Ramadhan sudah di sepertiga akhir, sedangkan ancaman wabah covid-19 belum menunjukan tanda bakal mereda. Keadaan ini memaksa semua pihak harus mematuhi protokol pencegahan penyebaran sampar ini. Dengan kata lain, kemungkinan besar sampai tanggal 1 Syawal 1441 H yang akan datang kita masih harus menjauhi kerumunan.
Oleh karena itu, apabila kedaan negeri Indonesia oleh pihak berwenang (pemerintah) belum dinyatakan bebas dari pandemi Covid-19 dan aman untuk berkumpul orang banyak, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah memfatwakan agar Shalat Idulfitri di lapangan sebaiknya ditiadakan atau tidak dilaksanakan. Hal itu untuk memutus rantai mudarat persebaran virus korona tersebut agar kita cepat terbebas daripadanya dan dalam rangka sadduẓ-ẓarīʻah (tindakan preventif) guna menghindarkan kita jatuh ke dalam kebinasaan seperti diperingatkan dalam Al-Quran (Q 2: 195) dan demi menghindari mudarat seperti ditegaskan dalam sabda Nabi saw yang sudah dikutip dalam “Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19,” yang disebut terdahulu.
Fatwa Majelis Tarjih ini kemudian dijadikan dasar tuntunan PP Muhammadiyah tentang Shalat Idulfitri Dalam kondisi Darurat Pandemi Covid-19.
Karena tidak dapat dilaksanakan secara normal di lapangan sebagaimana mestinya, lantaran kondisi lingkungan belum dinyatakan oleh pihak berwenang bersih (clear) dari covid-19 dan aman untuk berkumpul banyak orang, maka shalat id boleh tidak dilaksanakan. Dalam hal ini tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena shalat Id adalah ibadah sunah. Sedangkan bagi bagi yang menghendaki, shalat id dapat dilakukan di rumah masing-masing bersama anggota keluarga dengan cara yang sama seperti shalat Id di lapangan.
Dasar pelaksanaan shalat Id di rumah adalah: Pertama, bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dasarnya adalah kadar kemampuan mukallaf untuk mengerjakan. Hal itu karena Allah tidak membebani hamba-Nya, kecuali sejauh kadar kemampuannya [Q 2: 286 dan 65: 7] dan apabila diperintahkan melakukan suatu kewajiban agama, maka kerjakan sesuai kemampuan (bertakwa sesuai kemampuan) [Q 64: 16 dan hadits Nabi].
Kedua, dasar pelaksanaan shalat Id di rumah, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Bukhārī, adalah hadits Nabi saw, هَذاَ عِيْدُناَ أَهْلَ اْلإِسْلاَمِ (‘Ini adalah hari raya kita, pemeluk Islam’). Meskipun sabab al-wurūd hadits ini adalah masalah menyanyi di hari raya, namun al-Bukhārī memegangi keumuman hadits ini, bahwa hari Id itu adalah hari raya umat Islam yang dirayakan dengan shalat Id, sehingga orang yang tidak dapat mengerjakannya sebagai mana mestinya, yaitu di lapangan, dapat mengerjakannya di rumahnya. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī dengan lafal sedikit berbeda pada dua tempat lain, yaitu hadits nomor 909 dan 3716 dalam Ṣaḥīḥ-nya.Al-Bukhārī menyebutkan bahwa Sahabat Anas Ibn Mālik memraktikkan seperti ini di mana ia memerintahkan keluarganya untuk ikut bersamanya shalat Id di rumah mereka di az-Zāwiyah (kampung jauh di luar kota). Ibn Rajab (w. 795/1393) dalam kitab syarahnya terhadap al-Bukhārī, yaitu Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, menyatakan bahwa shalat Id di rumah itu dianut oleh para ulama terkemuka seperti ‘Aṭā’ (w. 114/732), Mujāhid (w.102/721), al-Ḥasan al-Baṣrī (w. 110/728), Ibn Sīrīn (w. 110/729), ‘Ikrimah (w. 107/725), Ibrāhīm an-Nakhaʻī (w. 96/715), Abū Ḥanīfah (w. 150/767), al-Auzaʻī (w. 157/774), Mālik (w. 179/795) , al-Laiṣ (w. 175/791), asy-Syāfiʻī (w. 204/820), dan Imam Aḥmad (w. 241/855) [Ibn Rajab, Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, IX: 75, bab 25].
Ketiga, bahwa suatu aktivitas yang tidak diperbuat oleh Nabi saw tidak selalu merupakan hal yang tidak masyruk. Tidak berbuat Nabi saw itu bisa merupakan sunah, yang oleh karenanya tidak boleh disimpangi, dan bisa pula tidak merupakan sunnah sehingga dapat dilakukan. Tidak berbuat Nabi saw (al-tark) itu dikatakan sebagai sunah, yakni sunah tarkiah, adalah apabila tidak berbuat itu dalam keadaan ada kebutuhan untuk melakukannya dan ada peluang, namun Nabi saw tetap tidak mengerjakannya. Misalnya Nabi saw tidak pernah shalat malam di bulan Ramadan (tarawih) dan shalat malam di luar Ramadan (tahajud) lebih dari 11 rakaat seperti diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah sebagaimana dicatat dalam dua kitab sahih. Di sana ada keperluan untuk melakukan lebih dari 11 rakaat, yaitu meningkatkan dan memperbanyak ibadah, karena Nabi saw memerintahkan perbanyaklah sujud, yang berarti perbanyak rakaat shalat sunah termasuk shalat tarawih. Juga tidak ada halangan Nabi untuk mengerjakannya. Namun demikian beliau tidak melakukannya. Maka tidak berbuat Nabi saw seperti ini merupakan sebuah sunah, yakni sunah tarkiah. Oleh karenanya, menurut Majelis Tarjih, apabila dikerjakan juga, maka tidak masyruk.
Tetapi apabila tidak dikerjakan itu karena tidak ada keperluan untuk mengerjakannya, atau ada keperluan untuk mengerjakannya namun ada halangan untuk mengerjakannya, maka tidak berbuat tersebut bukan sunah tarkiah dan apabila dikerjakan, maka itu hukumnya boleh. Seperti Nabi saw tidak pernah membaca mushaf atau tulisan ayat ketika shalat atau mengimami shalat, karena tidak ada kebutuhan untuk itu sebab beliau sendiri hafal Al-Quran. Oleh sebab itu “beliau tidak membaca mushaf dalam shalat itu” bukan sunah tarkiah, dan karenanya apabila ada orang yang membaca mushaf atau tulisan ayat ketika menjadi imam atau shalat munfarid, maka itu boleh hukumnya. Contoh lain adalah bahwa Nabi saw tidak shalat tarawih berjamaah di masjid secara terus menerus selama Ramadan. Beliau hanya berjamaah beberapa malam saja dari satu bulan Ramadan. Beliau lebih banyak shalat sendiri di rumah dan di zaman beliau hingga dua tahun pertama pemerintahan ‘Umar Ibn al-Khaṭṭāb tidak ada shalat tarawih di masjid Nabi saw di bawah satu pimpinan imam secara terus menerus selama bulan Ramadan. Shalat tarawih dilaksanakan secara sporadis dalam kelompok-kelompok kecil atau sendiri-sendiri (HR al-Bukhārī). Bahwa Nabi saw tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid secara terus menerus selama Ramadan bukan sunah tarkiah, karena meskipun ada kebutuhan untuk melakukannya dan beliau tidak melakukannya disebabkan oleh adanya halangan untuk itu, yaitu beliau khawatir shalat tarawih berjamaah terus menerus itu dipandang wajib oleh umatnya dan itu akan memberatkan mereka dan karenanya beliau hanya shalat beberapa kali saja selama satu Ramadan (HR al-Bukhārī dan Muslim). Ketika kita sekarang melaksanakannya terus menerus sepanjang malam Ramadan di masjid, itu adalah masyruk dan tidak melanggar sunah beliau.
Dalam kaitan dengan tidak pernahnya Raslullah saw mengerjakan shalat Id di rumah dapat dipandang bukan merupakan sunah tarkiah, karena tidak ada kebutuhan di zaman beliau untuk shalat Id di rumah karena tidak ada halangan, seperti ṭaʻūn (penyakit menular), yang menghalangi beliau untuk shalat di lapangan. Karena bukan sunah tarkiah, maka melakukan shalat Id di rumah itu bukan suatu yang tidak masyruk, sebaliknya adalah suatu sah dilakukan.
Pelaksanaan shalat Id di rumah tidak membuat suatu jenis ibadah baru. Shalat Id ditetapkan oleh Nabi saw melalui sunahnya. Shalat Id yang dikerjakan di rumah adalah seperti shalat yang ditetapkan dalam sunah Nabi saw. Hanya tempatnya dialihkan ke rumah karena pelaksanaan di tempat yang semestinya, yaitu di lapangan yang melibatkan konsentrasi orang banyak, tidak dapat dilakukan. Juga tidak dialihkan ke masjid karena halangannya adalah ketidakmungkinan berkumpulnya orang banyak di suatu tempat. Karena terhalang di tempat yang semestinya, yakni di lapangan, maka dialihkan ke tempat di mana mungkin dilakukan, yakni di rumah.
Dengan meniadakan shalat Id di lapangan maupun di masjid karena adanya ancaman Covid-19 tidaklah berarti mengurang-ngurangi agama. Ketika dibolehkan shalat Id di rumah bagi yang menghendakinya, pertimbangannya adalah melaksanakannya dengan cara lain yang tidak biasa, yaitu dilaksanakan di rumah, karena dituntut oleh keadaan di satu sisi, dan di sisi lain dalam rangka mengamalkan bagian lain dari petunjuk agama itu sendiri, yaitu agar kita selalu memperhatikan riʻāyat al-maṣāliḥ, perwujudan kemaslahatan manusia, berupa perlindungan diri, agama, akal, keluarga, dan harta benda dan menjaga agar kita tidak menimbulkan mudarat kepada diri kita dan kepada orang lain. Bahkan sebaliknya, tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena shalat Id adalah ibadah sunah. Dalam pandangan Islam, perlidungan diri (jiwa dan raga) sangat penting sebagaimana Allah menegaskan dalam Al-Quran, yang artinya “Barangsiapa mempertahankan hidup satu manusia, seolah ia memberi hidup kepada semua manusia” [Q 5: 32]. Menghindari berkumpul dalam jumlah banyak berarti kita berupaya memutus rantai pandemi Covid-19 dan berarti pula kita berupaya menghindarkan orang banyak dari paparan virus korona yang sangat mengancam jiwa ini. Semoga Allah senantiasa melindungi umat Islam dan bangsa Indonesia dari segala bahaya dalam limpahan rahmat dan karunia-Nya. (mjr8)