Hampir semua sekarang sudah mengenal nama DNA. Khususnya jika terkait dengan pelacakan identitas atau keturunan. DNA dicanangkan awal mula oleh ilmuwan Swiss, Friedrich Miescher di Tubingen, Jerman. Selanjutnya Francis Crick bersama James Watson menggambarkan strukturnya usai mengkaji difraksi sinar X pada DNA oleh Maurice Wilkins dan Rosalind Franklin.
Pada satu video lepas yang tersaji di laman sosial media, terdapat ulasan mengenai asal-usul masing-masing manusia. Bahwa ia tidak dapat mengklaim dirinya asli dari ‘a’ atau ‘b’. Karena dari ludah yang dikumpulkan dalam setiap tabung memiliki silsilah trah seorang manusia. Hasilnya adalah persentase percampuran Ayah-Ibu. Percampuran antara ras si Ayah dan ras si Ibu. Adanya bangsa, ras, dan suku adalah karena tabiat manusia yang sosialis. Satu individu butuh individu yang lain. Satu masyarakat membutuhkan masyarakat yang lain. Tidak salah jika Ibnu Khaldun menyatakannya sebagai sifat alamiah manusia untuk bersama dengan lainnya.
Al-Hujurat: 13 telah lama benar menampilkan keragaman DNA. Berpasangan antara lelaki (dzakar) dan perempuan (untsa). Pertemuan yang seterusnya melahirkan bangsa dan kabilah suku. Tujuan humanitasnya satu, yaitu untuk saling mengenal (lita’ârafû). Kata kuncinya adalah ketersalingan, bukan bertepuk sebelah tangan. Al-Quran menyatakan demikian sebagai pengingat bahwa manusia itu berwujud bersama. Melalui itu, maka sisi kemanusiaan akan tumbuh, akan kokoh. Namun Al-Quran menggaris bawahi, di antara itu semua yang paling mulia adalah ia yang paling bertakwa. Sabda Muhammad Saw pun demikian. Bukan bentuk fisik yang diukur, melainkan hati. Al-taqwâ hâ hunâ ujar Sang Nabi (takwa itu di sini [sembari menunjuk dada, isyarat kepada hati]).
Memang lumrah dan demikian adanya bahwa manusia itu beragam. Tentu saja dengan fakta bermacam banyaknya agama. Hanya seharusnya ‘lita’ârafû’ itu dibina dan dijaga. Seorang muslim haruslah nyata mempelopori ini. Lebih-lebih jika itu adalah jalan dakwah. Sisanya adalah memperteguh takwa seorang muslim dalam hati. Bina taaruf dan bina takwa. Berkacalah pada Umar bin Khattab yang mengancam sang gubernur dengan sebongkah tulang digaris lurus. Ancaman karena menggusur rumah sang Yahudi demi mendirikan masjid. Lihatlah ketika Shalahuddin Al-Ayyubi menengok seterunya tatkala sakit, Richard The Lion. Tengoklah ia ketika membebaskan tanah Palestina tanpa bantai darah sebagaimana salibis lakukan di sana dulu. “Saya Shalahuddin, Shalahuddin, saya bukan mereka”, ujarnya. Paling atas dari mereka itu, refleksikan diri kita ketika Nabi Saw bersabar menyuapi perempuan Yahudi miskin lagi buta, yang tiada henti menghina beliau.
DNA manusia mengantarkan kita pada satu perkenalan. Bahwa semua berperasa sebagai layaknya manusia. Seorang muslim lebih lagi, ia memiliki keistimewaan dari sisi humanisme dan religinya. Wajar dan patutnya demikian. Tidak ada yang lebih rendah, lebih tinggi, kecuali jika seorang muslim yang superior dalam ketakwaannya kepada Allah. Kredo inilah yang perlu untuk dijaga senantiasa di sepanjang umur. (Muhammadi)
(Tulisan pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah 04/103, Februari 2018)