Intisari dan semangat pendidikan dalam ibadah puasa adalah pendidikan kejujuran. Manusia diuji sekaligus menguji kejujurannya sendiri secara mandiri. Bertahan tidak menyentuh hal-hal yang bisa membatalkan puasa, meski tidak ada makhluk lain yang melihat. Cukup rasa percaya diri bahwa dirinya mampu bertindak jujur yang mengendalikan perilaku. Dan perlu latihan lama, dimulai sejak anak-anak. Saya punya pengalaman unik di sebuah bulan Ramadhan.
Waktu itu, saya menjadi yuri lomba menulis anak-anak bertema kisah pengalaman anak-anak selama Ramadhan. Yang mengikuti lomba ini lebih dari 700 anak. Masing-masing anak mengirim tulisan paling tidak 2 halaman. Ada malah yang menulis pengalamannya 5 halaman.
Jadi dalam waktu sekitar sepuluh hari saya harus membaca karya tulis anak-anak itu sebanyak sekitar 2100 halaman. Tentu saja capek. Tapi rasa capek saya kesampingkan, yang saya utamakan adalah rasa ingin tahu saya. Seperti apa dan seperti apa saja pengalaman anak-anak waktu Ramadhan tiba.
Kesan pertama, dan ini yang mengagumkan. Anak-anak jujur dalam menulis. Banyak yang menulis tentang bagaimana beratnya menahan godaan di waktu berpuasa. Sebagian mengaku berhasil menahan godaan, sebagian mengaku dengan terus terang gagal menahan godaan. Yang berhasil puas, yang gagal merasa menyesal dan ingin mengganti puasa sehabis Lebaran.
Kejujuran anak-anak dalam hal ini patut diacungi jempol. Ini mengingatkan saya pada waktu pertemuan siswa-siswi SMA dengan sebuah lembaga bimbingan belajar.
Waktu itu nara sumber bertanya, siapa yang suka menyontek kalau ulangan? Yang angkat tangan menunjukkan telunjuk hampir semua anak, kecuali lima anak. Ketika ditanya siapa yang tidak pernah menyontek? Lima anak itu mengacungkan jari. Nara sumber memuji kedua-dua karena telah menjawab jujur. “Kejujuran adalah kunci sukses,” kata nara sumber. Anak-anak bertepuk tangan.
Kegiatan melatih kejujuran dulu juga dipraktikkan di Pandu HW. Saat berkemah, dibuat warung jujur, warung tanpa penjagaan. Ternyata barang yang laku dengan uang masuk klop. Ini sudah betul-betul zaman kemajuan.
Waktu saya kecil, kalau sawah-sawah di musim kemarau ditanami tebu, saat gelagah atau bunga tebu sudah panjang dan tua, kami suka mencari gelagah itu. Ketika mengikat gelagah, kami dengan hati-hati menyelipkan batang tebu yang dipotong pendek di antara gelagah.
Waktu sampai di depan pak mandor tebu tinggal bilang, “Ini gelagah ya Pak.” Sambil menunjuk pada gelagah yang diikat erat. “Ya, itu gelagah, silakan jalan.” Yes, teriakku dalam hati. Tapi no, ketika sampai rumah.
Waktu saya membuka ikatan gelagah dan baru mulai akan mengupas tebu, tiba-tiba muncul ayah, menghardik, “Hayo, ini tebu curian kan? Ayo kembalikan ke pak mandor.” “Ya, pak. Nanti kuberikan kepada dia aku janji.” Tebu kuikat, kusembunyikan di dalam ikatan gelagah.
Aku berjalan ke arah luar kampung. Di pinggir kampung terlihat rumah temanku yang tadi ikut mencari tebu cap gelagah itu. Ikatan kubongkar, tebu kutitipkan ke dia. “Kan tidak mungkin kukembalikan ke pak mandor, ya kan?” Temanku mengiyakan. Sambil ngobrol kucicipi tebu itu, manis sekali.
Lalu aku pulang membawa gelagah tanpa tebu. “Yah, tebunya telah kuberikan kepada dia. Nih, lihat ini hanya gelagah doang.” Ayah menganggukkan kepala. Meski aku sukses mengecoh ayah dalam kasus tebu cap gelagah ini, sepanjang hidup aku diburu perasaan bersalah.
Setelah agak besar aku punya teman sekolah yang rumahnya dekat sawah yang dulu sering ditanami tebu. Suatu hari libur saya bermain ke rumahnya. “Cah ngendi Kowe le?” Ayah teman saya bertanya asal-usul saya. “Saya anak Kotagede pak.”
Ayah teman saya lalu bercerita bagaimana dulu ketika sawah petani disewakan ke pabrik gula, sawah ditanami tebu. “Yang susah itu kalau tebu hampir ditebang, datang anak Kotagede. Bilang cari gelagah, tapi sambil menyelundupkan tebu di dalam gelagah. Ini jelas merugikan petani karena hasil rendeman berkurang.”
Aku tertawa kecut, membayangkan aku telah merugikan dua pihak. Pertama mengecoh ayah, kedua merugikan petani. Sebulan kemudian aku datang ke rumah temanku sambil membawa oleh-oleh yangko, ukel dan gandos.
“Untuk apa ini?” Aku pun mengaku kalau dulu sering mencuri tebu di sawahnya.
“Ini ganti rugi karena saya dan teman-teman mengurangi hasil rendeman tebu Bapak.”
Ayah teman saya menepuk-nepuk pundak saya, katanya, “Wah kau ini anak Kotagede yang jujur. Ayahmu pasti bangga kepadamu.”
Begitu dia menyebut ayah, aku terhenyak. Ini yang menyebabkan sepulang dari tempat teman aku menemui ayah dan mengaku salah. Ayah tertawa. “Untung kau mengaku bersalah sekarang. Kau bisa lega. Bayangkan, seandainya sampai ayahmu ini meninggal dan kau belum mengaku bersalah, sepanjang hidupmu kau akan dikejar-kejar rasa bersalahmu.”
“Kenapa ayah?”‘
“Karena yang namanya pendidikan kejujuran itu berlangsung sepanjang hayat. Paham?”
“Paham, yah” kataku sambil menundukkan wajah.
(Mustofa W Hasyim)