Dasar Hukum Shalat Idulfitri Di Rumah

Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah memutuskan, warga Muhammadiyah dihimbau untuk tidak menyelenggarakan shalat shalat idulfitri 1441 (hari ahad, 24 Mei 2020)  di tanah lapang sebagaimana dalam keadaan normal.

(https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/05/15/demi-kemaslahatan-sesama-tidak-perlu-shalat-id-di-lapangan/).

Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan shalat idulfitri di lapangan, bagi yang menghendaki shalat id dapat dilaksanakan di rumah bersama anggota keluarga masing-masing. Lebih lengkap dapat dibaca di tautan berikut:

(https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/05/14/tuntunan-pp-muhammadiyah-tentang-shalat-idulfitri-dalam-kondisi-darurat-pandemi-covid-19/).

Adapun dasar hukum pelaksanaan shalat id di rumah tersebut adalah: Pertama: sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Bukhārī, adalah hadits Nabi saw, هَذاَ عِيْدُناَ أَهْلَ اْلإِسْلاَمِ (‘Ini adalah hari raya kita, pemeluk Islam’). Meskipun sabab al-wurūd hadits ini adalah masalah menyanyi di hari raya, namun al-Bukhārī memegangi keumuman hadits ini, bahwa hari Id itu adalah hari raya umat Islam  yang dirayakan dengan shalat Id, sehingga orang yang tidak dapat mengerjakannya sebagai mana mestinya, yaitu di lapangan, dapat mengerjakannya di rumahnya.

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī dengan lafal sedikit berbeda pada dua tempat lain, yaitu hadits nomor 909 dan 3716 dalam Ṣaḥīḥ-nya.Al-Bukhārī menyebutkan bahwa Sahabat Anas Ibn Mālik memraktikkan seperti ini di mana ia memerintahkan keluarganya untuk ikut bersamanya shalat Id di rumah mereka di az-Zāwiyah (kampung jauh di luar kota). Ibn Rajab (w. 795/1393) dalam kitab syarahnya terhadap al-Bukhārī, yaitu Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, menyatakan bahwa shalat Id di rumah itu dianut oleh para ulama terkemuka seperti ‘Aṭā’ (w. 114/732), Mujāhid (w.102/721), al-Ḥasan al-Baṣrī (w. 110/728), Ibn Sīrīn (w. 110/729), ‘Ikrimah (w. 107/725), Ibrāhīm an-Nakhaʻī (w. 96/715), Abū Ḥanīfah (w. 150/767), al-Auzaʻī (w. 157/774), Mālik (w. 179/795) , al-Laiṣ (w. 175/791), asy-Syāfiʻī (w. 204/820), dan Imam Aḥmad (w. 241/855) [Ibn Rajab, Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, IX: 75, bab 25].

Kedua, Bahwa suatu aktivitas yang tidak diperbuat oleh Nabi saw tidak selalu merupakan hal yang tidak masyruk. Tidak berbuat Nabi saw itu bisa merupakan sunah, yang oleh karenanya tidak boleh disimpangi, dan bisa pula tidak merupakan sunnah sehingga dapat dilakukan. Tidak berbuat Nabi saw (al-tark) itu dikatakan sebagai sunah, yakni sunah tarkiah, adalah apabila tidak berbuat itu dalam keadaan ada kebutuhan untuk melakukannya dan ada peluang, namun Nabi saw tetap tidak mengerjakannya.

Misalnya Nabi saw tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan (tarawih) dan shalat malam di luar Ramadhan (tahajud) lebih dari 11 rakaat seperti diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah sebagaimana dicatat dalam dua kitab sahih. Di sana ada keperluan untuk melakukan lebih dari 11 rakaat, yaitu meningkatkan dan memperbanyak ibadah, karena Nabi saw memerintahkan perbanyaklah sujud, yang berarti perbanyak rakaat shalat sunah termasuk shalat tarawih. Juga tidak ada halangan Nabi untuk mengerjakannya. Namun demikian beliau tidak melakukannya. Maka tidak berbuat Nabi saw seperti ini merupakan sebuah sunah, yakni sunah tarkiah. Oleh karenanya, menurut Majelis Tarjih, apabila dikerjakan juga, maka tidak masyruk.

Tetapi apabila tidak dikerjakan itu karena tidak ada keperluan untuk mengerjakannya, atau ada keperluan untuk mengerjakannya namun ada halangan untuk mengerjakannya, maka tidak berbuat tersebut bukan sunah tarkiah dan apabila dikerjakan, maka itu hukumnya boleh. Seperti Nabi saw tidak pernah membaca mushaf atau tulisan ayat ketika shalat atau mengimami shalat, karena tidak ada kebutuhan untuk itu sebab beliau sendiri hafal Al-Quran. Oleh sebab itu “beliau tidak membaca mushaf dalam shalat itu” bukan sunah tarkiah, dan karenanya apabila ada orang yang membaca mushaf atau tulisan ayat ketika menjadi imam atau shalat munfarid, maka itu boleh hukumnya.

Contoh lain adalah bahwa Nabi saw tidak shalat tarawih berjamaah di masjid secara terus menerus selama Ramadhan. Beliau hanya berjamaah beberapa malam saja dari satu bulan Ramadhan. Beliau lebih banyak shalat sendiri di rumah dan di zaman beliau hingga dua tahun pertama pemerintahan ‘Umar Ibn al-Khaṭṭāb tidak ada shalat tarawih di masjid Nabi saw di bawah satu pimpinan imam secara terus menerus selama bulan Ramadhan. Shalat tarawih dilaksanakan secara sporadis dalam kelompok-kelompok kecil atau sendiri-sendiri (HR al-Bukhārī).

Bahwa Nabi saw tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid secara terus menerus selama Ramadhan bukan sunah tarkiah, karena meskipun ada kebutuhan untuk melakukannya dan beliau tidak melakukannya disebabkan oleh adanya halangan untuk itu, yaitu beliau khawatir shalat tarawih berjamaah terus menerus itu dipandang wajib oleh umatnya dan itu akan memberatkan mereka dan karenanya beliau hanya shalat beberapa kali saja selama satu Ramadhan (HR al-Bukhārī dan Muslim). Ketika kita sekarang melaksanakannya terus menerus sepanjang malam Ramadhan di masjid, itu adalah masyruk dan tidak melanggar sunah beliau.

Dalam kaitan dengan tidak pernahnya Raslullah saw mengerjakan shalat Id di rumah dapat dipandang bukan merupakan sunah tarkiah, karena tidak ada kebutuhan di zaman beliau untuk shalat Id di rumah karena tidak ada halangan, seperti ṭaʻūn (penyakit menular), yang menghalangi beliau untuk shalat di lapangan. Karena bukan sunah tarkiah, maka melakukan shalat Id di rumah itu bukan suatu yang tidak masyruk, sebaliknya adalah suatu sah dilakukan.  

Ketiga, Pelaksanaan shalat Id di rumah tidak membuat suatu jenis ibadah baru. Shalat Id ditetapkan oleh Nabi saw melalui sunahnya. Shalat Id yang dikerjakan di rumah adalah seperti shalat yang ditetapkan dalam sunah Nabi saw. Hanya tempatnya dialihkan ke rumah karena pelaksanaan di tempat yang semestinya, yaitu di lapangan yang melibatkan konsentrasi orang banyak, tidak dapat dilakukan. Juga tidak dialihkan ke masjid karena halangannya adalah ketidakmungkinan berkumpulnya orang banyak di suatu tempat. Karena terhalang di tempat yang semestinya, yakni di lapangan, maka dialihkan ke tempat di mana mungkin dilakukan, yakni di rumah.

Dengan meniadakan shalat Id di lapangan maupun di masjid karena adanya ancaman Covid-19 tidaklah berarti mengurang-ngurangi agama. Ketika dibolehkan shalat Id di rumah bagi yang menghendakinya, pertimbangannya adalah melaksanakannya dengan cara lain yang tidak biasa, yaitu dilaksanakan di rumah, karena dituntut oleh keadaan di satu sisi, dan di sisi lain dalam rangka mengamalkan bagian lain dari petunjuk agama itu sendiri, yaitu agar kita selalu memperhatikan riʻāyat al-maṣāliḥ, perwujudan kemaslahatan manusia, berupa perlindungan diri, agama, akal, keluarga, dan harta benda dan menjaga agar kita tidak menimbulkan mudarat kepada diri kita dan kepada orang lain. Bahkan sebaliknya, tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena shalat Id adalah ibadah sunah.

Dalam pandangan Islam, perlidungan diri (jiwa dan raga) sangat penting sebagaimana Allah menegaskan dalam Al-Quran, yang artinya “Barangsiapa mempertahankan hidup satu manusia, seolah ia memberi hidup kepada semua manusia” [Q 5: 32]. Menghindari berkumpul dalam jumlah banyak berarti kita berupaya memutus rantai pandemi Covid-19 dan berarti pula kita berupaya menghindarkan orang banyak dari paparan virus korona yang sangat mengancam jiwa ini. Semoga Allah senantiasa melindungi umat Islam dan bangsa Indonesia dari segala bahaya dalam limpahan rahmat dan karunia-Nya.

Sumber: Lampiran Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Nomor 04/EDR/I.0/E/2020 Tanggal 21 Ramadhan 1441 H / 14 Mei 2020 M

(mjr-8)

Exit mobile version