Dinamika Cabang Ranting Menyambut Idulfitri di Masa Covid-19 (Bagian 2)

Dinamika Cabang Ranting Menyambut Idulfitri di Masa Covid-19 (Bagian 2)

Oleh: Muhammad Jamaludin Ahmad, Wakil Ketua  Lembaga Pengembangan Cabang & Ranting  PP Muhammadiyah

Alhamdulillah satu persatu Ranting dan Cabang yang awalnya ragu ragu dan bimbang bahkan menolak untuk melaksanakan keputusan PP Muhammadiyah, atas upaya komunikasi oleh PP Muhammadiyah PWM, PDM dan PCM dengan seluruh majelis dan ortomya akhirnya memahami dan berketetapan akan melaksanakan keputusan PP tentang tuntunan idul fitri pada saat darurat pandemi.

Bagi Cabang yang sejak awal merespon positif edaran/keputusan PP Muhammadiyah saya yakin insya Allah kemampuan membina jamaah dan leadership akan semakin solid. Cabang Cabang yang sejak awal merespon positif sejak awal antara lain : PCM Prambanan, PCM Piyungan, PCM Imogiri, PCM Cileungsi, Leuwiliang dan Pamijahan Bogor, PCM Babat Lamongan, PCM GKB Gresik, PCM Ilir Timur Palembang, PCM Kinali Sumbar, PCM Sunggal Medan, PCM Ajibarang, PCM Sruweng & Gombong Kebumen dan juga hampir seluruh Cabang di DIY, Jateng, Jatim, Sumut, Sulsel dan lain sebagainya

Sedangkan Ranting yang merespon positif sejak awal adalah seluruh PRM yang masuk kategori Unggulan nasional seperti Gunung Pring Muntilan, Wage Sepanjang Sidoharjo, Nitikan Kota Yogya, Nogotirto Gamping Sleman, Pandowan Kulonprogro, Karang Tawang Wangon Banyumas dan lainnya.

Cabang dan Ranting yang cepat merespon dan melaksanakan keputusan PP ini akan semakin maju karena energinya tidak dihabiskan untuk berdebat dan bersitegang mempermasalahkan Fatwa Majelis Tarjih  dan Keputusan PP Muhammadiyah namun dapat digunakan untuk program dan kegiatan yang lebih strategis dan mendatangkan manfaat untuk ummat.

Cabang dan Ranting ini sudah mempersiapkan program ketahanan pangan/lumbung pangan dan segala program jangka panjang untuk mengatasi dampak pandemi covid 19 yang akan berlangsung panjang. Para pimpinan Cabang dan Ranting Unggulan ini paham akan adanya pembagian tugas dan kewengan. Untuk urusan yang menyangkut Fatwa dan perkara strategis Nasional menjadi tugas dan tanggung jawabnya Pimpinan yang lebih tinggi seperti Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Mereka para pimpinan di Cabang dan Ranting Unggulan ini juga memahami bedanya program dan kegiatan. Mereka membuat program yang benar benar berangkat dari problem yang dihadapi Cabang dan Ranting, problem yang dihadapi warga persarikatan dan problem yang dihadapi masyarakat. Mereka tidak akan melakukan kegiatan yang sifatnya copas dari kepengurusan sebelumnya tapi mereka membuat kegiatan yang berangkat dari program yang bertujuan untuk mencerahkan, memberdayakan dan menjadi solusi bagi warga muhammadiyah dan ummat.

Bagaimana dinamika persyarikatan di daerah yang pimpinannya  menyelisihi dan tidak melaksanakan keputusan PP Muhammadiyah tentang ibadah idul fitri saat darurat pendemi?

Ada aktifis Muhammadiyah yang tinggal di salah satu Cabang di PDM kota X dekat ibu kota Jakarta yang menelpon saya,bahwa di Cabang dan Ranting yang beliau aktif sudah sepakat untuk  taat dan melaksanakan edaran/keputusan PP Muhammadiyah. Namun kesepakatan tersebut menjadi goyah karena PDM di kotanya malah menyelisihi keputusan PP Muhammadiyah dan akan menyelenggarakan sholat idul fitri di halaman komplek PDM.

Mendengar keluhan aktifis ini saya jadi tertegun dan sedih. Dalam konteks sistem organisasi dan ikatan jamaah, kalau hal ini benar benar terjadi maka apa yang dilakukan oleh tingkat kepemimpinan yang lebih tinggi yang memberi contoh menyelisihi dan “membangkang” fatwa dan keputusan PP telah menjadi preseden buruk bagi keutuhan dan ketaatan terhadap Keputusan Persyarikatan Muhammadiyah.

Kepemimpinan yang seperti ini secara tidak disadari telah memberi contoh buruk sekaligus mengajari dan “menyuruh” pimpinan di PCM dan PRM untuk membangkang juga bila suatu saat ada keputusan PDM yang berbeda dengan pendapat PCM dan PRM. Persyarikatan Muhammadiyah akan hancur berantakan bila kebiasaan dan presedent buruk ini terjadi dan dibiarkan. Para pimpinan persyarikatan sudah seharusnya menyadari resiko dan konsekuensinya bila bermuhammadiyah apalagi bila jadi pimpinan di Muhammadiyah.

Ketika kita memilih dan bersedia berMuhammadiyah atau bersedia menjadi Muhammadiyah berarti kita rela dan mengikhlaskan diri kita untuk menyingkirkan ego kita untuk kepentingan yang lebih  tinggi yaitu kepentingan persyarikatan Muhammadiyah. Oleh karena itu tidak ada paksaan untuk berMuhammadiyah dan menjadi Muhammadiyah. Namun ketika sudah mau berMuhammadiyah  maka kita harus siap dengan segala resiko dan konsekuensinya, suka dukanya termasuk harus mengalahkan ego kita ketika perbedaan pendapat terjadi dan menerima dengan lapang dada ketika sudah menjadi fatwa dan keputusan PP Muhammadiyah.

BerMuhammadiyah memang berat karena kita mengikhlaskan diri dalam manhaj yang dipilih Muhammadiyah, mengikhlaskan diri dalam bingkai jamaah dan jam’iyah Muhammadiyah,  mengikhlaskan diri untuk berharakah dan bersyarikat dalam muhammadiyah, harus menyelupkan diri dalam (Quran dan Sunnah  sesuai) paham agama dalam Muhammadiyah, harus paham dan mengerti Muqaddimah Anggaran Dasar, Matan Keyakinan dan cita cita hidup Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Khitah perjuangan, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Qaidah, dan pedoman organisasi dan seterusnya.

Salah satu alasan penting mengapa Muhammadiyah memutuskan untuk tidak menyelenggarakan shalat idulfitri saat darurat pandemi ini adalah nilai “mencegah terjadinya bahaya itu lebih baik dari pada baru sadar bahaya ketika bahaya sudah terjadi”. Harga satu jiwa atau satu nyawa sangat berharga dalam Islam. Kita yang ada di indonesia bisa belajar pada Dewan ulama Australia yang memutuskan shalat idul fitri di laksanakan di rumah rumah kaum muslim dengan alasan utamanya adalah KESELAMATAN JIWA MANUSIA. Pada hal situasi di Australia saat ini kurva nya sudah turun dan sudah melonggarkan pembatasan sosial. Doktor Haidar Fitra Siagian melalui https://catatanhaidirfitrasiagian.blogspot.com/2020/05/salat-id-dan-harga-nyawa-manusia.html?m= menginformasikan kepada kita tentang ” SHALAT ‘ID DAN HARGA NYAWA MANUSIA”  bahwa meskipun sudah ada pelonggaran pembatasan sosial terkait dengan upaya pencegahan Covid-19 oleh pemerintah Australia, akan tetapi dengan pertimbangan keselamatan jiwa manusia, Dewan Ulama Australia menetapkan tidak ada shalat Idul Fitri baik di masjid atau lapangan. Semua diarahkan shalat di rumah.

Kita yang di Indonesia berbuat sebaliknya. Ketika kasus yang terpapar dan positif covid sedang meningkat malah melakukan pelonggaran pembatasan sehingga membiarkan kerumunan terjadi dimana mana. Harga nyawa menjadi murah sekali dan kematian rakyat yang lebih dari seribu jiwa seakan akan hal yang biasa. Dalam hal ini Muhammadiyah harus berjuang agar jangan sampai satu nyawa mati sia-sia karena kecerobohan pemerintah dan kita semua. (28 Ramadhan 1441 H)

Exit mobile version