Oleh: Hajriyanto Y. Thohari
BAHASA Arab adalah bahasa Al-Qur’an (لغة القران). Semua orang rasanya sudah tahu itu. Bahkan ada orang Arab yang secara agak berlebihan mengatakan bahwa Tuhan berbicara dalam bahasa arab. Bisa jadi orang ini penganut paham mujassimah alias antropomorfisme. Bahasa Arab juga sering disebut sebagai bahasa Islam meskipun banyak juga orang Arab yang beragama Kristen yang menjadi warga negara Lebanon, Syria, Mesir, Yordania, Palestina, dan lain-lainnya juga berbicara dan sangat bangga dengan bahasa Arab. Tapi baiklah hal itu kita tinggalkan saja: kita tidak sedang berbicara soal-soal yang berat tentang sosiologi bahasa dan antropologi linguistik, apalagi mendiskusikan soal teologi, melainkan soal yang ringan-ringan alias entheng-enthengan saja tentang bahasa Arab.
Barangkali (ini barangkali saja, lho ya..) ada yang belum tahu bahwa bahasa Arab itu juga dinamakan bahasa Dhot. Ya, betul, memang demikian: bahasa Arab itu sering disebut dengan nama bahasa Dhot (the language of Dhot, lughatu al-dhot, لغة الضات), walaupun ada banyak juga yang menyebutnya bahasa Dho’ (the languge of Dho’, lughotu l-dho’, (لغة الظاء . Memang soal nama lain bahasa Arab ini ada perdebatan seru: ada yang menamakan bahasa Dhot (لغة الضات ( ada pula yang menyebutnya bahasa Dho’ (لغة الظاء (. Perdebatan ini begitu serunya sampai melahirkan sebuah kitab yang berjudul Al-Farqu baina al-Dhat wa al-Dho’ ( الفرق بين الضاد والظاء ), yang bahasa Indonesianya: Apa Perbedaan huruf Dhot dan Dho’ yang ditulis oleh seorang pakar bahasa Arab yang masyhur, Abu Umar Utsman bin Said al-Daniy al-Umawy al-Qurtuby (371-444 H). Kitab ini membahas secara intensif dan ekstensif perbedaan kedua huruf tersebut secara fonemis, fonetik, dan morfologis. Tetapi baik lughatu Dhot maupun lughatu Dho’ keduanya tetap saja menunjukkan keunikan dan keistimewaan bahasa Arab.
Mungkin pembaca bertanya mengapa dan kenapa bahasa Arab sampai bisa dinamakan demikian? Jawabannya adalah karena bahasa Arab konon kabarnya adalah satu-satunya bahasa di dunia ini, baik yang sudah mati maupun masih hidup, yang memiliki huruf dan bunyi dhot atau dho’. Tidak ada bahasa lain satupun di dunia ini yang memiliki huruf Dhot atau huruf lain yang bunyinya seperti Dhot dan Dho’. Tak heran jika para penutur non-Arab (ghoiru al-natiqin), termasuk orang Indonesia, selalu mengalami kesulitan mengucapkan kedua huruf ini dengan baik dan fasih seperti halnya penutur asli. Jangankan membedakan secara jelas antara lafdz huruf Dhot dan Dho’, bahkan kadang-kadang campur baur antara Dhot, Dho’, Dal (د ) dan dzal د sehingga menjadi tidak karu-karuan apa perbedaan di antaranya.
Hanya orang Arab yang memang sebagai penutur asli (ناطقي , native speaker) bahasa Arab saja yang bisa melafadzkan huruf-huruf tersebut dengan jelas (fasih). Apalagi bahasa Arab memang bahasa yang mementingkan kefasihan bunyi (fonem, makhraj) yang dipelajari secara mendalam dalam ilmu fonemik dan fonetik. Tak heran jika kamus bahasa Arab lebih sering dinamakan Lisanu l-‘Arab (Arab Tongue) daripada dictionary karena lebih mementingkan lisan atau posisi lidah. Penutur non-Arab senantiasa merasakan kesulitan pengucapan antara huruf Dho’ dan Dhot itu. Itulah alasannya menagapa kemudian bahasa arab disebut bahasa Dhot.
Bahasa Arab memang unik, kalau bukannya yang paling unik, di dunia. Sungguh tidak berlebihan mengatakan demikian. Pasalnya, masih ada beberapa keunikan lagi dari bahasa Arab selain itu. Berbeda dari kebanyakan bahasa lain yang ditulis dari kiri ke kanan, bahasa Arab ditulis dari kanan ke kiri. Dulu ketika saya kuliah di Jurusan Sastra Arab, Universitas Gadjah Mada, saya juga sudah merasakan keunikan itu sampai banyak teman yang meanggil saya “Hai wong ngiwo…!”, yang artinya “Hai, orang ngiri (maksudnya ke kiri kalau menulis). Di seluruh Jurusan yang yang ada di UGM yang jumlahnya mungkin hampir seratusan jurusan itu (saya tidak pernah menghitungnya), memang hanya di jurusan sastra Arab yang menulis dari kanan ke kiri. Jurusan yang benar-benar lain dari pada yang lain: alias unik!
Bahasa Arab juga tidak memiliki huruf kapital (has no capital letters). Kalau Anda tidak percaya silahkan bertanya kepada semua orang yang mengerti bahasa Arab. Bahasa Arab tidak mengenal huruf kapital alias hurup besar! Sumpah! Untuk penekanan tentang pentingnya sebuah kata atau terminologi maka digunakan tanda kutip (inipun juga fenomena baru-baru ini saja), atau diberi warna tertentu yang berbeda dengan bagian terbesar teks. Jadi untuk penekanan atau pengkhususan tidak digunakan huruf kapital (instead, quotation marks are used for emphasis).
Keunikan bahasa juga dalam konteks sangat kaya raya-nya bahasa Arab dengan kosa kata. Bahasa Arab konon memiliki 12.302.912 (baca: dua belas juta tiga ratus dua ribu Sembilan ratus dua belas) kata. Bandingkan dengan Bahasa Inggris yang kekayaan kosa kata-nya hanya berjumlah 600.000 kata dan bahasa Perancis 150.000 kata.
Untuk memberikan gambaran betapa tebalnya bahasa Arab, bayangkan saja bahwa ada 60.000 kata vocabulary bahasa Arab dan 6.000 akar kata bahasa Arab. Sementara rata-rata pembicara native speaker Inggris tahu sekutar 35.000 kata saja. Dan sekitar 900 kosa kata dalam bahasa Inggris memiliki asal dari bahasa Arab. Bahasa Arab juga kaya sekali dengan kosa kata. Kata ibil (الابل artinya unta) memiliki sinonim lebih dari 1000 kata; kata ‘asl (عسل) yang artinya madu ada 80 kata; al-saif (السيف , artinya pisau) memiliki 1000 kata; al-asad (الاسد artinya singa) 500 kata; kata ثعبانyang artinya ular (snake) 200 kata, dan sederert lagi contoh lainnya. Tak heran jika ada yang mengklaim, benar atau salah, bahasa Arab adalah bahasa yang paling kaya di dunia.
Mungkin karena keunikan-keunikan tersebut di atas ditambah dengan fakta bahwa bahasa Arab itu memiliki alphabet dan struktur kalimat yang tidak sama dengan alphabet latin yang banyak digunakan di sebagian besar negara di dunia ini maka bagi kebanyakan orang yang belajar bahasa Arab membutuhkan waktu yang lebih lama (take some time) daripada belajar bahasa asing lainnya. Apalagi kalau kita terlalu lama berkutat dalam berlatih mengucapkan huruf Dhat dan Dho’ tadi karena ingin sefasih orang Arab! Hehehe….*
Hajriyanto Y. Thohari, Duta Besar RI di Beirut.