Heterogenitas Generasi Millenial

Heterogenitas Generasi Millenial

Generasi millenials, istilah yang belakangan semakin kerap didengungkan. Meskipun banyak ahli yang  memiliki beragam pendapat akan kelompok mana yang dimasukkan ke dalam kategori millenial ini. Umumnya mereka adalah generasi yang lahir dalam rentang tahun 1982 hingga 2004 yang kemudian diikuti oleh generasi Z yang lahir pasca tahun 2004 hingga saat ini. Periode, di mana teknologi mengalami perkembangan yang pesat, modernitas kian merasuk, jumlah kelas menengah mengalami kenaikan, dan ekspresi keislaman cenderung meningkat. Tidak heran jika generasi millenial yang juga dikenal dengan istilah generasi Y ini disebut-sebut sebagai anak kandung internet atau generasi digital native. Globalisasi sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi sudah pasti tidak bisa dihindari. Konsekuensinya tak sederhana. Membawa manfaat luar biasa namun juga ketakutan-ketakutan akan dampak yang tidak menyenangkan. Teknologi telah mengubah budaya, perilaku dan cara berekspresi generasi millenial saat ini, termasuk dalam hal beragama.

Berbagai publikasi seputar karakteristik generasi millenial yang didominasi Barat pun bertebaran di mana-mana. Oleh Lembaga survey Pew Research Center AS generasi ini dideskripsikan sebagai kelompok yang confident – percaya diri, connected – terhubung, dan open to change – terbuka terhadap tantangan dan perubahan. Generasi ini juga disebutkan sebagai generasi yang kreatif, sangat memperhatikan citra diri, haus perhatian, toleran dan mudah beradaptasi. Namun benarkah karakteristik tersebut telah mampu mewakili seluruh komponen generasi millenial?

Ibnu Nadzir, peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI mengatakan bahwa jika dilihat dari konteks kultur dan berbagai faktor lainnya, generasi millenial memiliki karakteristik berbeda-beda yang sulit untuk digeneralisasikan. Indonesia sendiri, menurut Ibnu belum cukup memiliki kajian yang mendalam mengenai karakteristik generasi millenial. “Kita punya banyak contoh kalau generasi millenial itu sangat heterogen. Kalaupun ada persamaan, mereka dapat dikarakteristikkan sebagai generasi yang lahir dan tumbuh dengan teknologi informasi. Sering kali ada bias urban ketika membicarakan tentang generasi ini,” terangnya.

David Krisna Alka, peneliti senior Maarif Institut juga sepakat dengan anggapan tersebut. “Generasi milenial tak bisa hanya dipandang satu arah saja, walau mereka secara usia sama tapi secara pola dan gaya hidup tentu tak semua sama. Masih cukup banyak generasi yang dikategorikan sebagai milenial, masih berjuang hidup hanya untuk isi perut. Mereka tak mampu memainkan jarinya di layar gadget tapi malah gigit jari karena lebih memilih isi perut dari pada isi pulsa,” tukas David.

Pengkarakteristikan dan penilaian terhadap generasi millenial selama ini menurut Ibnu sering kali mengalami bias. Di antaranya bias urban dan bias utopia lama bahwa internet menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, banyak publikasi terkait generasi millenial yang berangkat dari ulasan dunia marketing. “Sehingga ada imajinasi akan pencerahan, individualisme yang tinggi. Padahal fakta empirisnya semakin banyak yang menunjukkan bahwa mereka suka berkumpul dengan kelompok-kelompok kajian keagamaannya,” lanjut ibnu. Berdasarkan riset yang dilakukannya di Yogyakarta, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya tertarik mendalami Islam lewat pengajian-pengajian karena sebelumnya mendapatkan informasi di dunia maya.

Ketika ditanya apakah generasi millenial cenderung toleran dan memiliki kepedulian yang tinggi akan kemanusiaan, Ibnu tidak sepenuhnya sepakat. Di samping algoritma internet juga membuat para panggunanya terperangkap dalam internet bubble. Di mana pengguna internet akan diarahkan kepada situs-situs yang sesuai dengan kesukaan dirinya saja. Hal inilah yang menyebabkan seseorang cenderung tidak terbuka pandangannya. “Namun secara empiris kita bisa melihat bahwa ada juga generasi millenial yang akhirnya bergabung dengan kelompok ISIS karena melihat video-video di Youtube. Banyak juga netizen dari generasi millenial yang melontarkan komentar-komentar kasar di media sosial.”

Oleh karena itulah, dalam memahami keislaman di Jaman Now sendiri, di mana teknologi menjadi kata kunci, David berpesan bahwa generasi millenial harus melakukan verifikasi mendalam terhadap konten-konten keagamaan yang beredar di media sosial.

“Generasi millenial harus pandai memilah dan rajin mencari informasi yang tepat tentang ajaran keagaaman. Bukan ajaran hoax yang menyempitkan ruang keberislaman, tapi melapangkan, memanusiakan dan berkemajuan,” tandas David. (Th).

(Dari Majalah Suara Muhammadiyah 02/103, 16-13 Januari 2018)

Exit mobile version