi pandemi ini,” pesannya.

Wujud nyata dari ta’awun nasional yang digerakkan Muhammadiyah tersebut, paling umum adalah pemberian bantuan, baik berupa sembako maupun uang tunai kepada terdampak covid-19 dan fakir-miskin. Hal ini dilakukan secara serempak mulai dari Pusat, Wilayah, Daerah, hingga akar rumput, Cabang dan Ranting.

Di Ranting misalnya, PRM Gunungpring, Muntilan, Jawa Tengah, lewat masjid Mujahidin yang dikelola sudah tiga kali membagikan sembako dan uang tunai kepada lebih 150 keluarga. Conmtoh lain ialah PCA (Pimpinan Cabang Aisyiyah) Depok, Sleman, Yogyakarta, yang juga rutin membagikan paket sembako kepada guru dan karyawan AUM (Amal Usaha Muhamadiyah) dan masyarkat kurang mampu.

Tanpa pendemi pun, hal serupa rutin dilakukan Muhammadiyah beserta Majelis, Lembaga, dan  Ortomnya di semua level pimpinan. Lewat pembentukan Muhammadiyah Covid-19 Command Center di level Cabang dan Ranting, sebagai respon terhadap wabah corona, peran-peran itu makin terlihat dan meningkat.

Terbaru, data dari MCCC (Muhammadiyah Covid-19 Command Center) PP Muhammadiyah per 27 April 2020 pukul 16.00, dari 29 perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah, sudah mengeluarkan anggaran sebesar 24 milyar lebih guna membantu mengurangi dampak pandemik ini.

Tapi apakah hal ini bisa bertahan lama? Mengingat terjadi penurunan pendapatan masyarakat yang cukup signifikan. Artinya jika pendapatan menurun, tentu hal ini juga akan berdampak kepada penurunan Gerakan penggalangan dana. Tafsir pun menyebutkan demikian, sejalan dengan penurunan pendapatan masyarakat, maka lambat laun juga akan mempengaruhi besaran zakat, sedekah, dan infak. Inilah tantangan yang harus dihadapi.

Karenanya Hilman berpesan, untuk menjaga gerakan ta’awun ini tidak cepat habis, mengingat masa pandemi covid yang masih panjang, maka kader-kader Muhammadiyah harus memelihara betul energi dan mengatur gerakan ini dengan matang dan baik. Tapi melihat pengalaman berorganisasi serta pengalaman menjalin kerjasama dengan masyarakat, khususnya dalam program tertentu, Hilman yakin bahwa Muhammadiyah bisa terus mengahdapi persoalan ini hingga selesai. (gsh/rahel/ran)

Exit mobile version