Oleh: Hardiansyah
Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis di Indonesia yang eksistensinya telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Mereka telah membaur dengan masyarakat “pribumi” dengan melakukan pernikahan dan menyerap adat dan budaya masyarakat setempat. Bahkan seiring sejalannya waktu mereka melebur menjadi masyarakat”pribumi” itu sendiri, sehingga muncullah istilah Tionghoa peranakan. Sedangkan orang Tionghoa yang tetap memegang teguh adat istiadatnya termasuak bahasa dikenal dengan istilah Tionghoa totok. Dalam rekam sejarahnya terdapat friksi-friksi yang menimbulkan konflik sosial antara golongan”pribumi” dan Etnis Tionghoa ini. Peristiwa terakhir yang menyebabkan banyaknya etnis Tionghoa menjadi korban adalah peristiwa 1998 dimana toko-toko milik etnis Tionghoa dijarah dan dibakar. Banyak dari mereka yang mengungsi ke daerah lain yang lebih aman bahkan hingga ke luar negeri. Peristiwa 1998 juga menunjukkan bahwa politik asimilasi yang dilakukan oleh orde baru, hanya berhasil di permukaan saja.
Relasi Muhammadiyah dan etnis Tionghoa hingga saat ini masih sangat sedikit ditulis. Padahal dalam catatan sejarahnya, Muhammadiyah memiliki pandangan inklusif dari awal berdirinya yang terbuka untuk semua bangsa. Bahkan terdapat orang-orang etnis Tionghoa yang menjadi pendiri dan inisiator Muhammadiyah di beberapa daerah seperti Abdullah Chan di Maluku dan Oey Tjeng Hien di Kaur, Bengkulu. Bahkan hanya Muhammadiyah yang kadernya memiliki fokus dakwah terhadap etnis Tionghoa dengan berdirinya organisasi PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), hal ini tidak dimiliki oleh organisasi Islam lainnya. Bahkan Kiai Ibrahim selaku ketua HB Muhammadiyah kedua telah memiliki pandangan yang ramah dengan etnis Tionghoa disaat jarak antara kaum muslimin dan mereka membentang dan saling memandang penuh curiga. Tulisan ini menyorot seberapa jauh relasi antara Muhammadiyah dan Tionghoa
Tionghoa Dan Dinamikanya
Suryadinata (1984 : 45 -54) membagi pandangan masyarakat Tionghoa di Indonesia pada masa sebelum perang dunia ke II dalam tiga kelompok. Pertama adalah kelompok sin po yang memegang pandangan nasionalis Cina. Kelompok ini menginginkan adanya persatuan antara golongan Cina Totok dan Cina peranakan dengan mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Cina. Kedua, kelompok Chung Hwa Hui adalah kelompok peranakan yang lebih berkiblat pada Hindia – Belanda. Kelompok ini lebih mendekati pemerintah kolonial sehingga dapat disetarakan dengan orang Belanda. Kelompok ketiga adalah kelompok Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dimana [pandangan kelompok ini adalah Indonesia tanah air mereka serta menaruh simpati atas perjuangan bangsa Indonesia lepas dari belenggu pemerintah kolonial.
Di masa – masa selanjutnya ketiga kelompok ini akhirnya mengkristal menjadi dua kelompok yaitu, kelompok yang setuju dengan asimilasi dimana tokohnya antara lain Og Hok Ham, Lauw Tjuan To (Junus Jahja), K. Sindhunata hingga Oey Tjeng Hien. Kelompok ini menginginkan asimilasi menyeluruh dengan menanggalkan identitas Tionghoa mereka. Bahkan diantara mereka ada yang menggunakan media agama sebagai alat asimilasi yang paling berhasil. Sedangkan kelompokl satunya lagi lebih cenderung pada Integrasi, dimana budaya Tionghoa tetap dilesatarikan dan mereka tergabung dalam bangsa Indonesia. Tokoh dari kelompok ini antara lain Siauw Giok Tjan dan Yap Thiam Hien. Perdebatan ini memanas sepanjang orde lama. Ong Hok Ham banyak menulis dalam majalah Star Weekly pandangan-pandangannya tentang asimilasi, yang kemudian ditanggapi dengan sinis oleh kelompok integrasi.
Memasuki masa Orde Baru, kelompok asimilasi mendapatkan angin segar karena pemerintah menggalakkan asimilasi etnis Tionghoa. Hal – hal yang berbau Tionghoa dilarang baik pagelaran budaya, tulisan bahkan mereka diwajibkan memiliki nama pribumi. Masa Orde baru ini adalah masa dimana dakwah Islam memainkan peranan penting dalam proses asimilasi Etnis Tionghoa.
Letusan yang terjadi pada tahun 1998 dimana kerusuhan anti Cina meletus di sejumlah daerah ,menandakan gagalnya politik Orde Baru tentang asimilasi etnis Tionghoa. Masa reformasi adalah masa keterbukaan dimana etnis Tionghoa mendapatkan ruang bagi mereka mengekspresikan budaya dan identitas mereka. Dalam dakwah Islam pun, muncul para pendakwah yang menggunakan atribut-atribut Tionghoa seperti Koko Liem maupun Tan Mei Hwa ( Weng, 2019 : 149). Masjid –masjid berasitektur Tionghoa pun bermunculan di sejumlah daerah. Masjid Chengho Surabaya adalah salah satu contoh masjid yang dinilai terbuka dan menjadi miniatur toleransi keberagamaan di Indonesia.
Relasi Muhammadiyah dan Tionghoa
Dalam dokumentasi Muhammadiyah saat membahas siapa yang berhak menjadi sekutu Muhammadiyah, Muhammadiyah menegaskan bahwa organisasi ini siap bekerjasama dengan siapapun. Siapapun bisa menjadi donator Muhammadiyah tiada dipandang agamanya maupun suku bangsanya (Statuten dan Algeemenehuishoudelij Reglement dalam Mulkhan, 2010 : XXXI). Bahkan Mulkhan lebih jauh mengetengahkan sebuah dokumen yang diterbitkan oleh PP Muhammadiyah tahun 1977 yang menyatakan bahwa anggota Muhammadiyah terdiri dari beragam kalangan seperti kalangan priyayi, kalangan nasionalis, kalangan Cina, golongan miskin, buruh batik, pekerja sosial yang dengan bergabung bersama Muhammadiyah terangkat derajatnya.
Tokoh awal Muhammadiyah yang memiliki pemikiran terbuka untuk mengintensifkan hubungan dengan etnis Tionghoa adalah Kiai Haji Ibrahim, ketua Hoofdbeestuur Muhammadiyah pengganti Kiai Haji Ahmad Dahlan. Haji Abdul Karim Oey (1982 : 198) mencatat dalam autobiografinya bahwa Kiai Ibrahim memberinya mandat untuk berdakwah kepada golongan etnis Tioghoa. Kiai Ibrahim melihat potensi besar yang ada dalam etnis Tionghoa. Potensi itu terletak pada potensi ekonomi dan potensi sumber daya manusia yang jika dimanfaatkan untuk Islam akan menjadi sebuah kekuatan dahsyat. Namun Kiai Ibrahim pun sadar, untuk mendekati etnis Tionghoa harus dilakukan oleh orang tionghoa sendiri karena resistensi mereka terhadap orang yang berada di luar suku mereka.
Secara nasional, Muhammadiyah dalam catatan sejarahnya telah melakukan kerjasama yang baik dengan etnis Tionghoa. Kwartananda (2010) mencatat bahwa terjadi hubungan yang baik antara Muhammadiyah dan etnis Tionghoa di Yogyakarta pada masa kolonial dimana Muhammadiyah sering mendapatkan bantuan dana dari orang Tionghoa di Ngabean. Huru – hara yang terjadi di Kudus tahun 1918 membuat Muhammadiyah menjalin kerjasama dengan organisasi Tionghoa di Yogyakarta dan Insulinde, perkumpulan multi-ras dibawah pimpinan Dr Tjipto Mangunkusumo, untuk membentuk suatu front bersama demi memajukan hubungan baikdiantara ras. Selain itu, terbitan tahunan berupa Almanak Muhammadijah banyak diisi iklan yang dipasang oleh pengusaha Tionghoa dari berbagai tempat.
Pada tahun 1925 terjadi suatu persekutuan antara Muhammadiyah dengan Tionghoa Yogyakarta melawan penerbit Belanda, Buning (Alfian, 1989: 206-07). Dalam salah satu terbitannya, Buning memuat “Serat Darmogandul” yang isinya di satu pihak menghina Islam dengan menuduh Islam menghancurkan eksistensi Majapahit dan memunculkan kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Sedangkan di sisi lainnya menjelekkan Tionghoa, karena ibu dari Raden Patah, raja pertama Demak, adalah “Putri Cina”. Secara tidak langsung orang Tionghoa dituduh ikut berperan menghancurkan Majapahit. Seorang Tionghoa melapor soal terbitan ini ke tokoh Muhammadiyah, yang lalu membawanya ke Kongres Muhammadiyah, di Yogyakarta. Akhirnya disepakati kedua belah pihak mendirikan “Comite Penjegah Penghinaan”, dibawah pimpinan H.Soedja dan seorang Tionghoa. Penerbit Buning akhirnya meminta maaf dan menarik terbitan yang kontroversial tersebut. Di akhir dekade 1920-an, dalam rangka menyebarkan dakwah dikalangan Tionghoa, muncul ide dari Muhammadiyah untuk membuat sekolah dasar Tionghoa berdasarkan Islam (HCS met de Koran). Namun oleh karena berbagai kendala, proyek ini tidak pernah terwujud.
Orang Tionghoa sebagai penyumbang dana dan sebagai donator dalam kegiatan-kegiatan amal yang dilakukan oleh Muhammadiyah telah berlangsung lama. Weng memberikan alasan bahwa terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara Muhammadiyah dan etnis Tionghoa dari relasi tersebut. Muhammadiyah mendapatkan kucuran dana untuk memuluskan gerakan amalnya sedangkan di satu sisi etnis Tionghoa mendapatkan keamanan dari gangguan-gangguan yang tidak diinginkan (Weng, 2019 ). Hubungan timbal balik ini berlangsung hingga sekarang, seperti bantuan dari Bank Sinar Mas untuk pembangunan madrasah Mualimin Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa Sinar Mas milik Eka Tjipta Lesmana, pengusaha keturunan Tionghoa.
(www.suaramuhammadiyah.id/2019/05/29/sinar-mas-serahkan-bantuan-pembangunan-madrasah-mualimin/ Diakses 3 November 2019).
Selain hubungan antara lembaga dan lembaga, hubungan antara individu dan lembaga serta hubungan antara individu dengan individu pun masih terus berjalan dengan baik, walaupun dihantui dengan kecurigaan-kecurigaan akibat kepentingan politik dan persaingan ekonomi. Relasi tersebut seperti contoh adalah hubungan antara Buya Hamka dan beberapa orang dari etnis Tionghoa. Hamka sempat mengangkat anak yang baru masuk Islam dan diberi nama Jusuf Hamka. Selain itu pada kurun1970 an – 1980 an Hamka sangat dekat dengan PITI, organisasi Islam Tionghoa dimana gelombang masuk islam etnis tionghoa pada periode ini sedang pasang naik. Di era Reformasik, beberapa tokoh Muhammadiyah seperti ketua PWM Jawa Timur Dr K.H. Saad Ibrahim, MA dan Prof. Dr Syafiq Mughni tercatat sebagai Dewan Pelindung dan Pembina masjid Cheng Hoo Surabaya.
Tidak hanya menjalin relasi, beberapa dari tokoh Tionghoa bergabung dengan Muhammadiyah. Beberapa tokoh tersebut seperti Abdullah Tjan selaku inisiator gerakan Muhammadiyah di Maluku dan Abdul Karinm Oey di Bengkulu, bahkan ketika menjadi ketua cabang Muhammadiyah Kaur, beliau menarik seorang anak Tionghoa bernama Tjong A Tjin yang menjadi aktivis Hizbul Wathon lalu melanjutkan studinya ke Sumatera Thawalib padang. Jejak Oey dilanjutkan oleh anak kandungnya Ali Karim Oey yang sempat menjadi angota majelis ekonomi PP Muhammadiyah dan sampai saat ini aktif mengembangkan Yayasan Haji Abdul Karim Oey yang fokus pada pemberdayaan Tionghoa Muslim.
Hardiansyah, Penulis buku Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu dan penikmat sejarah