Nafiis Anshaari
Mulai dari beberapa bulan lalu dan sepertinya akan terus berlanjut sampai entah kapan. Kita menjadi sangatlah akrab dengan istilah distancing/ penjagaan jarak. Dari istilah social distancing yang akhirnya dirubah pengistilahannya menjadi physical distancing. Istilah istilah ini sering kita jumpai dimanapun. Mulai dari pusat perbelanjaan dan tempat tempat yang berpotensi terciptanya kerumunan didalamnya, termasuk masjid dan tempat beribadah yang lain.
Istilah distancing terus di gemborkan pemerintah, dokter, influencer dan seluruh netizen untuk membantu tenaga medis dan relawan yang terus terusan menekan angka pasien positif terinfeksi virus corona. Sekalipun istilah distancing di terapkan di seluruh tempat umum tapi tetap yang paling terpenting dan terbaik adalah tetap dirumah.
Dampak yang timbul dari di terapkannya distancing dan dirumahkanya kegiatan kegiatan di luar ruangan menyebabkan kegiatan ekonomi melemah dan dari situ masalah lain muncul, seperti meningkatnya angka kemiskinan karena banyaknya phk. Tapi di sisi lain dengan dirumahkannya orang orang menimbulkan banyak kesadaran ankan nilai nilai positif yang ada disekitar, seperti kesadaran pada diri sendiri, lingkungan dan waktu bertemu.
Selama masa masa dirumah mencoba memaknai hari hari ditengah pandemi dengan banyak berfikir positif adalah hal baik yang harus dipertahankan. Hal ini senantiasa di lakukan untuk menjaga kewarasan yang sedang dihantam habis habisan dengan kebosanan. Pemaknaan masa masa pandemi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ibadah yang sedang kita lakukan hari hari ini. Puasa.
Dalam Surah al-Baqarah:183, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Secara bahasa dan istilah puasa bisa diartikan sebagai menahan diri dari perbuatan perbuatan yang membatalkan puasa seperti makan, minum, bersenggama dan lain lain agar menjadi sebaik baiknya hamba. Yang bertaqwa.
Sekalipun makna distancing dan puasa berbeda, juga beberapa masalah teknis seperti puasa adalah perintah langsung Allah pada hambanya agar bertaqwa sedang distancing adalah himbauan ilmuwan dan pemerintah yang dilakukan secara reaktif untuk kepentingan kesehatan. Tapi secara keseluruhan kedua nya memiliki kesamaan dalam membatasi perbuatan kegiatan penting untuk kepentingan yang lebih penting.
Dengan berpuasa kita diajak untuk kembali ke fitrahnya. Hambanya yang bertaqwa dengan ber distancing/ membatasi pada perbuatan perbuatan yang melalaikan.
Menjadi pertanyaan ketika mengapa Allah menjadikan makan dan minum yang harusnya menjadi kebutuhan pokok tubuh manusia sebagai perbuatan yang dapat menjerumuskan pada kelalaian? Jawaban nya adalah kadang dengan makan dan minum yang berlebihsn dapat membuat kita lupa pada realitas sosial. Bahwa masih banyak orang orang di luar disana yang belum kenyang makannya tapi terpaksa berbagi dengan anak istrinya agar semua bisa sama sama makan.
Disamping itu, terlalu banyak makan dan minum juga dapat menghambat seseorang untuk mengerjakan ibadah. Terlalu banyak makan dan minum menciptakan sifat malas pada diri seseorang. Dan sifat malas inilah yang dijauhi para imam besar dan para cendikiawan muslim pada kejayaan. Bahkan kenyang sangat dihindari karena kenyang membuat seseorang merasa cukup. Sedang kan dalam beramal dan berilmu senantiasa lapar dan haus dengan ilmu dan amal.
Dengan dirumahkannya seluruh pekerjaan jangan diartikan hanya sebagai cobaan keimanan seseorang. Tapi juga barangkali Allah sedang mengajak hambanya untuk berpuasa dan ber distancing pada kemarukan duniawi, yang senantiasa mencari kekayaan di dunia.
Dan pada masa masa pandemi ini hambanya sedang diajak merenung pada perbuatan perbuatan yang telah di perbuaatnya. Allah seolah-olah sedang mengajak kita melihat keadaan zaman. Seberapa rusak nya perbuatan hambanya pada dunia yang ditinggalkannya ini dan sudah kah hamba Nya peduli dan berbuat baik pada hal hal baik yang ada disekitar. Masih adakah rasa peka di hati hambanya.
Kita yang selama ini disibukkan dengan kesibukan duniawi yang sebenarnya fana untuk sementara diajak berhenti sebentar dari mengejar dunia yang tidak ada habisnya tapi juga tidak ada artinya. Kalau biasanya saat mengejar harta kadang lupa dengan kewajiban kewajiban kita sebagai hamba. Maka masa masa seperti inilah kita sedang diingatkan untuk senantiasa, untuk sementara waktu berhenti memperkaya harta dan mulai memperkaya diri dengan banyak banyak mendekatkan diri pada Allah dan dapat merefleksikan sifat sifat ketuhanan pada diri hamba.
Menjadi umat terbaik berarti menjadi umat yang bertaqwa. Dan umat yang bertaqwa berarti yang dapat merefleksi kan diri pada sifa sifat ketuhanan dan menjadi teladan bagi umat muslim bukan lagi jadi sekedar kewajiban, yang bila tidak mengerjakan maka mendapat dosa. Tapi ini adalah keharusan yang bila tidak umat muslim kerjakan maka umat muslim mulai terkikis nilai Islam pada dirinya.
Maka, sudahkah kita berpuasa dan membatasi diri dari segala nafsu? Ataukah kita hanya sekedar berpuasa nafsu biologis saja?
Nafiis Anshaari, siswa Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta