Hidup dalam Kondisi Terisolasi

Syahdan, seorang pemuda berniat merenovasi rumah yang sudah ditinggalinya selama sepuluh tahun. Mulailah si pemuda ini meruntuhkan tembok-tembok yang menopang rumah tua itu. Satu per-satu bagian rumah berhasil dirobohknnya. Tiba-tiba, saat sebuah tembok mulai roboh, dia menemukan seekor cicak yang terperangkap di antara ruang kosong. Dia amati lebih lama, dan ternyata salah satu kaki si cicak tersebut melekat pada sebatang paku. Terlihat tanda-tanda bahwa cicak itu sudah sangat lama dengan kondisi terpasung seperti itu.

Si pemuda mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu. Ketika rumah itu pertama kali dibangun, mungkin saat itulah paku yang menghimpit kaki si cicak ditancapkan untuk pertama kali. Selama sepuluh tahun juga ia belum pernah merenovasi rumah. Bahkan sekedar memaku sebatang paku pun tidak pernah ia lakukan. Ia begitu menjaga keotentikan rumah itu. Lalu, jika memang benar cicak itu telah terpasung selama itu, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup dengan keadaan terperangkap sedemikian lama? Dalam keadaan gelap, tanpa bisa bergerak sedikit pun, itu sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa mustahil dan tidak masuk akal ia mampu bertahan hidup.

Pemuda itu berfikir lama, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup selama sepuluh tahun tanpa berpindah dari tempatnya untuk mencari makan, misalnya, sejak kakinya melekat pada paku itu. Belum selesai kekagetannya dan belum sempat untuk mencoba melepaskan si cicak itu, dari arah yang tidak diketahui si pemuda, muncullah seekor cicak membawa makanan di mulutnya. Diam-diam ia mendekati si cicak yang terperangkap, lalu ia letakkan makanan di sisi mulut cicak yang terperangkap.

Inilah jawaban dari semua tanda tanya keheranan si pemuda. Ia sangat tersentuh dengan perhatian yang diberikan oleh seekor cicak lainnya. Selama sepuluh tahun, hanya ini kemungkinan yang paling tepat, ada cicak lain yang konsisten untuk selalu memperhatikan temannya. Si cicak ini mencari makanan untuk dirinya dan kemudian membagikan untuk cicak yang terperangkap. Padahal mungkin saja si cicak yang terperangkap sudah tak mengharapkan hidup lebih lama. Ia telah pasrah, apapun yang terjadi dengan kondisinya itu.

Kisah dua cicak itu merupakan bentuk cinta yang begitu indah. Dilandasi oleh rasa ketulusan dan kepedulian. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang tak mempunyai akal untuk memilah-milah sesuatu. Hewan kecil yang kerap diremehkan, namun mereka bahkan memiliki cinta yang melintas batas. Dua ekor cicak itu menyadarkan si pemuda tentang keajaiban demi keajaiban bisa terus terjadi dengan modal kepedulian dan kecintaan. Bayangkan, cicak itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama sepuluh tahun.

Jika cicak saja bisa seperti itu, bukankah manusia bisa berbuat sesuatu yang jauh lebih mengagumkan lagi? Dalam kehidupan, manusia bahkan bisa memilih untuk menjadi cicak yang terperangkap atau yang memberi. Terkadang manusia memilih untuk menjadi cicak yang terperangkap, ia hanya menunggu untuk dikasihani. Ia tak mau bekerja dan berusaha maksimal. Ia pasrah bahwa nantinya akan ada yang menolongnya. Ia beranggapan bahwa Allah sudah menjanjikan bahwa setiap orang akan diberikan rizki oleh Allah, bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya. Akhirnya, ia memilih untuk pasif.

Di sisi lain, ada banyak sosok yang memilih menjadi seperti cicak yang menebarkan cinta untuk sesama. Ia memampukan dirinya terlebih dahulu dan kemudian mencoba berbagi dengan sesama. Manusia yang seperti ini tentu lebih mulia. Ia mencari karunia Tuhan, ia bekerja keras sekuat tenaga. Setiap harinya ia lewati dengan semangat dan berbuat semaksimal mungkin. Ia juga tawakkal. Bedanya dengan manusia yang pasif, ia pasrah setelah berusaha hingga titik maksimal terlebih dahulu.

Tuhan dengan segenap kebijaksanaan dan kemaha cintaan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, memberikan manusia kebebasan untuk memilih peran. Semua peran itu adalah bagian dari menjalankan mesin kosmos dan menjaga keserasian gerak semesta. Menjadi manusia yang senantiasa menebarkan cinta kepada sesama memiliki konsekuesi akan diganjar kebaikan, dimudahkan kehidupan, dicintai oleh Allah. Sebaliknya, menjadi manusia yang hanya menjadi objek penerima juga memiliki konsekuensi.

Kisah cicak yang terperangkap juga mengajarkan kita betapa Tuhan tak pernah menyia-nyiakan makhluk-Nya. Jika cicak yang terperangkap di balik papan saja, Allah perhatikan dengan cara mengirimkan cicak lain untuk memberinya makan, bagaimana mungkin Allah menelantarkan hamba-Nya. Padahal manusia merupakan makhluk yang paling sempurna penciptaannya, yang Allah bahkan memberinya tanggungan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Hal ini menjadi inspirasi untuk semua kita untuk terus kuat dan bersabar ketika Alllah memberikan sesuatu ujian dan cobaan dalam kehidupan.

Di balik setiap cobaan, terdapat hikmah bagi manusia. Bisa jadi Allah sedang mengajarkan kita untuk bersabar, untuk percaya kepada kemahakuasaan Tuhan. Atau Allah sedang menahan kita dari berbuat dosa lebih banyak dengan kekuasaan yang kita punyai. Atau Allah sedang memberikan kita waktu untuk beristirahat sejenak. Atau ketika Allah berikan kita ketidakberdayaan, Allah sedang mencoba menggugurkan kesalahan, jika kita mampu bersabar dan berbaik sangka kepada Allah. Ada banyak kemungkinan lain.

Dalam situasi tertentu, terkadang manusia tidak bisa memilih, hanya bisa menjalankan pilihan yang ada. Kondisi terisolasi oleh karena Covid-19, misalnya. Mungkin banyak di antara kita yang tiba-tiba jatuh atau kehilangan pekerjaan, layaknya cicak yang terisolasi. SMERU Research Institute memproyeksikan angka kemiskinan akibat pandemi virus corona atau Covid-19, pada Maret 2020, dengan skenario terendah, naik menjadi 9,7 persen atau bertambah 1,3 juta orang miskin baru. Dalam skenario terberat, angka kemiskinan diproyeksi naik hingga 12,4 persen, penduduk miskin baru bertambah 8,5 juta orang. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas mereka yang tak berdaya itu? (ribas)

Exit mobile version