Covid-19 Meredam Keserakahan, Menumbuhkan Kesederhanaan

Oleh Erni Juliana Al Hasanah Nasution

Segala hal ihwal terkait Covid-19 menjadi topik perbincangan baik di dunia nyata maupun maya. Berapa jumlah yang positif, yang sembuh, yang meninggal,  bagaimana dampak nya bagi kehidup kita serta sampai kapan virus ini akan berakhir adalah topik-topik yang terus menyertai berita Covid-19. 

Bukan hanya sisi negatifnya, ternyata sisi positifnya juga menarik untuk dicermati. Seperti kata pepatah, “ambillah hikmah dari mana pun datangnya”, ternyata banyak pelajaran kehidupan yang bisa dipetik dari Covid-19, di antaranya yang bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari adalah munculnya situasi yang memaksa kita untuk menjalani pola hidup sederhana.

Sebelum datang Covid-19, pada umumnya manusia terjebak dalam labirin kesibukan tanpa ujung. Semua berada dalam rantai kehidupan yang terus bergerak tanpa henti. Ada yang terus menerus mengejar hasrat tanpa bisa membedakan apakah yang dikejar itu merupakan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan ataukah sekadar kenikmatan sesaat.

Disadari atau tidak, Covid-19 telah membuat kita menjadi lebih simpel dalam menjalani kehidupan.  Karena sejatinya, kita hanya butuh sedikit makanan untuk membuat perut kenyang agar bisa bertahan hidup. Rata-rata lambung manusia hanya bisa menampung 1 kilogram makanan dan 1,5 liter cairan. Bila berlebihan, lambung bisa menjadi sarang penyakit.

Kita juga hanya butuh pakaian yang bisa membuat kita nyaman dalam suasana santai di rumah saja (stay at home).  Kendaraan (bahkan yang mewah dan mahal sekalipun) hanya terparkir di garasi. Pakaian (baju, sepatu, tas dan aksesoris lainnya) dan make up pun tidak banyak digunakan. Memang buat apa juga berdandan mewah kalau cuma di rumah.

Dengan makanan dan pakaian seadanya, nyatanya kita bisa menikmati hidup dengan senyuman. Sesimple dan sesederhana itulah sebenarnya kebutuhan hidup kita. Di luar itu sudah bukan lagi kebutuhan tapi menjelma menjadi keinginan. Kebutuhan merupakan hal dasar untuk menjaga keberlangsungan hidup dan itu harus segera terpenuhi. Sedangkan keinginan tidak bersifat mengikat dan tidak memiliki keharusan untuk segera dipenuhi. 

Manakala manusia dapat meletakkan kebutuhan dan keinginanya secara proporsional, tentu tidak akan terjadi kelangkaan sumber daya di muka bumi ini.  Dalam ilmu ekonomi konvensional, kelangkaan  (scarcity) merupakan masalah terbesar yang dihadapi manusia. Manusia dan masyarakat senantiasa memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan, baik berupa barang (goods) maupun jasa (services).

Dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya itulah, dalam kehidupan manusia biasanya akan muncul masalah yang disebabkan karena terbatasnya sarana dan prasarana yang ada. Konflik yang terjadi antar manusia, lebih banyak disebabkan karena masalah ini.

Sejatinya, keterbatasan tersebut bukan karena tidak cukupnya sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi lebih karena keserakahan manusia. Manusia selalu ingin lebih dari yang dibutuhkannya.

Tuhan telah menyediakan alam dan sisinya untuk manusia, dengan kadar yang pas, untuk mengatasi semua kebutuhan, termasuk untuk memberi jalan keluar atas segala persoalan yang dihadapinya.

Tetapi karena keserakahan manusia, serta keinginannya untuk menguasai semua hal, alam pun dieksploitasi dan diperlakukan secara semena-mena hingga mengakibatkan kerusakan. Tanah, air, dan udara tercemar. Bencana alam pun bisa terjadi kapan saja tanpa bisa diprediksi.

Kata Mahatma Gandhi, dunia ini cukup untuk memenuhi kehidupan manusia, tapi tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahannya.

Menurut firman Allah dalam kitab suci: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS, Ar-Ruum [30]: 41).

Bisa jadi, virus corona versi baru ini bagian dari cara Tuhan mengingatkan manusia agar kembali ke jalan yang benar. Terlalu banyak ulah manusia yang membuat tanah, laut, dan udara rusak. Diakaui atau tidak, Covid-19 telah berhasil meredam keserakahan kita.

Virus corona berhasil memaksa manusia berhenti membuat kerusakan, atau minimal menguranginya. Lock down di berbagai kota besar di dunia membuat pencemaran lingkungan, baik di darat maupun di laut turun drastis. Konsumsi bahan bakar pun berkurang signifikan. Artinya, eksploitasi energi juga berkurang.

Kita tidak tahu pasti sampai pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Sudah banyak versi prediksi, dari akhir Juli hingga akhir tahun ini. Semoga saja akan lebih cepat. Harapannya, setelah Covid-19 berakhir, tumbuh kesadaran baru, minimal kederhanaan dalam bertindak dan berprilaku, terutama dalam konsumsi makanan, dalam berpakaian, dan dalam menggunakan moda transportasi. Karena berlebihan dalam ketiga komponen inilah yang berakibat pada kerusakan alam dan lingkungan.

Setiap agama mengajarkan kesederhanaan, tapi banyak umat yang mengabaikannya. Setiap agama mengajarkan agar bertindak proporsional dalam segala hal. Ajaran-ajaran inilah yang harus kita gaungkan kembali agar mekanisme sistemik yang ada alam semesta ini semua bisa berjalan normal. Hingga harapan lahirnya new normal pasca pandemi Covid-19 bisa terwujud.

Pada akhirnya hanya orang-orang yang beruntung yang bisa mengambil hikmah dari suatu peristiwa kehidupan. Semoga setelah Covid-19 usai, kita bisa kembali pada pola hidup sederhana. Sederhana berarti bersahaja, tidak berlebih-lebihan, tidak tinggi, tidak rendah, tidak banyak seluk beluknya dan tidak banyak pernik. Itu lah sebenarnya hidup kita yang sejati.

Erni Juliana Al Hasanah Nasution, Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), Wakil Sekretaris Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (KPEU MUI)

Exit mobile version