Tradisi Mudik Dan Pengembangan Desa Di Masa Covid

Tradisi Mudik Dan Pengembangan Desa Di Masa Covid

Oleh: Dr Mohammad Yusri Isfa, M.Si

Jika merefresh zaman old, maka penulis tekenang sepanjang ingatan, bahwa di setiap hari raya Idul Fitri akan tiba, atau bahkan sejak puasa Ramadhan dimulai, gelora kerinduan akan desa sebagai  kampung halaman itu selalu muncul. Bukan hanya itu, rindunya kepada sahabat semasa kecil, sesama permainan dan bahkan jenis permainan kala itu ketika setiap Ramadhan tiba (mercon bambu, mercon tanah, mainan miniatur mobil atau disebut motor motoran kala itu, dll) selalu terbayang.

Masa masa iktikaf di sepuluh hari terakhir, sebagai garda terdepan, untuk menjemput makanan buka puasa maupun makan sahur, bahkan mulai membangunkan keluarga iktikaf kala itu (belum ada WA), memakai kentongan bambu dan alat alat seadanya ditambah “oncor” (semacam suar penyuluh jalan) sebagai penerang. Hal ini agar keluarga yang hendak memasak menu sahur tidak terlambat bangun untuk memasak menu makanan tentunya.Semua itu membawa kesan tersendiri, muncul saat Ramadhan tiba.

Penulis yakin, sebagai anak desa pastilah suasana itu banyak dialami oleh kaum Muslimin yang kini tengah berada di perantauan. Andaikan Desa desa itu saat ini bisa bercerita mungkin suasana ditengah wabah covid ini mengalami hal yang sama dengan apa yang kita rasakan. Desa tau bahwa dampak covid 19 ini tak banyak warganya yang kembali ke desa dalam rangka mudik, atau bahkan there’s no movement (tidak ada pergerakan) warga desa diperantauan untuk mudik. Desa  rindu akan warganya yang belum bisa mudik ditengah wabah pandemik ini. Namun demikian disisi lain ada aspek-aspek penting bagi pengembangan desa ditengan pandemik Global ini. Semoga tulisan ini dapat memberi sumbangsih pemikiran bagi pengembangan Desa dalam rangka  tidak lagi gegap gempitanya mudik di Hari Raya Idulfitri 1441 H ini.

Jika meminjam terminologi Mudik Abdul Mufti (2020), maka mudik itu sesungguhnya ada empat, yakni mudik sosial, mudik kultural, mudik finansial dan mudik spritual. Semoga pak Mufti sepakat dengan penarasian pada tulisan ini sebagai berikut: Pertama, mudik Sosial dapat diartikan sebagai  pergerakan individu, keluarga dari kota ke desa dan sebaliknya. Mudik ini dilakukan secara langsung, baik dilakukan oleh pribadi-pribadi Muslim maupun keluarga secara rombongan menuju kampung halaman masing-masing. Bisa jadi kekampung orang tua suami atau sebaliknya kekampung isteri. Maka disela-sela acara keluarga, pemudik biasanya memliki option-option tertentu seperti; kunjungan kerumah keluar dekat, destinasi wisata/kuliner, permainan anak dan lain-lain

Kedua, mudik kultural, yakni mudik yg sudah menjadi budaya ummat Islam Indonesia, bahkan dunia  guna melakukan perjalanan mudik ke kampung halaman setiap hari raya tiba.  Bukan hanya di Indonesia, tetapi fenomena terakhir kita liat di beberapa Negara Asia seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, India, Saudi Arabia dan lain lain, bahkan beberapa negara Eropa seperti Turki, Inggris sudah mudik juga.

Ketiga, Mudik finansial, dimana mudik ini orangnya baik individu, keluarga tidak melakukan  mudik secara phisik, namun yang penting kiriman uang/financialnya lancar dan tentu dialamatkan ke kampung halaman buat membantu yang membutuhkan. Metodenya tentu menggunakan jasa per bank kan di masa covid. Sangat mudah, apalagi jasa perbankan sudah membuka Anjungan Tunai Mandiri (ATM) sampai ke desa. Para donasi, muzakki bisa saja mentransfer infaq, sodakoh maupun pembayaran zakatnya melalui transfer dana tunai ke desa masing-masing, tentu melalui badan amil zakat desa.

Keempat, Mudik Spritual, kira-kira gambarannya seperti ini,  mungkin selama setahun lalu kita berjalan di lorong gelap, dijalan terjal, penuh khianat, maksiat, khilaf dan dosa, saatnya usai Ramadhan 1441 H dan 11 bulan kedepan kita mudik ke jalan yang diridhoi Nya, sehingga Insyaa  Allah kita menjadi insan  Muttaqin. Maka mudik spritual ini merupakan pertaubatan diri atas kesalahan-kesalahan masa lalu, dan berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi akan perbuatan-perbuatan dosa.

Maka dari keempat terminologi mudik itu, tentu mudik sosial, mudik kultural dan mudik finansial itu yang memiliki irisan dengan upaya bagaimana kohesifitas perantau dengan masing-masing desanya semakin  mesra, semakin intens disaat idulfitri. Sekalipun dilaksanakan setahun sekali maka manfaat mudik bagi pengembangan desa merupakan keniscayaan. Sebagaimana Todaro, 2016 bahwa pengembangan merupakan menambah, memperbaiki dan adanya peluang-peluan ekonomi. Mari kita terjemahkan peluang-peluang ekonomi pengembangan desa melalui beberapa data terakhir dibawah ini.

Menurut data BPS, 2018, setidaknya ada 83.931 desa di Indonesia, saat ini mengalami  new riality  atau kondisi riel terbaru ditengah pandemik global. Suasana itu adalah  adanya kebijakan Pemerintah terkait  Social distancing dan physical distancing dalam rangka upaya memutus mata rantai covid 19. Memutus mata rantai covid19 ini tentunya berdampak pada penyesuaian mudik  lebaran tahun 1441 H/2020 ini.

Kebijakan ini memang sungguh berat hati dilakukan oleh Pemerintah, namun saat ini sepertinya bukan uang yang jadi persoalan, tetapi bagaimana dalam kondisi tertentu wabah ini bisa segera berakhir dan kedepannya bisa sebagai peluang ataupun kekuatan rakyat setelah mengalami ujian berat.

Ada Yang Hilang

 Ada banyak yang hilang ketika desa desa tidak menjadi tuan rumah peristiwa kolosal idul fitri 1441 H ini. Kehilangan ini kita harapkan hanya bersifat temporal, tidak permmanen dan dapat segera normal kembali. Ada beberapa kehilangan peluang yang dimiliki desa dalam menyambut Idul Fitri ini sehubungan covid 19, diantarnya;

Pertama, Hijrah Finansial, di mana perpindahan  finansial desa yang seyogiyanya dibawa pulang oleh perantau dari kota. Dikutip dari laman http//m.cnnindonesia.com, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal memperkirakan potensi pendapatan bisnis dari sektor transportasi angkutan umum, jasa perjalanan, hingga perhotelan akan hilang sekitar Rp9,6 triliun sampai Rp 48 triliun. Estimasi ini di dapat dari rata-rata pengeluaran 32 juta pemudik di masa pulang kampung. Suatu jumlah yang pantastis yang bisa menggerakkan perekonomian desa tentunya.

Mereka rata rata akan menghabiskan 1 (satu) sampai 5 (lima) juta perorang untuk kebutuhan transportasi selama kegiatan mudik.Transportasi dimaksud termasuk bisnis transportasi lokal di masing masing daerah yang mengantar para pemudik hingga ke Desa. Bisnis transportasi di Desa juga melibatkan orang-orang desa, pekerja desa, anak-anak muda desa yang mestinya mereka panen setiap Idulfitri tiba. Kini mereka harus menelan pil pahit tersebut, yang tentu merupakan bagian dari pemasukan komunitas transportasi desa se tahun se kali seperti RBT, ojek beca dan lain lain. Bayangkan saja 40% (empat puluh persen) sektor yang bersinggungan langsung dengan kegiatan mudik menjadi hilang.

Kedua, Destinasi Wisata Desa, bahwa masa Idulfitri, desa desa yang memiliki destinasi wisata akan kehilangan tamu, pengunjung. Orang-orang kota yang sudah lama menetap dikota pastilah merindukan bagaimana indahnya suasana wisata desa itu ketika mudik. Potensi kehilangan pendapatan untuk bisnis wisata desa seperti;  hiburan, restoran/kuliner desa, hingga oleh-oleh. Kehilangan sektor ini sekitar Rp 22,4 triliun sampai Rp112 triliun atau sekitar 70 persen dari pengeluaran pemudik. Ini merupakan pengeluaran atau belanja  pemudik yang menjadi sumber pemasukan langsung bagi usaha di daerah/desa ketika momen mudik. Pemudik biasanya tidak sungkan mengalokasikan uang yang besar selama upacara kolosal idulfitri. Misalnya wisata pantai, danau, sungai, hutan lindung dan desa wisata/agrowisata dimana saat ini menjadi icon di banyak desa di Indonesia.

Ketiga, Konsumsi Rumah Tangga, bahwa setiap Idul Fitri tiba akan membawa dampak konsumsi rumah tangga di Desa meningkat tajam. hal ini disebabkan meningkatnya populasi penduduk dadakan ini. Konsumsi rumah tangga tentu sangat berpengaruh akan perekonomian desa, mengingat faktor produksi di desa seperti produksi daging, sayur mayur dan buah bahan akan meningkat tajam oleh karena meningkatnya permintaan. Analisis diskriptif bahawa setiap orang akan menghabiskan konsumsi Rumah Tangga antara 500.000 (lima ratus ribu) rupiah sampai satu juta rupiah selama mudik.

Keempat, Kohesivitas Sosial, secara sosiologis maka momentum Idul Fitri dimasa normal tentunya akan meningkatkan nilai kohesifitas (merekatkan) sesama keluarga, handai tolan. Sudah menjadi tradisi ummat Islam, apapun mazhabnya, apapun manhajnya, bahwa suasana perayaan idulfitri yang diikuti libur/cuti bersama merupakan momentum untuk bersalam salaman, saling memaafkan diantara sesama, saling mengunjungi antara rumah yang satu ke rumah lainnya. Namun dalam suasana kebijakan social distancing (pembatasan jarak sosial) dan physical distancing (pembatasan jarak tubuh) suasana kohesifitas (merekatkan) hubungan silaturrahmi di Desa saat pandemik ini tentu berjalan tidak normal. Begitu juga dalam suasana covid ini akan menurunkan nilai nilai kohesifitas antara individu, keluarga dan masyarakat desa.

Tradisi Baru

Banyak yang mengira-ngira, khawatir adakah tradisi pasca covid mencari jalan baru ataukah akan kembali ke tradisi lama. Mungkinkah pandemik global ini akan menghapus tata cara, kebiasaan, cultur yang sudah lama melekat di bumi Indonesia secara terstruktur dan masif ini. Wollohu A’lam. Namun sebagai manusia yang diberi akal tentu berupaya mencari jalan keluar (ikhtiar), bilamana covid ini memakan durasi yang cukup lama. Bahkan secara sadar atau tidak sadar sekalipun banyak yang hilang pada masa mudik ini, tetapi banyak hal keuntungan yang diperoleh pedesaan dengan adanya pandemik global ini.

Pertama, pola konsumsi masyarakat baik desa maupun di kota akan mendapat pola baru dalam mengkonsumsi makanan. Pola makan orang desa yang biasa memasak makanannya sendiri dirumah akan menjadi rujukan oleh masyarakat. Terlebih memakan makanan yang dimakan sendiri merupakan sebuah jaminan akan higienis maupun ke halalannya.

Sebuah penelitian baru yang dimuat South China Morning Post, bahwa kini masyarakat Asia lebih senang takeway atau makan dirumah ketimbang makan di restoran atau warung-warung. Bahkan tradisi ini akan berubah menjadi permannen walaupun dunia tak lagi terdampak dengan penyebaran virus corona baru. Survei yang dilakukan di Cina, Vietnam, Jepang dan Malaysia itu tidak dapat ditampik bahwa perubahan permanen akan terjadi pada pola konsumen. Apa yang bisa diambil atau dipetik dari hasil penelitian ini terutama dengan cultur masyarakat desa?.

  1. Tradisi desa yang hampir pudar selama ini oleh karena arus globalisasi, sesungguhnya hampir menggeser keaslian pola konsumsi masyarakat desa itu sendiri, mulai suka makan di warung, gerai, namun kini sepertinya akan setback dimana pola asli yang selama ini akan muncul keasliannya dengan memakan makanan sendiri dan dikonsumsi dirumah masing-masing.

Kedua, dari persepektif sosiologis pemanfaatan waktu yang efisien, tidak mubazir. Selama covid banyak masyarakat yang cenderung memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Sedikit orang yang menghamburkan waktu hanya sekedar untuk keluar rumah sekalipun. Kecuali dalam kondisi mendesak. Hal ini tentu akan mengurangi gesekan-gesekan dalam masyarakat. Kadang-kadang gesekan yang terjadi dalam masyarakat cenderung destruktif, kenakalan remaja dan lain-lain penyakit sosial dan tidak terlepas di desa sekalipun. Kita berharap bahwa pasca pandemik ini kedepannya juga akan menumbuh kembangkan pola interaksi dalam masyarakat.

Ketiga, More Than Policy, terminologi ini tentu sangat beralasan. Pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Pemda) selaku pemangku kebijakan pembangunan dan pengembangan pedesaan sesuai kewenangan yang ada dalam momentum Covid ini banyak menggelontorkan kebijakan terkait penguatan desa. Diantara kebijakan kebijakan itu antara lain dengan dikeluarkannya surat edaran nomor 8/2020. Mentri Desa Pembangunan Daerah Tertingggal dan Transmigrasi yang berkenaan pembentukan relawan desa dalam memutus mata rantai covid 19. Kemudian adanya program Padat Karya Tunai Desa (PKTD) yang menyasar keluarga miskin, penganggur, setengah penganggur dan kelompok marginal lainnya. Adanya upah kepada PKTD yang lebih tinggi dari komponen bahan. Selanjutnya kebijakan terkhir Mentri Desa PDTT adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebessar Rp.600.000 (enam ratus ribu) rupiah selam 3 bulan per keluarga.

Kebijakan-kebijakan ini merupakan peluang bagi merekonstruksi membangun desa pada masa pasa covid 19. Terlebih juga sebagaimana Todaro, 2000,” bahwa masalah sosial sesungguhnya ada di pedesaan”, disamping 80% wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesa itu sesungguhnya ada di desa. Oleh karenanya wajar bila Pemerintah Pusat, maupun Pemerintah Daerah memberikan kebijakan yang lebih bagi desa baik dalam keadaan Normal, terlebih masa covid.

Keempat, Kecerdasan Digital Desa, terminologi litersai ini, tetntu memiliki alasan. Sekalipun diskriptif, lihatlah suasana desa dan masyarakat desa dalam penggunaan Teknologi informasi (IT). Selama ini penggunaan media-media online cenderung dimanfaatkan kaum milenial dan institusi/kelembagaan-kelembagaan desa saja. Boleh juga hanya menyasar kelompok muda usia. Namun kecenderungan ini sudah mulai bergesar kepada pengguna kelompok 50 tahun keatas. Mereka dipaksa untuk akrab dengan penggunaan media onlin, belanja online, jualan online, membaca online, dakwah online. Seakan kini sudah demam penggunaannya di desa.

Kecerdasan digital desa ini diyakini akan menjadi cultur dan cara hidup baru pada masa-masa yang akan datang. Ini juga diyakini akan ada dampak-dampak ikutan lain  akibat adanya kecerdasan digital desa, seperti pola interaksi sesama warga desa yang semaikin efektif, pola pencerahan da’wah literasi media (semakin mudah untuk mengakses pilihan-pilihan juru dakwah) dan lain-lain. Kemungkinan pola ini akan menjadi pilihan warga desa, tidak buang waktu, memperhitungkan biaya dalam hal ini biaya internet sebagai pengganti biaya mobilitas lain.

Bahwa dalam suasana pandemik global, suasana mudik Idulfitri 1441 H memberi spirit bahwa ada kultur, cara pandang dan kebiasaan yang sudah terbangun selama ini begeser dari yang bersifat direct (langsung) kepada hal-hal yang bersifat indirect (tidak langsung). Ada banyak peluang-peluang bagi pengembangan desa seperti, transportasi, kunjungan wisata, pola konsumsi yang dapat sebagai penggerak ekonomi didesa, buat sementara waktu tidak terujud. Namun disisi lain ada pola-pola baru yang muncul yang diperkirakan menjadi permanen di pedesaan yang justeru menjadi peluang bagi menyemerakkan pembangunan dan pengembangan pedesaan.

Semoga tulisan ini bermanfaat, khusunya bagi penulis, khususnya dan bagi rekan-rekan yang konsen dalam pengembangan desa, apakah akademisi, praktisi, birokrasi, mahasiswa dan Non Government Orgazation (NGO) lannya.

Dr Mohammad Yusri Isfa, M.Si, Ketua LPCR PWM Sumatera Utara Dan Ketua Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Strategis UMSU

Exit mobile version