Perkaderan Muhammadiyah di Masa Pandemi

Munawwar Khalil

Hadirnya pandemi Covid-19 segera saja mengubah perilaku dan aktifitas masyarakat dunia. Muncullah Work From Home (WFH), Ibadah di Rumah Aja, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), belanja daring dan seterusnya. Pun halnya dengan aktifitas ber-Muhammadiyah juga mengalami beberapa penyesuaian bahkan perubahan. Para guru dan dosen Muhammadiyah segera saja menerapkan e-learning, para muballigh Muhammadiyah menyampaikan kultum dan pengajian via online, aktifis Ortom melaksanakan rapat dan diskusi via aplikasi Zoom…. Intinya semua aktifitas ber-Muhammadiyah dilakukan dengan mematuhi protokol kesehatan dan menghindari pantangan selama pandemi Covid-19 : tanpa kerumunan massa, jaga jarak, di rumah aja, rajin cuci tangan, hindari sentuhan fisik, dan pakai masker jika keluar rumah. Nah, yang menimbulkan pertanyaan adalah bagaimana perkaderan Muhammadiyah di masa pandemi ini ? Apakah perkaderan itu harus dalam bentuk kerumunan massa, sentuhan fisik, berkumpul di satu tempat/majelis ? Bisakah Baitul Arqam dilakukan secara online ?

Perkaderan Muhammadiyah

Untuk menjawab 3 pertanyaan di atas, ada baiknya kita melihat kembali makna perkaderan dalam Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM). Dalam SPM (2015) disebutkan bahwa perkaderan itu pada hakikatnya merupakan pembinaan personel anggota dan pimpinan secara terprogram dengan tujuan tertentu bagi Persyarikatan. Makna “terprogram” di sini dapat dikembalikan pada makna Sistem Perkaderan Muhammadiyah itu sendiri, yakni seperangkat unsur dan keseluruhan komponen yang saling berkaitan secara teratur sehingga membentuk suatu totalitas yang berhubungan dengan kader dan kaderisasi di Muhammadiyah. Sebagai sebuah sistem, maka unsur-unsur yang terkandung dalam SPM tersebut meliputi, diantaranya (tidak disebutkan semuanya) : kurikulum perkaderan; profil dan kompetensi kader; pengembangan materi perkaderan;  jenis dan bentuk perkaderan; dan pengorganisasian perkaderan. Unsur-unsur SPM ini dapat digunakan untuk menjawab 3 pertanyaan terkait perkaderan di masa pandemi yaitu sejaumana unsur-unsur tersebut mengakomodasi situasi pandemi dalam pelaksanaaan perkaderan Muhammadiyah.

Perkaderan Utama dan Fungsional : Kebakuan dan Fleksibilitas

Perkaderan Muhammadiyah dilaksanakan dengan menggunakan berbagai jenis kegiatan kaderisasi yang terarah, terencana dan berkesinambungan. Jenis-jenis kegiatan kaderisasi yang dapat dilaksanakan secara umum terdiri dari dua kategori, yaitu:  Perkaderan Utama dan Perkaderan Fungsional. Yang dimaksud Perkaderan Utama adalah kegiatan kaderisasi pokok yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan atau pelatihan untuk menyatukan visi dan pemahaman nilai ideologis serta sistem dan aksi gerakan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Persyarikatan atau Majelis Pendidikan Kader (Pusat sampai Cabang) dan Amal Usaha Muhammadiyah. Perkaderan ini dilaksanakan dengan standar kurikulum yang baku dan waktu penyelenggaraannya dalam satuan waktu tertentu yang telah ditetapkan. Kaderisasi yang termasuk kategori perkaderan utama adalah Darul Arqam dan Baitul Arqam. Adapun Perkaderan Fungsional adalah kegiatan kaderisasi yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan, pelatihan, kursus atau kajian intensif yang terstruktur namun tidak ditetapkan standar kurikulumnya secara baku. Bentuk kegiatan kaderisasi yang masuk kategori perkaderan fungsional di antaranya : Sekolah Kader, Pelatihan Instruktur, Dialog Ideopolitor, Pelatihan yang diselenggarakan oleh Majelis dan Lembaga, Pengajian Pimpinan, Pengajian Khusus, Up-Grading, Diklat Khusus, dan lain-lain.

Berdasarkan deskripsi di atas, terjawablah 2 pertanyaan awal menyangkut perkaderan di masa pandemi dengan fleksibilitas perkaderan dalam ruang, fisik, dan waktu. Melalui formulasi Perkaderan Fungsional memungkinkan perkaderan Muhammadiyah dilakukan dalam situasi apapun (pandemi, darurat, virtual). Perkaderan dapat dilakukan offline/face to face atau online, ruang nyata atau maya, dalam satu satuan waktu atau pun serial, materinya situasional berdasarkan need assesment bisa diubah atau dikembangkan. Maka pimpinan Persyarikatan dapat saja menyelenggarakan Dialog Ideopolitor, Pengajian Ramadhan, Kajian Tarjih, dan lainnya melalui platform aplikasi online. Karena prinsip dari Perkaderan Fungsional adalah fleksibilitas kurikulum yang ditentukan oleh kreatifitas dan inovasi penyelenggara untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan tertentu dari organisasi guna mendukung pengembangan sumber daya kader serta sebagai pendukung dari Perkaderan Utama. Bagaimana halnya dengan Perkaderan Utama ? Bisakah Baitul Arqam dan Darul Arqam diselenggarakan secara online yang membuat tak ada aktifitas fisik atau sentuhan fisik antar peserta, tanpa kerumunan massa serta aktifitas berbasis individu di tempat yang berbeda ? Inilah yang menjadi problem karena prinsip dari perkaderan utama adalah standar kurikulumnya baku (fixed) dan waktu penyelenggaraannya dalam satuan waktu tertentu yang telah ditetapkan, misalnya Baitul Arqam tingkat Cabang dan Ranting yang dilaksanakan selama dua hari satu malam. Makna dua hari satu malam disini adalah seluruh aktifitas perkaderan atau pun peserta harus berada dan menetap di satu lokasi tertentu secara bersama dengan durasi waktu minimal 24 jam. Maka bukan Baitul Arqam (BA) jika ada perkaderan dilaksanakan kurang dari 24 jam. Sistem ini sebenarnya berangkat dari makna bait dalam Baitul Arqam, yaitu rumah. Filosofinya rumah adalah tempat kita menetap melakukan segala sesuatu dalam kehidupan. Maka Baitul Arqam tidak hanya dimaknai sebagai forum ceramah, diskusi, workshop materi ideologi dan kepemimpinan ke peserta semata tetapi segala aktifitas yang melingkupi dalam satuan waktu 24 jam di lokasi yang sama itu adalah juga bagian dari Baitul Arqam, seperti : penempatan peserta di kamar beserta dengan peserta lainnya, makan bersama di ruang makan, shalat jamaah di masjid, tadarus kelompok, outbound di lapangan merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari proses perkaderan dalam Baitul Arqam. Melalui BA”offline” ini peserta dapat berinteraksi secara sosial, emosional, intelektual, fisik/psikomotrik, bahkan spritual dalam sauna perkaderan. Hal yang inilah yang mungkin tidak ditemukan jika BA dilakukan secara online.

Perkaderan Muhammadiyah 4.0

Pada Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah tahun 2018 yang lalu, penulis sempat mempresentasikan makalah dengan judul ” Perkaderan Muhammadiyah 4.0 : Menjejakkan Perkaderan Kepada Generasi Milenial”. Isu dalam pesan makalah tersebut nampaknya relevan dengan persoalan perkaderan di masa pandemi ini. Perkaderan Muhammadiyah 4.0 dapat dimaknai sebagai pendekatan perkaderan yang mengkombinasikan interaksi online dan interaksi offline. Di era digital ini, interaksi online saja tidaklah cukup. Kenyataannya, justru di saat dunia online berkembang, sentuhan offline menjadi titik differensiasi yang kuat. Selain melakukan intervensi digital dalam ranah perkaderan dengan integrasi antara mesin, komputer, dan infrastruktur telekomunikasi yang menghadirkan aplikasi ataupun sofware yang mampu menjembatani layanan komunikasi virtual dan data secara cepat, efektif, dan efesien. Tetapi interaksi offline tetaplah menjadi ruang utama dalam perkaderan. Humanistic touch, inilah kata kunci dalam interaksi offline perkaderan 4.0.,  karena perkaderan  sejatinya bukanlah sekedar proses transfer of knowledge tetapi juga transfer of value, perkaderan bukanlah sekadar ruang pengayaan kognisi tetapi yang lebih penting daripada itu adalah peneguhan sikap keberagamaan dan pengamalannya secara konkret.

Perkaderan Muhammadiyah 4.0 dapat saja merespon kebutuhan Baitul Arqam di masa pandemi atau era digital dengan melakukan redesign kurikulum SPM. Namun catatannya interaksi offline tetap memiliki ruang yang besar dalam pelaksanaannya. Kalau diprosentasekan : interaksi offline 75 %, interaksi online 25%. Menurut Anda ?

Munawwar Khalil, Wakil Ketua MPK PP Muhammadiyah & Dosen FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Exit mobile version