Pernahkah kita barang sejenak berfikir, bagaimana bisa finalnya Al-Qur’an sampai bisa dibukukan? Apakah tidak ada kesulitan ketika menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an? Padahal, Malaikat Jibril mengajari Al-Qur’an kepada Nabi secara lisan, tanpa tulisan. Nah, sekarang, bukan masanya lagi untuk mengumpulkan Al-Qur’an, melainkan bagaimana caranya agar umat Muslim senantiasa membaca Al-Qur’an, memaknai kandungan Al-Qur’an, serta mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an.
Kehadiran bulan Ramadhan, menjadikan banyak umat Muslim semangat untuk selalu berusaha membaca-Nya, bahkan mengkhatamkannya. Apakah itu hanya sekedar semangat? Tentu tidak, jika kita mengetahui betapa banyaknya kesulitan-kesulitan yang dilalui oleh para sahabat-sahabat Rasulullaah SAW. terdahulu ketika menghimpun Al-Qur’an, maka semangat itu akan berbuah menjadi amalan.
Masih ingatkah dengan Zaid bin Tsabit r.a.? Zaid merupakan seorang sahabat Anshar yang memeluk Islam bersama keluarganya pada masa awal Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, saat itu ia berusia 11 tahun. Ia beruntung karena sebagai anak-anak, ia secara khusus didoakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sebagai anak muda, Ia mendapat perhatian secara khusus oleh Rasulullah SAW. berkat kecerdasan dan kemampuan tulis menulis, sehingga diberi tugas menulis wahyu. Beliau juga memerintahkannya mempelajari beberapa bahasa asing, yang bisa dikuasainya dalam waktu singkat. Ketika Nabi Muhammad SAW mulai melakukan dakwah kepada raja-raja dan kaisar di luar negeri Arab, Zaid bin Tsabit menjadi salah satu penulis surat-surat dakwah tersebut karena kemampuan bahasanya.
Sebenarnya cukup banyak sahabat yang diserahi Nabi Muhammad SAW untuk menghafal dan menuliskan wahyu yang turun secara bertahap, terkadang juga berkaitan dengan suatu peristiwa atau sebagai jawaban dan solusi atas suatu masalah. Tetapi beberapa orang saja yang dianggap sebagai “pemimpin-pemimpin” dalam bidang ini, mereka itu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit sendiri. Tiga yang pertama adalah dari sahabat Muhajirin dan dua yang terakhir dari sahabat Anshar.
Cikal bakal pembukuan Al-Qur’an bermula pada pecahnya pertempuran Yamamah pada masa Khalifah Abu Bakar r.a., banyak sekali sahabat yang ahli baca (Qori’) dan ahli hafal (Huffadz) yang gugur menemui syahidnya. Hal yang cukup mengkhawatirkan ini ‘ditangkap’ oleh Umar bin Khattab r.a.. Segera saja menghadap Abu Bakar r.a dan mengusulkan agar segera menghimpun Al-Qur’an dari catatan-catatan dan hafalan-hafalan para sahabat yang masih hidup. Tetapi Abu Bakar ra berkata tegas, “Mengapa aku harus melakukan sesuatu yang tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW (yakni, bid’ah)?”
“Demi Allah, ini adalah perbuatan yang baik!!” Kata Umar r.a., agak sedikit memaksa.
Abu Bakar r.a. masih dalam keraguan bahkan sampai menunaikan shalat istikharah, dan kemudian Allah membukakan hatinya untuk menerima usulan Umar. Abu Bakar dan Umar bermusyawarah, dan mereka memutuskan untuk menyerahkan tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Zaid menghadap Abu Bakar r.a. dan diberikan tugas tersebut, reaksinya sama seperti Abu Bakar r.a., Ia berkata “Mengapa aku harus melakukan sesuatu yang tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW (yakni, bid’ah)?”
Abu Bakar dan Umar menjelaskan tentang keadaan yang terjadi dan bahaya yang mungkin bisa terjadi, dan akhirnya Abu Bakar r.a. berkata,”Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas, dan kami tidak pernah meragukan dirimu. Engkau juga selalu diperintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menuliskan wahyu, maka kumpulkanlah ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.”
Zaid bin Tsabit berkata, “Demi Allah, ini adalah pekerjaan yang berat. Seandainya kalian memerintahkan aku untuk memindahkan sebuah gunung, rasanya itu lebih ringan daripada tugas menghimpun Al Qur’an yang engkau perintahkan tersebut!!”
Seperti halnya Abu Bakar r.a., akhirnya Zaid bisa diyakinkan akan pentingnya pekerjaan tersebut demi kelangsungan Islam di masa mendatang.
Zaid bin Tsabit sendiri sebenarnya hafal Al Qur’an dari awal sampai akhirnya, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri sering mengecek hafalannya. Sebagai orang yang tawadu’, Ia tidak mau menggunakan hafalannya saja. Ia berjalan menemui para sahabat yang mempunyai catatan dan hafalan, mengumpulkan catatan yang terserak pada kulit, tulang, pelepah kurma, daun dan sebagainya dan juga membandingkannya dengan hafalan para sahabat tersebut.
Setelah semua terkumpul dan dicek ulang dengan hafalannya dan juga hafalan para sahabat, Zaid menuliskannya lagi dalam lembaran-lembaran dan menyatukannya dalam satu ikatan. Semuanya disusun menurut urutan surat dan urutan ayat-ayat seperti yang pernah di-imla’-kan (didiktekan) Nabi Muhammad SAW kepadanya. Inilah mushaf pertama yang dibukukan dalam Islam, dan peran Zaid bin Tsabit sangat besar dalam penyusunannya. Ia menghabiskan waktu hampir satu tahun untuk menyelesaikannya.
Di masa Nabi Muhammad SAW masih hidup dan Islam masih di sekitar jazirah Arab, Al Qur’an diturunkan dengan tujuh macam bacaan (qiraat sab’ah). Hal itu tidak jadi masalah. Untuk qiraat sab’ah (bacaan yang tujuh), biarlah hanya diketahui para ulama dan ahlinya saja. Hal ini memang diminta Nabi Muhammad SAW sendiri untuk kemudahan umat beliau yang karakter lafal dan ucapannya berbeda-beda, sehingga jika telah cocok dengan salah satu bacaan (qiraat) tersebut sudah dianggap benar.
Tetapi ketika wilayah Islam makin meluas ke Romawi, Persia dan tempat-tempat lainnya, sementara pemeluk Islam juga makin beragam dari berbagai bangsa, bukan hanya Arab, hal itu bisa menimbulkan perpecahan. Pada masa khalifah Utsman, di mana Islam sudah mulai menjamah wilayah Eropa, yakni Siprus dan sekitarnya, Hudzaifah bin Yaman dan beberapa sahabat lainnya mendapati benih berbahaya terhadap dialek Al-Qur’an. Karena itu mereka menghadap khalifah Utsman menyampaikan usulan untuk menyatukan mush’af dalam satu bacaan/qiraat saja, dan menyebar-luaskannya sebagai pedoman bagi masyarakat Islam yang makin meluas saja.
Khalifah Utsman tidak serta-merta menerima usulan tersebut karena takut terjatuh dalam bid’ah, sebagaimana yang dikhawatirkan Abu Bakar r.a. Tetapi setelah melakukan istikharah dan mempertimbangkan persatuan umat, serta madharat dan manfaat dari adanya Qiraat Sab’ah, akhirnya ia menyetujui usulan ini. Dan seperti halnya Abu Bakar r.a., khalifah Utsman menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin kembali proyek besar ini, sehingga tersusun kodifikasi Mush’af Utsmani, yang menjadi cikal bakal dari hampir seluruh Mush’af Al Qur’an yang sekarang beredar di antara kita.
Sungguh kita semua berhutang jasa kepada Zaid bin Tsabit r.a. Masihkah kita malas hanya untuk sekedar membacanya?? (Rahel Nurhidayah)