Oleh M Husnaini
Benarkah agama Islam itu yang benar? Andaikan Islam itu agama yang benar, dapat membawa kemakmuran, keamanan, perdamaian, peradaban, dan kemuliaan, mengapa umat Islam di seluruh dunia tidak mampu memimpin dunia atau menjadi khalifatullah, dan sebaliknya, justru mereka semua lemah dan kalah?
Pertanyaan-pertanyaan di atas benar-benar muncul di masa KH Ahmad Dahlan, dan sekarang juga sebenarnya masih tetap sama. Keadaan dunia Islam, secara keseluruhan, masih belum bergeser posisinya. Menurut KRH Hadjid (2013), KH Ahmad Dahlan merasa malu menghadapi pertanyaan-pertanyaan di atas. Terlebih ketika dirinya merasa sebagai tokoh Islam.
Sebab itu, KH Ahmad Dahlan mengajak umat untuk kembali kepada Al-Qur’an. Segala petunjuk hidup tersedia dalam Al-Qur’an. Syaratnya, manusia harus membaca, menghayati, dan benar-benar mengamalkan semua tuntunan Allah dalam Al-Qur’an. Bersama murid-murid dan kawan-kawannya, KH Ahmad Dahlan berusaha membumikan pesan-pesan langit itu menjadi aksi-aksi sosial yang nyata.
Sukar ditemukan ulama yang memahami Al-Qur’an sebagaimana KH Ahmad Dahlan. Tafsirnya atas surah Al-Ma’un/107, misalnya, melahirkan rumah sakit, rumah jompo, rumah miskin, panti asuhan, dan lembaga-lembaga lain untuk menolong kaum lemah.
Kajiannya yang mendalam atas surah Ali Imran/3: 104 menghasilkan persyarikatan yang kelak dikenal dengan Muhammadiyah. Padahal, saat itu, KH Ahmad Dahlan belum mengerti apa itu organisasi. Ketika salah satu muridnya mengusulkan agar dirinya mendirikan sebuah organisasi untuk dapat merawat dan melestarikan pemikiran-pemikirannya, KH Ahmad Dahlan bertanya, “Organisasi itu apa, Nak?”
Muridnya menjawab, “Organisasi itu suatu golongan manusia yang semaksud dan teratur disusun sebagai suatu badan yang sah dengan izin pemerintah Hindia Belanda, seperti Perkumpulan Budi Utomo yang sekarang sudah berdiri di Yogyakarta.”
Syuja’ (2009), murid sekaligus sahabatnya, menceritakan bahwa ketika itu KH Ahmad Dahlan terharu dengan usul muridnya tadi. “Itu baik sekali,” jawabnya, “dan saya catat dalam sanubari ini dengan tinta emas.”
Kemudian, tafsir KH Ahmad Dahlan atas surah Al-Ashr/103 juga memberikan pengaruh luar biasa. Surah yang hanya tiga ayat itu menyuntikkan spirit dahsyat kepada KH Ahmad Dahlan untuk melakukan kerja-kerja amal yang berguna bagi dirinya dan umat secara luas disertai upaya menolak segala kemudaratan yang ada.
Wasiat kesabaran dalam surah Al-Ashr malah melipatgandakan keberanian KH Ahmad Dahlan untuk membela agama Allah ini. Tiada kesedihan, apalagi ketakutan, yang dia rasakan dalam menghadapi berbagai halangan dan rintangan.
Benar bahwa dituturkan Hadjid (2013), KH Ahmad Dahlan memiliki rasa khauf yang besar kepada kematian dan hari pembalasan. Namun, meskipun KH Ahmad Dahlan cenderung asketik, Mu’arif (2012) menemukan bahwa dalam proses implementasi gagasan-gagasan pembaruannya, dia jelas seorang revolusioner hebat dan teguh pendirian.
Wahyu Tuhan dalam Al-Qur’an, bagi KH Ahmad Dahlan, bukan sekadar untuk dilafalkan dan dihafalkan, tetapi wajib diamalkan. Cara mengaji KH Ahmad Dahlan ini sangat kontekstual jika dikaitkan dengan praktik mengaji Al-Qur’an model sekarang, terutama bagi mereka yang sedang semangat-semangatnya menghafalkan atau mempromosikan program hafalan Al-Qur’an.
Tentu upaya-upaya demikian mulia dan berpahala. Sayang, di antara mereka kerap ditemukan pikiran-pikiran aneh dan bertolak belakang dengan ajaran Al-Qur’an itu sendiri. Ada orang tua, misalnya, bilang bahwa anaknya semangat sekali menghafalkan Al-Qur’an dan hadis. Membaca kedua sumber hukum Islam itu, katanya, sebentar saja langsung hafal. Tetapi, kalau pelajaran di sekolah, sang anak tidak ada minat. Malas, katanya.
Anehnya, kebiasaan anak bersangkutan justru diapresiasi oleh orang tua tersebut. Menurut orang tua yang konon juga seorang penghafal Al-Qur’an itu, tidak masalah anaknya demikian. Sebab, pelajaran di sekolah dapat dipelajari kemudian. Asalkan anak sudah memiliki banyak hafalan ayat dan hadis, kata orang tua tadi, ilmu apa saja akan mudah dipelajari.
Pikiran serupa sepertinya tidak jarang muncul dalam masyarakat kita. Pernah pula penulis dengar ada orang yang berkata dengan sinis, “Daripada waktu dipakai untuk membaca buku banyak-banyak, lebih baik dibuat membaca Al-Qur’an, dapat pahala.”
Pikiran-pikiran demikian, setidaknya menurut penulis, jelas keliru dan tidak sesuai dengan spirit ajaran Al-Qur’an dan hadis, yang memerintahkan umatnya untuk belajar. Ayat yang pertama turun kepada Rasulullah saja perintah membaca, bukan anjuran shalat atau ibadah-ibadah formal lain.
Kemudian, bagaimana dapat memahami Al-Qur’an dan hadis secara benar tanpa mau mengkaji tafsir dan syarah. Tafsir adalah keterangan ulama tentang isi Al-Qur’an, sementara syarah adalah penjelasan isi hadis. Kedua kitab tersebut jelas karya manusia, dan harus dibaca apabila kita mau mendalami maksud Al-Qur’an dan hadis.
KH Ahmad Dahlan mengajarkan cara berinteraksi dengan Al-Qur’an secara cerdas, produktif, dan fungsional, sehingga kalam-kalam Tuhan diharapkan dapat hidup dan menjadi napas serta laku kehidupan keseharian kita.
M Husnaini, Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM)