Mengokohkan Bangunan Kebersamaan Muhammadiyah

Kesolidan internal dapat dikatakan menjadi salah satu kunci kejayaan Muhammadiyah hingga persyarikatan ini dapat terus berkembang dalam hitungan abad. Kesolidan Muhammadiyah ini sudah teruji dalam beberapa generasi. Sampai hari ini, persyarikatan ini belum pernah terbelah ataupun dilanda pertikaian yang tidak dapat diatasi. Kalaupun ada permasalahan internal dapat dikatakan hanya sekedar riak kecil yang justeru mendinamiskan organisasi.

Kalau kita telusuri dokumen yang ada, kesolidan Muhammadiyah  ini terbangun karena adanya kesadaran semua warga dan pimpinan untuk mematuhi sistem bersama yang ada di Muhammadiyah. Sistem bersama itu pada tahun 1954 oleh Yunus Anis pernah disebut sebagai hukum persyarikatan yang harus dipatuhi, karena Muhammadiyah  itu sendiri merupakan persyarikatan hukum.

Apapun yang sudah diputuskan organisasi harus dipatuhi dan diikuti oleh semua warga apalagi pimpinan Muhammadiyah. Semua berhak untuk tidak setuju dan menolak pada suatu ide yang digodog oleh persyarikatan. Namun, apabila palu telah diketuk dan keputusan telah ditorehkan, semua harus tunduk dan patuh. Apapun status dan kedudukan serta kepandaian seseorang itu, selama dia masih mengaku dan merasa sebagai warga Muhammadiyah maka dia terikat oleh keputusan organisasi yang bernama Muhammadiyah.

Menurut Yunus Anis, kalau warga Muhammadiyah memberi ruang sekecil apapun untuk menolak mematuhi putusan organisasi, maka tidak ada gunanya organisasi ini dipertahankan. Tidak ada pula gunanya orang yang menolak tunduk untuk tetap bersama organisasi yang dipilihnya.

Pada tahun-tahun sebelum Yunus Anis menulis tentang persyarikatan hukum ini, Muhammadiyah juga sudah selalu lulus dalam menghadapi beberapa ujian tentang kesolidan organisasi. Tampaknya, kesadaran Muhammadiyah  sebagai organisasi modern banyak berpengaruh pada kesolidan ini. Setiap insan Muhammadiyah kala itu selalu sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari bangunan Muhammadiyah. Menjadi atap, tiang, ataupun dinding hanyalah masalah fungsi dan kontribusi bukan masalah gengsi dan posisi.

Olah karena itu, pada masa awal seorang Dokter Soetomo yang merupakan priyayi jawa yang kental dengan budaya teosofi dan jelas tidak santri dapat diterima sebagai pengurus Muhammadiyah. Demikian juga seorang Drijowongso yang buruh kecil berlatar abangan dan beberapa kali masuk penjara karena aksi-aksi perlawanannya terhadap penguasa, juga dapat diterima dan menjadi pengurus Muhammadiyah pula. Bersanding dengan Sudjak, Hisyam, Muchtar, Ibrahim yang merupakan orang-orang santri terpandang.

Namun, begitu mereka menjadi bagian dari Muhammadiyah  yang modern, semua tunduk dan menjalankan fungsi masing-masing dalam mengembangkan Muhammadiyah. Semua sadar, sehebat apapun diri mereka secara pribadi, tidak ada yang lebih besar dari Muhammadiyah. Oleh karena itu ketika Fachrodin yang saat itu lagi moncer bersama  SI dan aneka penerbitan majalahnya, begitu dihadapkan pilihan untuk tetap bersama Muhammadiyah atau yang  lain, Fachroddin memilih tetap bersama Muhammadiyah dan mengabaikan yang lain yang saat itu nampak lebih gemerlap.

Demikian pula ketika Muhammadiyah  mengalami peralihan kepemimpinan dari “kaum tua” ke kaum muda, dari kyai Hisyam ke Mas Mansur. Meski saat itu Kyai Hisyam dan para tokoh senior angkatannya masih power full dan boleh jadi mempunyai pengaruh yang jauh lebih kuat di massa ummat Muhammadiyah  dibanding para pimpinan yang baru kala itu, para senior itu tidak pernah membuat gerakan yang aneh-aneh yang dapat mendelegitimasi pimpinan Muhammadiyah  yang saat itu menjalankan amanah.

Sebaliknya para senior itu malah memasrahkan badan dan memberi ruang yang lebih leluasa agar generasi pengganti itu dapat berperan secara lebih maksimal untuk mengembangkan Muhammadiyah. Saat itu semua sadar bahwa keutuhan, kebesaran dan cita-cita organisasi jauh lebih penting dari sekedar nama besar dan visi apalagi ambisi orang per-orang. Secara tidak langsung genarasi itu telah mewariskan tradisi untuk mengokohkan bangunan Muhammadiyah.  

Di era modern, Muhammadiyah  juga mencatat hal yang sama. Ada tokoh yang yang dikenal sebagai ahi ilmu falak. Beliau mempunyai teori awal bulan qamariah dengan ijtima’ qabla fajar. Dia yakin teori itu benar. Namun, saat itu (juga hari ini) teori awal bulan yang disepakati Majelis Tarjih adalah wujudul hilal, yang mensaratkan adanya ijtima’ qabla ghurub. Meskipun beliau seorang tokoh besar dan disegani serta gagasannya juga bisa diterima dan diikuti banyak orang, beliau tidak pernah mengumumkan kapan awal dan akhir bulan ramadhan versi  beliau. Apalagi menyatakan hasil perhitungan Majelis Tarjih sebagai hal yang tidak benar.

Tunduk dan patuh pada sistem dan putusan organisasi bagi sebagian orang mungkin dapat diterima sebagai hal yang seharusnya. Namun, bagi orang-orang tertentu hal itu bisa menjadi hal yang tidak sederhana. Apalagi bagi orang yang merasa dirinya lebih besar dari Muhammadiyah dan merasa dirinya lebih hebat, lebih moncer, dan lebih lihai dari pimpinan yang sekarang. Juga mempunyai penilaian bahwa pimpinan yang sekarang  secara intelektual dianggapnya kurang atau lebih lemah. Tampaknya orang yang seperti itu belum pernah ada dan tidak akan pernah ada di dalam Muhammadiyah. (mjr-8)

Exit mobile version