Majalah TIME pada 2013 mendefinisikan milenial sebagai generasi kelahiran kisaran tahun 1980-2000 (versi PEW Research Center, milenial lahir di atas tahun 1980 dan menurut Majalah Newsweek, adalah kelahiran 1977-1994). Karakter milenial sebagai “The Me Me Me Generation” yang disematkan Majalah TIME menjadi ciri umum; bersifat individualistik, bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap realitas politik. Mereka sangat familiar dengan media sosial.
Survei CSIS, menyatakan 81,7% milenial memiliki Facebook; 70,3% menggunakan Whatsapp; 54,7% memiliki Instagram. Media sosial menjadi wadah generasi milenial ‘berkumpul’ dan membentuk ruang sosial baru. Menurut Tsamara Amany, tren vlogger di Youtube, misalnya,merupakan sisi positif media sosial yang menggali kreativitas generasi milenial. Melalui media ini, mereka menyalurkan kebebasan berekspresi. Saat yang sama, mereka terbiasa menggunakan media sosial untuk mengakses informasi, termasuk belajar agama. Artikel pendek yang dibagikan di media sosial lebih banyak dirujuk. Kebiasaan membaca buku sedikit bergeser.
Para ustad yang aktif di media sosial dan menggunakan Youtube lebih banyak dijadikan idola. Khususnya di Facebook, video ceramah ustaz ‘zaman now’ semisal Abdul Somad, Adi Hidayat, Hanan Attaki, hingga Cak Nun, dianggap melegakan dahaga para milenial untuk mempelajari agama. Mesin pencarian berbasis Artificial Intelligence, sering membantu merekomendasikan video-video sejenis, sesuai kecenderungan pengguna medsos.
Ada banyak kemungkinan, mengapa anak muda kepincut. Hanan Attaki, misalnya, menampilkan gaya ceramah kekinian, enjoy dan mudah dicerna. Ustaz gaul ini memberikan kajian di Masjid Trans Studio Bandung setiap hari Rabu. Forumnya diikuti 3000an jamaah remaja laki-laki. Segmen ini benar-benar ditekuninya. Akun instagramnya diikuti 1,7 juta orang (per Desember 2017). Ustaz berusia 36 tahun ini bahkan digemari jamaah Malaysia, Brunei, hingga Singapura.
Sosok kelahiran Aceh, 31 Desember 1981 ini dianggap memahami kegalauan remaja. Kapasitasnya tidak diragukan. Pernah mengenyam bangku pesantren RIAB Aceh Besar, lalu melanjutkan kuliahnya di Jurusan Tafsir al-Qur’an Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Kairo, hingga memperoleh gelar licence pada 2004. Sekembalinya dari Mesir, Hanan Attaki menjadi direktur Rumah Qur’an Salman ITB, pengajar Jendela Hati dan STQ Habiburrahman.
Suami dari Haneen Akira ini juga berdakwah lewat Pemuda Hijrah, yang didirikan bersama 4 temannya pada Maret 2015 di Bandung. Komunitas yang aktif di media sosial ini menggunakan logo “Shift” seperti di PC/laptop. Tombol Shift berarti pindah atau berubah. Pemuda Hijrah adalah mereka yang mau berubah menuju lebih baik sejak muda. Kalimat Hanan yang sering dikutip, “Anak muda yang keren itu adalah anak muda yang tetap berpenampilan muda, punya selera muda, punya semangat anak muda, tetapi nggak jauh dari masjid.”
Bio instagram Hanan Attaki dan Pemuda Hijrah menggunakan kalimat yang sangat kekinian; “banyak maen, banyak manfaat, banyak pahala..sedikit dosa.” Akun ini rutin mengabari jadwal kajian Hanan Attaki hingga kuis berhadiah. Ada beragam tema ringan yang diangkat akun ini melalui gambar dan video kreatif berdurasi singkat, semisal tema don’t panic just enjoy the show, woles aja, kalem lur, jangan bersedih, buat Allah “percaya” sama kita, yakin ga ada yang liat? Dari sini terlihat citra yang dikontestasikan.
Kata pepatah, li kulli maqam maqal, wa li kulli maqal maqam. Setiap perkataan itu ada tempat atau konteks dan setiap tempat memiliki perkataan atau pendekatan. Di zaman now, dakwah yang efektif bergerak dinamis dengan tetap mempertahankan nilai-nilai ideal moral. (Ribas).
(Dari Majalah Suara Muhammadiyah 02/103, 16-13 Januari 2018)