Mengawal Keputusan Muhammadiyah

muhammadiyah

MUKTAMAR MUHAMMADIYAH. Pada dasarnya, Mengikuti Putusan Muhammadiyah itu bukan untuk menghargai Muhammadiyah apalagi Pimpinanya. Namun untuk menghargai diri kita sendiri

Oleh: Dr Pradana Boy ZTF

SALAH satu akibat tak terelakkan wabah global korona yang saat ini dihadapi oleh umat manusia adalah dinamika keagamaan yang sangat cair. Di Indonesia, salah satu wujudnya adalah tentang kepatuhan mengikuti keputusan lembaga-lembaga keagamaan. Muhammadiyah termasuk yang mengalami situasi ini. Bahwa Muhammadiyah harus merespons situasi ini dengan menyediakan keputusan-keputusan dan petunjuk dalam bidang keagamaan bagi anggotanya, dan masyarakat secara umum; adalah suatu keharusan. Namun ada situasi lain yang tak terelakkan, yakni sikap anggota Muhammadiyah terhadap keputusan itu.

Nyatanya, tak sedikit yang dengan segala argumentasi menolak mengikuti keputusan Muhammadiyah. Misalnya, tentang keputusan Muhammadiyah berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah pada masa pandemi ini. Kenyataan ini salah satunya tumbuh dari keberagamaan yang egois. Situasi ini tentu menimbulkan keresahan dan sekaligus pertanyaan tentang bagaimana seharusnya menempatkan Muhammadiyah sebagai jalan ber-Islam.

Meskipun Muhammadiyah adalah sebuah Gerakan Islam yang sangat tegas dan jelas, dalam menggambarkan Muhammadiyah memang tidak ada cara tunggal. Artinya, dalam konteks akademik, para peneliti dan ilmuwan memiliki cara dan sudut pandang yang beragam dalam menjelaskan apakah sesungguhnya Muhammadiyah itu. Dalam hal ini, saya seringkali berusaha menempatkan Muhammadiyah dalam tiga aspek atau konteks, yaitu: Muhammadiyah sebagai Gerakan, Muhammadiyah sebagai Pemikiran dan Muhammadiyah sebagai Organisasi. Ketiganya berbeda, memiliki titik tekan yang berlainan, namun sesungguhnya merupakan satu kesatuan sistemik yang tidak terpisahkan.

Dalam hal sebagai Gerakan, Muhammadiyah mewujudkan diri dalam berbagai implementasi. Saya menangkap tiga elemen penting Muhammadiyah sebagai Gerakan ini, yaitu: Gerakan Sosial Keagamaan, Gerakan Intelektual, Gerakan Politik Moral. Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan, Muhammadiyah telah melakukan perubahan-perubahan penting dalam mengarahkan kehidupan beragama di Indonesia. Lahir pada awal abad ke-20, Muhammadiyah awal menyaksikan corak keberagamaan yang fatalistik, tidak rasional, dan sektarian. Corak ini memang terdapat di Jawa, sehingga almarhum Kuntowijoyo sering menggambarkan kelahiran Muhammadiyah berhadapan dengan sebuah kondisi sosial yang ia sebut sebagai Jawaisme.

 Jika Jawaisme adalah ciri keberagamaan Islam lokal di Jawa pada saat itu, secara umum dunia Islam mengalami penguatan sektarianisme yang akut, terutama menyangkut pandangan-pandangan keagamaan. Sejarah panjang intelektualisme Islam pada abad pertengahan yang melahirkan kegemilangan peradaban Islam dalam bidang ilmu pengetahuan, ternyata mengalami penyurutan, yang salah satu wujudnya adalah terpecah-pecahnya umat Islam dalam konteks pandangan keagamaan secara kaku. Akibatnya, pemutlakan satu pandangan keagamaan oleh satu kelompok menjadi hal yang tak terlekkan. Inilah salah satu ciri penting dunia Islam menjelang persentuhan dengan modernisme.

Menjelang masa modern, situasi sektarianisme pandangan keagamaan di dunia Islam secara global itu direspon oleh sejumlah pembaharu Islam generasi awal. Pergulatan itu terus berlanjut hingga masa modernisme awal, yang di dalamnya Kiai Ahmad Dahlan merupakan bagian di dalamnya. Dalam hal inilah, saya meyakini bahwa betapapun pembaruan Kiai Dahlan berbasis di Jawa, dengan mengambil persoalan-persoalan masyarakat Islam di Jawa sebagai konteks lokal, pengaruh situasi global dunia Islam pada awal abad modern tidak dapat dipandang remeh. Dengan demikian, maka Muhammadiyah pada dasarnya adalah Gerakan intelektual Islam yang salah satu tujuannya berusaha mengembalikan ruh intelektualisme Islam.

Konteks global seperti ini memeroleh implementasi dan kontekstualisasinya dalam kasus Indonesia. Dalam alam penjajahan Belanda yang tidak hanya bermakna imperialisme politik, Kiai Dahlan menawarkan keterbukaan dan rasionalisasi dalam kehidupan beragama. Tentu bukan perkara mudah membawa kehidupan beragama yang rasional dan terbuka dalam iklim sektarianisme keagamaan yang mengemuka saat itu. Namun, secara perlahan, melalui strategi praksis sosial yang membumi, Muhammadiyah berhasil menjadi salah satu corak penting keberagamaan di Indonesia hingga hari ini.

Karena itulah, pikiran-pikiran keagamaan Muhammadiyah menyebar luas, meskipun sebagian besar pengamat sering menyebut Muhammadiyah lebih luas diterima di kalangan perkotaan ketimbang kalangan pedesaan. Meluasnya pikiran-pikiran keagamaan inilah yang lalu menimbulkan istilah Muhammadiyah sebagai state of mind atau Muhammadiyah sebagai alam pikiran.

Sebagai pemikiran inilah, Muhammadiyah lalu memiliki daya jangkau yang tak terbatas. Ciri utama Muhammadiyah sebagai alam pikiran adalah upaya tiada henti untuk melakukan pembaruan atas berbagai aspek keagamaan dalam Islam agar senantiasa memiliki relevansi dengan kehidupan umat, tak hanya umat Islam, tetapi bahkan umat manusia. Agama yang fungsional adalah agama yang hidup dalam masyarakat, hadir dalam berbagai situasi, memberikan petunjuk, arahan, dan bahkan penyelesaian. Dalam hal ini, pembaruan adalah sebuah istilah aktif yang selalu memiliki konteks dan makna baru dari zaman ke zaman. Dalam situasi seperti inilah kita bisa memahami ungkapan Buya Syafii bahwa kalangan pembaharu selalu mendapat penentangan dari masyarakat, tetapi secara perlahan-lahan diikuti.

Begitu hakikat pembaruan Muhammadiyah. Maka, tak sedikit kalangan yang mengadopsi corak keberagamaan Muhammadiyah ini, meskipun secara formal tidak merupakan bagian dari Muhammadiyah. Pada aspek inilah lalu kita berbicara tentang Muhammadiyah dalam aspek ketiga, yaitu sebagai organisasi. Dalam situasi Muhammadiyah sebagai alam pikiran yang diikuti oleh sesiapa saja tanpa mereka harus secara formal terikat dengan Muhammadiyah, menunjukkan bahwa alam pikiran ibarat udara yang bisa dihirup oleh siapa saja tanpa harus membeli.

Namun, bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Mengikuti Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi namun enggan menjalankan keputusan-keputusan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi? Ini ibarat kita tinggal di dalam sebuah rumah, menjadi bagian dari rumah tersebut, tetapi menolak menghirup udara yang beredar di dalam rumah itu. Belakangan ini, saya mengamati satu situasi, di mana orang menjadi Muhammadiyah tidak dalam tiga konteks tersebut. Bekerja di Muhammadiyah, namun enggan mengikuti Islam cara Muhammadiyah. Menjadi pengurus Muhammadiyah, tetapi menjalankan corak keberagamaan yang selain Muhammadiyah. Ini menjadi problematik dan ironis: hidup dalam naungan Muhammadiyah sebagai organisasi, namun enggan mengadopsi, dan apalagi menjalankan keputusan-keputusan dalam bidang strategis yang diambil Muhammadiyah.

Tentu saja, Muhammadiyah bukanlah Islam itu sendiri. Tetapi Muhammadiyah adalah cara ber-Islam. Maka jika ada argumen yang menyatakan “masuk Islam saja tidak dipaksa kok di Muhammadiyah dipaksa-paksa”, saya merasa argumen seperti itu lahir dari logika yang tak lurus. Dalam hal ini, saya justru ingin menggunakan argumentasi teologis yang sama. Tak hanya masuk Islam, memilih beriman atau tidak saja, itu juga merupakan hak manusia (Q.S. al-Kahfi: 29). Namun, saat keputusan untuk beriman atau beragama diputuskan oleh seseorang sebagai bagian dari cara ia mengendalikan hidup dan mencari makna hakiki kehidupan, pada saat itulah ia terikat dengan agama yang ia anut. Iman dan agama adalah aturan. Demikian pula dengan Islam. Tak ada sesiapa yang memaksa seseorang untuk masuk Islam. Namun, ketika keputusan menganut Islam sudah dibuat, tak ada pilihan lain kecuali menyerahkan diri dalam naungan aturan Islam sebagai totalitas. Inilah konsekwensi pilihan.

Dengan analogi seperti ini, saya tak ragu menyebut bahwa Muhammadiyah adalah sebuah cara ber-Islam. Maka, ketika telah memutuskan mengikuti Islam melalui gaya ijtihad Muhammadiyah, saya harus konsekwen dengan pilihan ini, tanpa harus terjebak pada penyudutan jalan lain yang dipilih orang lain. Dalam hal tiga konteks di atas, maka cara saya menempatkan adalah organisasi sebagai kerangka, pemikiran adalah substansi dan gerakan adalah strategi. Dalam rangkian kesatuan sistemik inilah saya memahami Muhammadiyah, sehingga tiga konteks atau aspek di atas saya buat.

Maka, bisakah kita ber-Muhammadiyah dengan memilah-milah satu di antara ketiganya? Sekali lagi, memang tidak ada paksaan untuk ikut bersama gerbong keagamaan Muhammadiyah. Namun, jika sudah memutuskan bergabung, sikap konsekwen atas apa yang diputuskan oleh Muhammadiyah harus menjadi sikap dasar semua anggota dan pimpinan Muhammadiyah. Mengikuti keputusan Muhammadiyah itu, bukan saja untuk menghargai Muhammadiyah, pada dasarnya. Lebih mendasar dari itu, itulah cara kita menghargai diri kita sendiri.***

Dr Pradana Boy ZTF, Dosen Prodi Hukum Keluarga Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Exit mobile version