Ketika kecil saya pernah bertanya kepada Ayah,”Yah, kenapa sih ketika Ramadhan tiba, ibu suka memasak yang enak-enak. Sayurnya brongkos pakai telur misalnya. Kadang ditambah tempe dan tahu bacem. Untuk minum, ibu malah suka bikin kluwa. Kadang kluwa waluh, kluwa singkong, kluwa pepaya kemampo, kluwa bligo, atau malah kadang membuat setup jambu, setrup nanas.”
Ayah diam saja. Aku melanjutkan bertanya,”Kenapa kalau tarwehan ada jaburan. Minuman dan makanan kecil segala. Juga kalau Maghrib di masjid ada takjilan ketan serundeng atau bubur sambal krecek ditambah minuman teh panas?”
Ayah diam. “Masih ada pertanyaan?” Ayah tidak menjawab pertanyaanku, justru bertanya seperti itu. “Ada,Ayah. Itu kalau sudah tanggal tua Ramadhan, sering ada orang kaya membagi amplop untuk semua jamaah taraweh, termasuk anak anak. Juga malam menjelang Idul Fitri selain ada takbir keliling juga ada beras keliling, itu beras yang dibagi dari zakat fitrah.”
Ayah mengangguk-angguk. Lalu sebagaimana orang Jawa dulu, suka menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula. “Untuk menjawab semua pertanyaanmu tadi Ayah hanya ingin bertanya sekali.’ “Apa pertanyaan Ayah?” Tanyaku ingin tahu. “Apakah dengan semua itu, mulai dari ibumu masak enak, masak kluwa, jaburan, takjilan ketan serundeng, menerima uang zakat dari pengusaha, kamu merasa senang dan gembira nggak?” “Ya, tentu saya senang dan gembira, Yah.”
“Ya, itulah jawabannya. Agar orang mau mengalami dan memasuki Ramadhan dengan gembira. Belum lagi kegembiraan hati ketika kita tahu bahwa setiap puasa sehari sekali diakhiri dengan berbuka, dan berpuasa sebulan diakhiri dengan shalat Hati Raya Idul Fitri, kita merayakan itu dengan sarapan sebelum berangkat ke lapangan. Gembira dan senang kan kamu?” “Ya,saya dan teman-teman selalu gembira dan senang, Yah.” “Ya, sudah, jangan bertanya-tanya lagi. Nikmati saja kegembiraan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan.”
Begitulah, lewat perspektif pengalaman beragama, banyak sekali terbentuk ruang-ruang kegembiraan dalam beragama. Termasuk dalam beribadah. Beribadah puasa Ramadhan misalnya. Tersedia pintu-pintu kegembiraan yang siap dibuka dan terbuka kalau kita menginginkannya. Ada yang sepanjang bulan Ramadhan membuka pintu-pintu kegembiraan ini. Bagi dia, Ramadhan adalah bulan gembira.
Sebelum bulan ini datang, dia sudah menyambut dengan penuh harapan. Dan ketika bulan ini pergi, dia pun bersedih. Ramadhan memang bulan istimewa. Daerah istimewa ibadah bernama Ramadhan ini pun perlu diperlakukan secara istimewa pula. Dengan mematuhi aturan berRamadhan berubahlah pola hidup manusia.
Pola hidup baru yang istimewa, karena memang istimewa pula yang akan dijalani selama Ramadhan. Menjadi istimewa karena selalu terhidang kegembiraan-jegembiraan di dalamnya. Bagi anak-anak ini sangat terasa. Bagi anak-anak, pengalaman beragama selama Ramadhan boleh dikatakan full kegembiraan.
Sekolah libur, bisa jalan-jalan ke kota atau ke desa Kalau sore bisa berebut pemukul bedug di masjid. Atau duduk di rumah membantu ibu memasak, atau membantu Bu Lik menyiapkan manisan, kue lebaran, pulang dapat sangu uang untuk ditabung.
Pendek kata, ruang kegembiraan selama Ramadhan selalu terbuka di mana-mana. Termasuk sekarang, ketika kita jalanai ramadhan di musim waabah. Terpaksa menjalani protokol kesehatan untuk tidak mudik, tidak kumpul di masjid dan tidak berkerumun di tempat umum lainnya. Kita bisa menjadikan rumah kita, menjadi istana istimewa untuk kegembiraan bersama keluarga.
Memperapi dan mempercantik ruangan, lomba kebersihan antar kamar, atau menanam bunga dan sayur di kebun belakang. Untuk ini hanya orang beruntunglah yang mau membuka pintu-pintu kebahagiaan hidupnya dengan mengisi kegembiraan yang bermakna. Walau kegembiraan itu muncul dari hal-hal yang sederhana. Dalam segala kegembiraan dan kesadaran akan kehadiran Allah di tengah kita itulah ramadhan kali akan tersana jauh lebih bermakna. (Mustofa W Hasyim)