Ngaji Bareng Kiai Dahlan (5): Nafsu Cinta Harta dan Ketulusan Beragama

Oleh M Husnaini

KH Ahmad Dahlan terguncang hatinya. Siang dan malam dia merenung, hingga bertanya kepada setiap orang yang ditemui dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut, antara lain:

“Apakah engkau berani membuang kebiasaan mencintai harta benda? Beranikah engkau menjalankan agama Islam dengan sesungguh-sungguhnya, dengan menyerahkan harta bendamu, dirimu, di bawah perintah Allah? Beranikah engkau mengorbankan harta bendamu di jalan Allah? Apakah engkau tidak akan takut siksa Allah di hari kiamat? Apakah tidak engkau pikirkan akibat yang akan menimpa dirimu?”

KRH Hadjid (2013), muridnya yang termuda, mencatat peristiwa itu terjadi kira-kira pada 1921. Hadjid, sebagaimana juga murid-murid lain ketika itu, sampai merasa malu dan segan bertemu KH Ahmad Dahlan. Mereka merasa belum Muslim, kendati telah mengucapkan dua kalimah syahadat dan mendirikan shalat wajib lima waktu.

Ya, surah Al-Fajr/89: 17-23 memang termasuk kelompok ayat yang menjotos kemanusiaan KH Ahmad Dahlan. Lebih jelasnya, baiklah kita kutip di bawah ini terjemahan ayat dimaksud:

“Sekali-kali tidak (demikian), bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim. Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. Sedangkan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram). Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi diguncangkan secara berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris. Pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam, dan pada hari itu manusia tersadar, tetapi tidak berguna lagi kesadarannya.”

Bagi KH Ahmad Dahlan, ayat-ayat yang bercerita tentang tanggung jawab kelak di hari akhirat semacam itu sangat mengerikan. Perlu diulang lagi, di sinilah keistimewaan KH Ahmad Dahlan. Selain cerdas, sebagaimana umumnya ulama, rupanya dia memiliki ketakutan luar biasa terhadap hari kiamat dan perhitungan amal setelahnya.

“Apakah dengan shalat dan syahadat yang ada padaku ini belum juga diakui sebagai orang yang menjalankan Islam, Kiai?” tanya Hadjid suatu ketika. KH Ahmad Dahlan menjawab, “Cobalah kamu pikirkan dengan sungguh-sungguh surah Al-Ma’un.”

Surah Al-Ma’un yang terdiri dari 1-7 ayat itu telah menggemparkan masyarakat, terutama di Kauman Yogyakarta, ketika ditafsirkan KH Ahmad Dahlan. Belum ditemukan ulama yang menafsirkan surah Al-Ma’un sebagaimana penafsiran KH Ahmad Dahlan.

KH Ahmad Dahlan menekankah supaya surah Al-Ma’un dipikirkan dengan sungguh-sungguh, dan perlu dimusyawarahkan bersama tentang bagaimana melaksanakan perintahnya. Juga, apa rintangan-rintangan yang menghalangi pelaksanaan surah ini?

Predikat pendusta agama dalam surah Al-Ma’un, menurut KH Ahmad Dahlan, tidak boleh dipandang main-main. Apalagi itu diberikan langsung oleh Allah. Pendusta agama, dalam istilah yang lebih popular kini mungkin beragama tetapi hoaks belaka.

Karena itu, KH Ahmad Dahlan menyampaikan tafsir surah Al-Ma’un berulang-ulang selama beberapa hari hingga murid bernama Syuja’ protes. KH Ahmad Dahlan lantas bertanya, apakah sudah benar-benar mengerti maksud surah itu. Seluruh murid menjawab bahwa mereka bukan saja mengerti, melainkan sudah hafal di luar kepala dan juga sudah mengamalkan dengan sering membacanya dalam shalat.

Ternyata bukan itu yang dimaksud mengamalkan. KH Ahmad Dahlan lantas perintahkan murid-muridnya mencari orang miskin dan anak yatim di sekitar rumah masing-masing untuk kemudian dibawa pulang dan dicukupi segala kebutuhan mereka. Dari situlah lahir rumah miskin, panti asuhan yatim piatu, rumah orang telantar, rumah sakit, dan sebagainya di kemudian hari.

Melakukan ibadah formal secara istikamah memang susah. Tetapi, lebih susah dari sekadar itu adalah membuktikan bahwa rutinitas ibadah itu benar-benar terbukti dalam akhlak sehari-hari. Mungkin banyak dari kita yang sudah giat beribadah formal, mulai yang wajib hingga yang sunah. Namun, perilaku sehari-hari ternyata belum beranjak. Tidak ada beda, atau kadang justru lebih buruk, dibanding mereka yang kerap dianggap kurang rutin ibadah formalnya.

Praktik keberagamaan faktual sebagai bukti pembacaan dan pendalaman Al-Qur’an itulah yang ditekankan KH Ahmad Dahlan. Jangan beragama sekadar sebagai hiasan, apalagi cuma bohong-bohongan. Beragama serupa itu, jangankan beroleh rida dan surga, salah-salah akan menjerumuskan pelakunya sebagai pendusta agama dan berujung neraka.

M Husnaini, Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM)

Exit mobile version