Dalam kabar tentang peperangan kita sering mendengar istilah jeda kemanusiaan, gencatan senjata, perdamaian dan lain sebagainya, yang pada intinya ada kesepakatan dari pihak yang bertempur itu untuk saling tidak menyerang dalam waktu yang disepakati.
Namun, kalau dicermati semua istilah itu sebenarnya mempunyai makna dan arti tersendiri. Jeda kemanusiaan biasanya dipakai untuk mewakili istilah kesepakatan adanya waktu untuk mengevakuasi atau memberi bantuan bagi warga sipil. Selama waktu yang disepakati itu kubu yang bertikai sepakat untuk tidak saling menyerang. Adapun gencatan senjata, adalah kesepakatan semua pihak untuk saling menahan serangan. Biasanya gencatan senjata itu dilakukan untuk menunggu hasil perundingan. Sedangkan perdamaian adalah kesepakatan untuk mengakhiri pertempuran secara total.
Kata kunci ketiganya adalah harus ada kepakatan kedua belah pihak. Kalau hanya salah satu kubu yang meletakan senjata sedang kubu yang lain masih meneruskan serangan yang ada malah pembantaian. Persis seperti dongeng kuna tentang penghancuran sebuah negara yang kuat. Konon di negara itu ada pantangan untuk tidak mengangkat senjata di bulan tertentu. Apapun keadaanya pemimpin agama yang juga pemimpin pemerintahan negara itu memerintahkan seluruh rakyat dan tentaranya tidak boleh mengangkat senjata, sekalipun ada musuh yang menyerang di bulan tanpa senjata itu. Selama beberapa abad aturan itu dipatuhi oleh semuanya, termasuk negara lain. Kalau mau menyerang, negara lain itu juga menunggu bulan tanpa senjata itu berlalu. Namun, pada suatu zaman, ada raja licik yang memanfaatkan aturan litu, dia menyerang kerajaan terbesar itu, di bulan damai. Akibatnya, kerajaan besar itu runtuh dalam sehari. Tentu saja cerita hanya ada di negeri dongeng.
Bagaimana di dunia nyata? Biasanya, meski kedua belah kubu sudah sepakat untuk mengistirahatkan mesin perangnya, kedua kubu masih dalam kesiapan tempur tingkat tinggi. Pelatuk pistol tetap tidak terpisah dengan jari.
Akhir-akhir ini, dengan dipimpin pemerintah masing-masing, seluruh ummat manusia seakan sedang terlibat perang besar melawan Covid-19. Negara yang lebih waspada terlihat lebih banyak berhasil menyelamatkan warganya dari cengkeraman virus ini. Sebaliknya, negara yang kurang waspada dan kesadaran rakyatnya untuk menjaga kesehatan rendah, terlihat babak belur, banyak warga yang terpapar bahkan meninggal.
Peperangan melawan musuh yang tak kasat mata ini memang sangat melelahkan juga menjengkelkan. Semua aktivitas warga dibatasi. Temasuk aktivitas untuk melakukan Ibadah. Khusus bagi Ummat Islam, karena saat ini bulan ramadhan, pembatasan kesempatan ibadah ini terasa sangat berat. Kita yang di bulan ramadhan terbiasa merayakan peribadatan dengan gembira secara bersama-sama dipaksa merayakan ibadah di rumah masing-masing. Tanpa ada ibadah jamaah yang menggembirakan dan menyenangkan serta berlipat pahala.
Walau kita tahu di masa darurat, semua ibadah yang pada waktu normal biasa kita lakukan secara berjamaah tidak berkurang pahalanya kalau kita lakukan di rumah masing-masing, namun tetap ada rasa yang kurang. Sekali lagi ini soal rasa yang sangat sulit untuk dijabarkan dan ditundukkan oleh dalil dan pengertian akal.
Oleh karena itu, ketika ada kabar ada wacana untuk hidup damai bersama covid-19 alias menerima covid-19 sebagai bagian dari kehidupan normal keseharian kita dengan segala resikonya, rasa yang selama ini tertekan itu, kembali menggelora.
Apalagi wacana itu diikuti pula dengan aneka macam pelonggaran kebijakan perang melawan Covid-19 yang satu di antaranya adalah kebolehan transportasi publik beroperasi kembali. Semangat untuk kembali merayakan ibadah jamaah di masjid kian tak terbendung, apalagi saat ini Ramadhan sudah hampir memasuki sepertiga terakhirnya.
Namun, di tengah kecamuk rasa itu, ada satu hal yang harus kita pegangi bersama secara sadar. Saat ini keadaan belum kembali normal. Kurva paparan corona belum terlihat menurun, kluster penularan juga semakin banyak, penularan lokal malah sudah terjadi di beberapa daerah. Keadaan belum aman, gencatan senjata apalagi perdamaian itu belum terjadi dan disepakati.
Oleh karena itu, walau gelora kerinduan untuk untuk kembali beribadah secara berjamaah itu semakin menggunung dan nyaris tak terbendung, Fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah tentang tuntunan ibadah di masa darurat yang lebih banyak mempertimbangkan faktor keselamatan manusia itu, (https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/04/06/tuntunan-pp-muhammadiyah-tentang-ibadah-dalam-kondisi-darurat-covid-19/), tetap masih berlaku. Belum ada ketentuan tentang pelonggaran pelaksanaannya.
Sekali lagi, semua tahu bahwa perang berkepanjangan melawan musuh yang tidak tampak ini sangat melelahkan dan menjengkelkan, Naun, saat ini belum ada pilihan lain bagi kita, kecuali tetap menjaga akal waras dengan tetap berpedoman pada Tuntunan PP Muhammadiyah ini. Nashrun minallah wafatahun qarib wabassiril mukminin. (mjr8)