Oleh: David Sulistiawan Aditya
Dua bulan semenjak pemberlakuan belajar di rumah oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI akibat pendemi Corona, evaluasi pembelajaran online menunjukkan masalah bagi mahasiswa perguruan tinggi di beberapa wilayah. Beberapa hari lalu media di hebohkan dengan meninggalnya seorang mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Makasar karena terjatuh dari menara masjid di Sinjai karena mencari sinyal internet untuk kuliah online.
Sebelumnya beberapa media juga menyoroti masalah yang sama. Di kota yang sama, seorang mahasiswa semester dua di kabupaten Pinrang meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan mencari tempat dengan jaringan internet yang bagus untuk kuliah online. Di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, seorang mahasiswi harus mendaki gunung dan kehujanan demi kuliah online. Di Sulawesi selatan, empat mahasiswi di Enrekang harus terkena Razia oleh aparat dan perangkat desa setempat saat naik ke perbukitan untuk mencari sinyal internet untuk kuliah online.
Mereka dianggap keluyuran saat pemberlakuan peraturan untuk tetap dirumah karena pandemi. Masalah ini timbul karena keterbatasan teknologi dan jaringan internet di beberapa wilayah di Indonesia.
Pada kondisi ini, pendidik sebaiknya melihat pendidikan dari lensa keadilan social atau Social Justice. Keadilan social dalam pendidikan bisa diartikan sebagai pendistribusian sumber daya dan memperlakukan siswa secara adil sehingga siswa merasa aman dan nyaman dalam belajar baik secara fisik maupun psikis. Pengajar perlu memahami pembelajaran yang adil bagi mahasiswa. Pembelajaran yang adil belum tentu memberikan pembelajaran yang sama.
Albert Einstein memberikan ungkapan terkait keadilan dalam pendidikan “Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.” Yang artinya “Setiap orang itu pandai. Tapi jika kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka mereka akan menganggap dirinya bodoh seumur hidupnya.” Sama halnya dengan kita memperlakukan siswa, terkait dalam konteks ini, terlepas dari keunikan setiap mahasiswa, mereka memliki keterbatasan masing-masing. Sebagai pengajar kita tidak bisa memperlakukan siswa secara sama tanpa melihat kelebihan dan kekurangan setiap individu.
Mahasiswa di daerah terpencil tentu melakukan usaha yang lebih ekstra dari fisik maupun psikis dalam belajar via online di banding yang di kota dengan akses internet berlimpah. Jika hasil mereka sama, apa kita menilai mereka sama?
Untuk menghindari masalah kesenjangan dalam pembelajaran online saat ini, memberikan keadilan dalam pembelajaran bisa kita siasati dengan pemilihan teknologi (technology adoption) dan penyesuaian metode pembelajaran tanpa mengabaikan tujuan pembelajaran. Pemilihan teknologi ini mengedepankan pedoman distributional justice atau penyampaian pembelajaran, jadi setiap mahasiswa mendapat akses materi yang sama meskipun melalui cara yang berbeda.
Pemilihan teknologi sederhana bisa dilakukan dengan menganalisa teknologi yang bisa dengan mudah di akses oleh mahasiswa yang berada di wilayah dengan jaringan internet terbatas melalui teknologi komunikasi sederhana seperti email atau pesan elektronik seperti whatsapp atau telegram dengan penyesuaian kegiatan, waktu, dan evaluasi pembelajaran. Sebagai contoh pembelajaran dalam satu minggu dirancang agar siswa dapat mengakses pembelajaran satu minggu sekali dengan target harian sama dengan mahasiswa lain, Kuis online di buat dalam bentuk word file, video conference di ganti dengan video file, dan penyesuaian lain yang bisa kita lakukan untuk memberikan hak yang sama bagi setiap siswa. Dengan ini diharapkan dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi mahasiswa yang belajar ditengah pandemi.
David Sulistiawan Aditya, Dosen Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta