Oleh: Muhammad Ridha Basri
Pemuda Muhammadiyah memperingati milad ke-88, pada 2 Mei 2020, yang mengusung tema: Meneguhkan Solidaritas, Menebar Kebaikan, Mencerahkan Semesta. Tema ini diketengahkan sebagai wujud respons Pemuda Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia. Di momen baik ini, Pemuda Muhammadiyah patut memperbanyak rasa syukur sembari berefleksi atas perjalanan organisasi sejauh ini.
Di ulang tahun kali ini, Pemuda Muhammadiyah mengajak seluruh komponen untuk meneguhkan solidaritas sebagai bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia. Di saat situasi musibah yang menimpa keluarga bangsa, Pemuda Muhammadiyah sebagai salah satu anak kandung negeri ini dituntut membaktikan dedikasinya. Peran yang sebenarnya telah melekat dalam sejarah kehidupan Pemuda Muhammadiyah sejak awal kelahirannya.
Pemuda Muhammadiyah menyadari pentingnya menumbuhkan rasa kebersamaan, empati, simpati, tolong-menolong, kepedulian, dan seterusnya. Solidaritas yang tumbuh menjalar ke seluruh Nusantara adalah kekuatan kita yang sangat berharga. Pemuda Muhammadiyah mencoba mengingatkan kembali tentang karakter dasar negeri gemah ripah loh jinawi ini yang selalu mengedepankan jiwa kolektivitas dan kohesivitas.
Kita cinta pada negara gugusan kepulauan yang bagaikan sekeping surga yang diturunkan ke dunia. Negeri zamrud khatulistiwa yang subur ini sangat kaya sumber daya dan beraneka rupa. Namun, potensi ini kadang menjadi sia-sia oleh karena sikap kita. Oleh karena itu, masa wabah ini menjadi momen kita bersolidaritas dan mengekspresikan cinta. Pemuda Muhammadiyah mengajak peduli kepada saudara yang nestapa dan papa oleh karena korona.
Tak cukup sekadar retorika, Pemuda Muhammadiyah dituntut beramal nyata: menebar kebaikan yang utama. Bergerak bersama berbagi rahmat kepada semua makhluk-Nya di alam raya. Dimulai dengan kita mengenali potensi dan masalah di tubuh bangsa. Tak kenal, maka tak sayang. Setelah mengetahui masalah dan mengkajinya secara mendalam, diikuti dengan langkah keberpihakan yang penuh ketulusan.
Diksi “mencerahkan semesta” dalam tema milad kali ini menunjukkan sikap Pemuda Muhammadiyah yang telah tumbuh dewasa. Ia sadar bahwa dirinya tidak hanya sebagai bagian dari keluarga bangsa, namun juga sebagai warga dunia. Pemuda harapan bangsa ini didorong untuk membuana, belajar dan menjejaki semua musim kehidupan di semua peradaban. Dengan bekal itu, ia mampu mengabdikan diri pada kemanusiaan universal dan kebaikan semesta.
Milad kali ini disambut ucapan: selamat datang di dunia yang telah berubah. Banyak hal yang terjadi di luar prediksi para ahli. Banyak kejutan menghantam kita bertubi-tubi. Sikap reaktif, pesimis, dan lari dari panggung utama, bukanlah solusi bagi anak muda. Pandemi ini mungkin akan segera berakhir, namun kita harus siap dengan masa transisi menuju masa normal kembali. Di dunia baru, semua pemuda harus punya kapasitas yang sesuai zaman: senantiasa membuka pikiran dan memperbanyak pengalaman.
Para pemuda hari ini harus membekali diri dengan kebutuhan abad ke-21, yaitu skill: critical thinking, creative, problem solving, dan collaboration. Generasi muda dengan kreatifitasnya berpotensi melahirkan berbagai karya positif yang tidak terpikirkan sebelumnya. Mereka punya keinginan menjadi hero, mengubah dunia, dan berkonstribusi dengan cara yang tidak biasa. Terkadang, pemuda hanya perlu diberi kesempatan.
Pemuda kerap disebut sebagai floating signifier yang tak punya sifat statis. Di setiap ruang dan waktu, jiwa pemuda terus berdinamika. Ia harus selalu bisa beradaptasi dan luwes sebagai lokomotif perubahan yang menarik gerbong kemajuan. Ia setia pada rel idealisme dan cita-cita besar. Ia punya segudang harapan untuk masa depan. Ia mungkin tak punya banyak pengalaman, namun pemuda seharusnya berlimpah gagasan yang ingin diwujudkan.
Pemuda, kata Taufik Abdullah, adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak, dan optimis. Namun terkadang ia belum memiliki kematangan dalam pengendalian diri yang labil. Situasi ini harus dilihat sebagai modal utama. Pemuda harus piawai dan tidak gagap berselancar di era revolusi industri 4.0 jelang era 5.0. Fenomena disrupsi yang melanda berbagai bidang kehidupan menuntut pemuda untuk memberi jawaban.
Tenaga manusia mungkin akan digantikan robot dan alat-alat pintar yang dilengkapi kecerdasan buatan. Benda-benda berteknologi tinggi itu bisa saja mengambil alih semuanya. Namun alat ciptaan manusia tersebut tidak bisa menggantikan manusia dalam bidang yang sifatnya multi-disipliner, dunia kreatif, dan membutuhkan interaksi manusiawi. Para entrepreneur, manager, pengambil kebijakan, seniman, serta mereka yang menuntut daya berpikir kritis yang melintas, tidak bisa digantikan.
Tanpa kemampuan menyesuaikan diri dengan laju zaman, maka ia akan digilas kereta kemajuan. Inilah dunia baru, aina al-mafar? Kemana kita harus lari dari persoalan? Pemuda harus lincah dalam memecahkan masalah, bukan menjadi penggerutu yang banyak mengeluh. Ia harus mengasah jiwa kepemimpinan dan kewirausaan. Jadilah creative minority dengan tetap memegang teguh nilai-nilai moral dan idealisme yang menjadi kemewahannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009, pemuda adalah warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun, yang merupakan periode penting usia pertumbuhan dan perkembangan. Sensus Nasional tahun 2019 menemukan jumlah pemuda mencapai 64,19 juta jiwa atau seperempat dari total penduduk Indonesia. Sekitar 57,94 persen pemuda berada di perkotaan dan sisanya 42,06 persen berpencar di pedesaan. Pemuda berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dengan rasio 103,16. Bahwa setiap 103 pemuda laki-laki terdapat 100 pemuda perempuan.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan bahwa pada tahun 2019 hampir tidak ada pemuda yang tidak bisa membaca dan menulis. “Sekitar satu dari empat pemuda tercatat sedang bersekolah, dengan angka partisipasi sekolah (APS) pada kelompok umur 16-18 tahun, 19-24 tahun dan 25-30 tahun masing-masing sebesar 72,36 persen, 25,21 persen dan 4,13 persen. Secara umum, APS pemuda di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan.”
Data itu memperkuat berbagai studi sebelumnya tentang bonus demografi Indonesia. Bonus ini menjadi potensi sekaligus tantangan tersendiri. Pemuda Muhammadiyah harus membaca peluang ini dan bergerak menawarkan solusi. Ia sebagai wadah menempa diri. Pemuda Muhammadiyah harus menjadi pelaku tajdid, pemecah kebuntuan. Dengan sumber daya yang mumpuni, Pemuda Muhammadiyah harus melakukan reformasi, modernisasi, dan dinamisasi.
Sebagai bagian mata rantai tajdid, Pemuda Muhammadiyah dituntut untuk meninjau ulang dan mempertanyakan kembali segala yang sudah menjadi status quo. Ia terbuka dan tidak fanatik buta. Slogan al-muhafadhatu ‘ala qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara warisan lama yang baik seraya mengambil hal-hal baru yang lebih baik) senantiasa jadi pegangan. Di zaman yang terus bergerak maju, sikap diam atau berhenti berarti mati. Sebelum itu, adalah kesempatan berprestasi.
Ahmad Wahib dalam catatan hariannya pernah menuliskan, “Manakala suatu organisasi pembaharu relatif sudah berhenti mencari dan bertanya, sudah puas dengan ide-ide yang ada, tidak mengadakan kritik-kritik terhadap ide-ide yang hidup di dalamnya, sudah berhenti gelisah dan gundah, sudah tidak ada lagi gejolak dan pergolakan ide di dalamnya, tak ada benturan-benturan ide yang intensif di tubuhnya, maka pada saat itulah organisasi pembaharuan ide bisa dikatakan sudah berhenti menjadi organisasi pembaharu. Karenanya, suatu shocking diperlukan untuk membangkitkan lagi, atau kalau tidak, harus lahir suatu organisasi yang baru.”