Oleh: Deni al Asyari
Mundurnya Hanafi Rais putra mahkota pendiri Partai Amanat Nasional ( PAN), Amien Rais, dari pimpinan Fraksi dan Kepengurusan PAN, merupakan puncak atas konflik partai reformasi ini pasca kongres.
Sebagaimana yang diketahui, sejak kongres PAN ke 5 yang berlangsung di Kendari, atmosfir di tubuh Partai berlambang matahari ini mulai tak sedap. Konflik antara Kubu Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan vs Kubu Pendiri Partai Amien Rais menjadi bulan-bulanan media massa.
Bahkan akibat ketegangan di internal partai ini, tidak sedikit publik menilai Partai yang memiliki semangat reformis ini, kehilangan elan vital dan jati dirinya.
Bagaimana tidak?, partai yang yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, demokrasi dan bahkan terlahir dari rahim salah satu ormas Islam, namun dalam praktek berkongres, seperti melukai jatidirinya sendiri.
Hal ini setidaknya tercermin dari hiruk pikuk kongres yang berujung pada kekerasan, dengan saling lempar kursi dan bakuhantam antar peserta kongres.
Terlepas siapa dan kepada siapa prilaku kekerasan tersebut terjadi. Namun yang diketahui publik melalui saluran berbagai media, adalah adanya saling bakuhantan dan lempar kursi antar peserta yang menyebabkan beberapa peserta kongres mengalami luka-luka.
Walaupun banyak pihak yang sangat menyayangkan peristiwa ini terjadi, namun kenyataan yang ada seperti demikian. Bahkan, usai kongres, keadaan sepertinya masih belum reda, dengan kemenangan kubu petahanan, beberapa tokoh penting yang menjadi lawan politik di kongres tidak lagi masuk dalam kepengurusan. Sebut saja misalnya Amien Rais, yang sebelumnya menjabat sebagai ketua dewan kehormatan partai, kini diganti oleh Soetrisno Bachir yang merupakan mantan ketua umum PAN periode 2005 – 2010.
Kemudian, Mulfachri Harahap yang merupakan kandidat ketua umum yang kalah, juga diganti posisinya dari pimpinan komisi III dan dari kepengurusan PAN periode 2020 – 2025.
Dan puncak konflik ini terlihat saat pengunduran diri Hanafi Rais yang juga merupakan kandidat Sekjen paket Mulfachri Harahap pada kongres di Kendari, dari posisi sebagai ketua Fraksi dan Kepengurusan PAN yang baru.
PAN Reformasi
Sejak mundurnya Putra Mahkota pendiri partai ini, wacana pendirian partai baru sebagai antitesa atas PAN yang ada sekarang semakin menguat. Beberapa pengurus partai dan pendiri partai mulai mewacanakan hadirnya partai baru yang sesuai dengan harapan Reformasi.
Sebagaimana yang diungkapkan beberapa tokoh PAN, seperti Agung Mozin, tokoh senior Partai, yang menyebutkan kehadiran Partai baru, dalam proses pematangan. Begitu pula dengan komentar Putra Jaya, Pendiri Partai, ia menyebutkan persiapan partai baru sudah 70%. Bahkan jauh sebelumnya, usai pelaksanaan kongres, Amien Rais pun, sempat melontarkan, akan mempertimbangkan hadirnya partai baru, sebagaimana aspirasi para kader PAN.
Diantara beberapa nama partai yang mengemuka, salahsatunya adalah nama Partai Amanat Nasional Reformasi (PAN Reformasi). Wacana kemunculan partai baru ini, disambut berbagai pendapat oleh para pengamat politik maupun para kader PAN dengan ragam pendapat. Ada yang menyebutkan sebagai halusinasi, dan sebagian ada yang menyebutkan sebagai peluang baru.
Lantas bagaimanakah prospek dan peluang politik, jika partai baru ini benar-benar berdiri? Setidaknya ada beberapa aspek sebagai analisa dari judul tulisan ini, untuk kehadiran partai baru atau PAN Reformasi, diantaranya:
Pertama, Aspek Ideologis. Sebagaimana yang diketahui, bahwa bagaimana pun barunya partai yang akan didirikan oleh Kelompok Amien Rais, namun secara ideologis, sesungguhnya masih sama atau setidaknya memiliki korelasi yang tidak jauh dengan PAN saat sekarang, yaitu ideologi Nasionalis Relegius atau Islam – nasionalis.
Maka berangkat dari konsep ideologi partai tersebut, dengan bercermin pada peta politik pemilu 2019 yang lalu. Bahwa partai berbasis ideologi Nasionalis-Relegius ini tidaklah besar. Bahkan partai ini dikelompokkan sebagai partai kelas menengah.
Pada pemilu 2019 yang lalu, bahkan perolehan suara PAN menurun dari pemilu sebelumnya, yaitu sekitar 6,84 % Suara, sementara pemilu 2014 yang lalu, PAN masih memperoleh 7,59% Suara. Artinya, jika Partai antitesa PAN ini hadir, tentu lokus kader maupun pemilih, tidak jauh-jauh dari perolehan partai tengahan ini. Apalagi, jika Partai baru ini, mengambil suara PAN yang sekarang, tentu bisa jadi kedua partai nantinya, akan mengalami nasib yang sama pada pemilu mendatang, yaitu sama-sama tidak masuk parliamentary threshold.
Kedua, Aspek basis massa. Partai Amanat Nasional (PAN) walaupun bukanlah partai bagi salahsatu ormas Islam di tanah air ini, namun belum bisa dipungkiri, jika pemilih partai berlambang matahari ini terbanyak dari anggota atau warga ormas tertentu, salahsatunya adalah Muhammadiyah.
Karena bagaimanapun, selain lahir dari rahim ormas tersebut, juga banyak pengurus di berbagai daerah, yang merupakan kader atau warga dari ormas Islam tersebut. Maka, mau tidak mau, basis konstituen mereka tidak akan jauh dari basis massa para pengurus maupun calegnya.
Artinya antara PAN sekarang dengan partai baru atau PAN Reformasi yang akan didirikan nantinya, adalah sama-sama bergantung pada basis massa primernya, yaitu ormas Islam atau Muhammadiyah.
Dalam aspek ini, jika partai baru Amien Rais benar-benar berdiri, maka besar kemungkinan akan terjadi eksodus besar-besaran basis massa ormas Islam tersebut ke partai baru yang akan didirikan.
Sebab, bagaimana pun Amien Rais, selain sosok yang kuat karena ketokohan dan prestasinya, beliau juga adalah mantan ketua umum Muhammadiyah, yang sangat dicintai oleh sebagian besar warganya. Di tingkat tertentu mungkin saja ada beberapa yang kurang puas dengan Amien Rais, namun di level grassroot, banyak yang masih mengidolakan dan mengakui ketokohan beliau.
Dan bisa jadi, bertahannya sebagian besar pemilih di partai PAN selama ini, bukan karena faktor Partainya, namun karena adanya faktor Amien Rais di dalamnya. Maka dengan hadirnya partai baru nantinya, dalam aspek basis massa, bisa dipastikan sebagian besar basis massa PAN akan melakukan hijrah massal ke partai PAN Reformasi yang akan didirikan.
Pandangan ini, mungkin saja bisa dibantah, karena peristiwa yang sama juga pernah terjadi dalam tubuh PAN, dengan lahirnya partai baru yang dikelola anak-anak muda Muhammadiyah, yaitu Partai Matahari Bangsa (PMB). Dalam kasus ini, ternyata PMB pada pemilu 2009 tidak berhasil melampaui suara PAN bahkan tidak lolos parliamentary threshold. Sehingga tidak ada satupun kadernya melenggang ke senanyan.
Kenapa ini bisa terjadi ?, bukankah PMB juga memiliki basis massa yang hampir sama dengan PAN? Jawabannya benar, secara basis massa sama, namun secara ketokohan dan logistic partai jauh berbeda dengan yang dimiliki oleh PAN. Apalagi tidak ada tokoh yang kuat, yang memimpin PMB saat itu. Maka, wajar jika PMB tidak lolos dalam kontestasi pemilu 2009
Ketiga, Aspek Logistik. Politik di Indonesia secara de facto sebenarnya belum bisa terhindar dari politik uang atau disebut politik transaksional. Maka salah satu syarat kemenangan bagi sebuah partai adalah amunisi logistic yang memadai. Kita bisa membandingkan beberapa partai yang tidak lolos ke Senayan, rata-rata partai baru yang secara logistic masih lemah atau minimalis. Sementara jika sumber logistic ini kuat, walaupun partai baru, peluang bersaing dan memang sangat dimungkinkan.
Hal ini bisa kita lihat pada kemenangan partai Demokrat pada pemilu 2009. Begitu pula dengan Partai Nasdem pada pemilu 2020 ini. Kedua partai ini, walaupun partai baru, namun secara logistik sangat dijamin dan kuat. Oleh karenanya, tidak heran partai ini terbilang sukses di awal-awal keberadaannya sebagai partai baru, karena dukungan amunisi yang kuat.
Oleh karenanya, kesuksesan dan keberhasilan PAN reformasi ke depan, tidak bisa dilepaskan dari kekuatan dan dukungan logistic yang memadai. Jika sumber logisticnya kuat, maka unsur dua hal di atas sebenarnya agak bisa teratasi. Namun, jika sumber logisticnya lemah, maka PAN Reformasi, tidak akan jauh dengan PMB
Keempat, aspek momentum. Politik sering dikaitkan dengan sebuah momentum. Dalam catatan sejarah di tanah air, momentum sering menjadi analisa yang tak terbaca dalam kemenangan sebuah kepentingan politik. Misalnya saja saat presiden SBY terpilih. Pada saat itu, siapa yang mengenal beliau, bahkan bisa dikatakan tidak terlalu banyak, bahkan tidak ada yang menonjol dari beground SBY sebelumnya, yang menjadi pembicaraan publik. Namun melalui sebuah momentum kecil dan sederhana, yaitu konflik SBY dengan Presiden Megawati dan Celetukan Tajam alm Taufiq Kiemas kepada SBY, menjadi momentum popularitas SBY pada saat itu, sehingga dengan yakin, yang tadinya akan digandeng Amien Rais menjadi calon wakil presiden melalui PAN yang lebih dahulu berdiri, namun SBY memanfaatkan momentum yang ada dengan mendirikan partai politik sendiri, yang pada akhirnya membawa SBY pada kemenangan sebagai presiden RI ke-6.
Begitu pula dengan momentum politik Presiden Jokowi, walaupun secara ketokohan beliau belum sepopuler tokoh-tokoh nasional yang lainnya, karena level beliau pada saat itu masih di tingkat walikota, namun melalui momentum kemandiran karya anak bangsa, yang disimbolkan dengan mobil esemka, membawa pada perubahan posisi politik Jokowi, dari walikota hingga menjadi gubernur dan presiden RI ke-7.
Oleh karena itu, membaca rencana pendirian partai PAN baru atau yang disebut-sebut PAN Reformasi, bisa jadi hanya akan menjadi halusinasi sebagaimana pengalaman sejarah Partai PMB, namun bisa jadi, partai ini, akan menjadi partai alternatif bagi umat mayoritas di tanah air. Hal ini, tentu sangat tergantung dari 3 aspek di atas, dan 1 aspek utama sebagaimana dijelaskan pada poin 4. Yaitu kemampuan Partai baru ini mengelola dan memanfaatkan momentum yang ada dan terjadi.
Karena momentum dalam dunia politik adalah amunisi terkuat yang bisa dikelola untuk kepentingan politik tertentu. Wallahu’alam bishawab
Deni al Asyari, Direktur Utama Suara Muhammadiyah