Oleh: Haedar Nashir
Ingin serius menulis? Penulis harus punya asupan yang baik. Agar kaya informasi dan wawasan. Waktu di Sekolah Dasar dulu ada pelajaran “Mengarang”. Ya, mengarang dengan ide, imajinasi, dan pikiran. Mengarang perlu pengetahuan. Bukan sembarang beropini lewat tulisan.
Sumber pengetahuan yang penting, antara lain buku.
Mohammad Hatta ketika dibuang ke Boven Digoel terus ke Banda Neira, diceritakan membawa 16 peti buku. Saat itu tahun 1934. “Aku rela dipenjara bersama buku, dengan buku aku bebas”, tutur Hatta. Sang Proklamator termasuk ilmuwan dan penulis ternama. Ia menghasilkan sekitar 800 karya. Bukunya tentang “Alam Pikiran Junani” sempat saya baca waktu SMA. Kebetulan, kakak alumni Gontor dan Ushuludin Unisba, memiliki beberapa buku filsafat. Iseng baca-baca buku “berat”, selain baca novel.
Saya teringat waktu di pesantren Cintawana Tasikmalaya. Biasanya jam 07.00-10.00 pagi tidak ada jadwal mengaji kitab. Dimanfaatkan baca koran, tidak banyak santri ke situ. Sedang asyik membaca, Ajengan Ishaq Farid (Ajengan itu Kyai di Sunda) datang ikut membaca. Kaget. Beliau kyai utama pondok dan kyai ternama di Tasikmalaya, pernah kuliah filsafat di UGM. Kakak saya yang lain termasuk alumni Cintawana dan dekat dengan beliau. Saya lalu dimasukkan ke ponpes tersebut. Jadi agak dikenal kyai. Waktu itu santrinya sekitar 2000an.
Karena takzim, segera mau undur diri. Tapi malah disuruh tetap membaca. Santri lain yang senior berseloroh, “hebat, dekat Ajengan sepuh”. Saya cuma senyum, lugu saja. Entah, ada aura yang kuat dari sang kyai, senang kalau ketemu. Beliau setiap malam khusus ngajar kitab berat seperti Jam’ul Jawamai, Nurul Yakin, dan sebagainya. Para santri lain suka rebutan minum bekas minumnya, tabaruq katanya.
Di pesantren juga baca buku pinjam perpus keliling. Tiap seminggu sekali ke pesantren. Kesempatan pinjam buku. Buku umum termasuk langka. Bacaan santri tentu kitab klasik. Para santri etos mengajinya luar biasa, sangat mandiri. Itu pengalaman indah tentang semangat membaca dan berilmu di dunia pesantren.
Setelah merantau ke Yogya akhir tahun 1979, kebiasaan membaca bertambah. Maklum menjadi mahasiswa. Sebagai mahasiswa biasa, uang terbatas untuk beli buku baru. Buku-buku lama tentu dapat dicari di perpustakaan. Sering menyempatkan ke perpus Wilayah di Jalan Malioboro, perpus daerah di depan Samsat. Juga ke Kataketik dan Kanisius, selain di kampus.
Karena ingin buku baru, rajin ke toko buku. Waktu itu rutin menyisakan uang bulanan untuk beli satu atau dua buku baru. Dengan menghemat. Itu wajib. Tapi tentu tidak cukup, padahal buku baru banyak. Jadi, solusinya ke toko buku untuk membaca. Baca gratis.
Di Yogya saat itu ada dua toko buku besar yaitu Gunung Agung, dekat Tugu, sekarang sudah “almarhum”. Toko Buku lainnya Sari Ilmu di Malioboro. Di Jalan Ahmad Dahlan ada TB Siaran dan Persatuan milik Muhammadiyah, kini jadi toko Suara Muhammadiyah. Ada satu lagi di Jalan Solo, lupa namanya. Tentu ada Shopping Center yang cukup populer, di kompleks Taman Pintar sekarang. Ada pula kios buku kaki lima di depan UII lama, di Jln Cikditiro.
Maaf, waktu itu saya agak “nakal” kalau ke toko buku. Jangan ditiru ya! Beli satu, tapi membaca buku lainnya, yang tidak terbeli tentu saja. Saat itu pelayan toko buku masih cukup baik dan ramah. Lebih-lebih bagi mahasiswa. Mereka tidak mengusir pengunjung yang lama membaca, tapi tidak membeli.
Setiap minggu ganti toko buku. Tidak membeli. Hari ahad atau pas tidak ada kuliah. Nah, di dua toko buku itulah saya sering asyik baca buku baru. Bisa tiga jam. Membaca sambil duduk di lantai antar rak buku. Sering di pojok, agar tidak terganggu pengunjung lain. Dalam saku selalu ada catatan kecil. Kadang hanya diingat.
Daya ingat memang harus diasah. Dulu waktu SD dan di pesantren punya kebiasaan menghapal agak banyak. Ingatan agak terlatih baik. Jadi, yang diingat jangan hanya kisah sedih atau indah. Bacaan pun harus diingat baik. Begitu tiba di tempat kos, hasil bacaan itu segera dicatatkan di buku tulis.
Di rak buku selalu tersedia buku catatan khusus. Untuk membuat khulashah atau intisari. Itu penting untuk pengayaan wawasan plus inspirasi menulis.
Pengalaman seperti ini jadi embrio belajar menulis buku. Harap diingat, memori terbaik itu catatan. Ingatan di “kepala” biasanya akan pergi seiring waktu. Kecuali, ingatan luka hati, awet! harap jangan dijadikan mummi ya. Jadi, biasakanlah membaca buku dan sumber pengetahuan lainnya disertai mencatat.
Sekarang, tentu tidak lagi membaca buku ala mahasiswa puluhan tahun silam. Kalau luang, masih sempat ke toko buku. Pun di saat bepergian. Di Yogya, dua toko buku masih menjadi langganan. Sembari terus menulis buku agar bisa dipampang, agar dibaca orang sambil mojok. Senang, bisa berbagi ilmu.
Kalau ingat “keusilan” waktu mahasiswa itu, kadang tertawa kecil sendiri. Kenapa saya lakukan, ya? Mudah-mudahan halal. Semoga Allah pun memberi permaafan. Sabda Nabi, yang artinya “Barangsiapa melangkahkan kakinya guna mencari ilmu, dia berada di jalan Allah”. Ya, cari dalil yang menenteramkan hati-lah. Kala itu, tidak ada niat lain.
Saking ingin bertambah pengetahuan baru. Jadi, cintailah buku, meski tak harus dimiliki.
Peleman, Ahad dini hari (01.35), 17 Mei 2020.