Teologi Produksi

Mukhaer Pakkana

Wabah Pandemi Covid-19, menyeret semua Negara di dunia untuk lebih menitikberatkan pada kepentingan domestiknya. Sisi produksi, distribusi, dan permintaan global, semua terkapar. Karena itu, semua Negara ingin membangun nasionalisme ekonominya untuk membangun kemandiriannya..

Spirit nasionalisme ekonomi, sangat absurd kalau penanganannya hanya berkutat pada aspek hilir dan muara aktivitas ekonomi, yakni konsumsi. Padahal, aktivitas ekonomi berkelindan logika produksi, distribusi, dan konsumsi. Sungguh banyak produksi rakyat selama ini yang berserak dipelbagai pelosok desa dan kantong-kantong home industry rakyat, kurang terjamah untuk dikapitalisasi.

Lemahnya jaringan ekonomi rakyat, sulitnya kita berjamaah membangun produksi rakyat, lemahnya apresiasi kita terhadap produksi rakyat, terhipnotisnya kita terhadap produksi branded pemilik modal kakap, kecurigaan dan social distrust terhadap produk rakyat, kurangnya sentuhan pemberdayaan/advokasi terhadap produksi rakyat, bergersernya mental produksi menjadi mental konsumtif, serta absennya kebijakan pemihakan produksi ekonomi rakyat yang berserak, membuat logika produksi rakyat lumpuh dan akhirnya mati suri. Kita pun – konsumen – yang sok kekotaan, sok intelek, sok gengsi, selalu menuduh rakyat tidak becus mengelola produksinya.

Coba bayangkan, dulunya masyarakat kita masih memproduksi kecap sendiri. Namun, saat ini produksi kecap rakyat lumpuh dan beralih secara instant membeli kecap ABC (milik Unilever, Inggris) di swalayan pemodal kakap. Dulu, rakyat terbiasa dengan produk minyak kelapa home industry, namun kini beralih mengonsumsi minyak goreng yang diproduksi pabrikasi pemodal kakap yang justru telah membunuh dan merampas jutaan hektar tanah rakyat untuk ditanami kelapa sawit untuk industri crude palm oil (CPO). Mereka di back-up oleh penguasa politik. Pun segelintir pengusaha pribumi “pemodal tanggung” juga ikut-ikutan merampas tanah rakyat berleha-leha menamam sawit dengan modal latah.

Dulu, anak-anak kita pandai membuat mainan anak-anak tanpa membeli ke toko-toko. Mampu memproduksi mobil-mobilan, pistol-pistolan, perahu-perahua, kapal-kapalan, rumah-rumahan, dan mainan anak-anak yang lain. Namun, kini anak-anak kita dijejali membeli produk instant impor dari Cina di swalayan-swalayan kakap atau retail moderen pemilik modal kakap. Dulu, air menjadi faktor produksi tidak terbatas, namun saat ini air sudah dijadikan komoditas dan diproduksi oleh raksasa Danone asal Perancis. Saya khawatir, nantinya jengkol dan pete yg merupakan makanan rakyat dikapitalisasi dan dipabrikasi oleh pemodal kakap.

Kalau begitu, rakyat mau ngapaian lagi di bumi Pertiwi ini? Produksi dan jaringan distribusi (hilir) sudah dikuasai pemilik modal kakap. Siapa yang salah? “Jangan menyumpahi kegelapan, tapi selalulah menyalakan lilin”. Kita harus mulai.. Semuanya masalah ini tidak akan beres dengan urusan demo dan mobilisasi massa.

Tidak bisa dituntaskan dengan modal marah dan ngamuk, karena ekpresi marah sesungguhnya bersangkut paut dengan pisikologi orang kalah dalam perang. Kita harus mulai dari keluarga. Anak-anak dan anggota keluarga harus diubah mental konsumtifnya menjadi mental produksi dan produktif. Di masa wabah pendemik Covid-19 ini, di mana hampir seluruh waktu kita relatif berada di rumah, menjadi momentum untuk membangun kembali spirit produksi dari rumah. Dan spirit itu, harus menjadi habitus baru di zaman the new normal atau the new mindset. Jika pola kita kembali lagi pada zaman sebelumnya, maka sejatinya kita dikategorikan sebagai orang merugi.

Demikian juga, di era the new normal, gerakan produksi harus mulai dari Masjid. Bagi umat Islam, Masjid jangan lagi banyak bicara soal akhirat, sementara soal dunia sudah dirampas oleh pemilik modal kakap. Jadikanlah Masjid sebagai pusat kegiatan untuk membangkitkan produksi umat, produksi rakyat. Latihlah jamaah memiliki keterampilan, memiliki penguasaan komptensi dunia. Ibarat kita akan hidup seribu tahun lagi. Jangan latih jamaah dengan “teologi maut” atau “teologi marah-marah”, tapi ajari dan didiklah jamaah dengan “teologi hidup, teologi produksi”. Teologi pasal 33 UUD 1945. Wallahu a’lam

Karawaci, 13 Mei 2020

Mukhaer Pakkanna, Rektor ITB-AD

Exit mobile version