YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Pimpinan Pusat Muhammadiyah berdasarkan hasil hisab yang dilakukan Majelis Tarjih dan Tajdid telah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H jatuh pada hari Ahad 24 Mei 2020.
PP Muhammadiyah setelah mengkaji kondisi Indonesia belum menunjukkan penurunan penularan wabah Covid-19 sehingga situasi dipandang masih tidak aman untuk berkumpul orang banyak, maka shalat Idulfitri di lapangan sebaiknya ditiadakan atau tidak dilaksanakan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, hal itu untuk memutus rantai mudarat persebaran virus Corona tersebut agar kita cepat terbebas daripadanya dan dalam rangka sadduẓ-ẓarīʻah (tindakan preventif) guna menghindarkan kita jatuh ke dalam kebinasaan seperti diperingatkan dalam Al-Quran (QS Al-Baqarah/2: 195) dan demi menghindari mudarat seperti ditegaskan dalam sabda Nabi saw, dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah saw bersabda yang artinya: Tidak ada kemudaratan kepada diri sendiri dan tidak ada kemudaratan kepada orang lain [HR Mālik dan Aḥmad].
“Karena tidak dapat dilaksanakan secara normal di lapangan sebagaimana mestinya, lantaran kondisi lingkungan belum dinyatakan oleh pihak berwenang bersih (clear) dari covid-19 dan aman untuk berkumpul banyak orang, maka salat Id bagi yang menghendaki dapat dilakukan di rumah masing-masing bersama anggota keluarga dengan cara yang sama seperti salat Id di lapangan,” jelas Haedar pada Jum’at (22/5).
Haedar juga mengatakan, dalam melaksanakan ajaran agama dasarnya adalah kadar kemampuan mukallaf untuk mengerjakan. Hal itu karena Allah tidak membebani hamba-Nya, kecuali sejauh kadar kemampuannya [QS Al-Baqarah/2: 286 dan Surat At-Talaq/65: 7] dan apabila diperintahkan melakukan suatu kewajiban agama, maka kerjakan sesuai kemampuan (bertakwa sesuai kemampuan) [QS At-Tagabun/64: 16 dan hadis Nabi].
“Bagi warga muslim yang mengalami kesulitan untuk menyelenggarakan shalat idul fitri berjamaah di rumah, maka tidak perlu memaksakan diri menunaikannya,” jelas Haedar.
Sebab tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena salat Id adalah ibadah sunah. Allah berfirman dalam Al-Quran yang artinya “Allah tidak membebani seseorang melainkan sejauh yang mampu dilakukannya [QS Al-Baqarah/2: 282] maupun hadis Nabi dari Abū Hurairah, yang artinya “….dan jika aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, kerjakanlah sejauh kemampuanmu [muttafaq ‘alaih).
Dengan meniadakan salat Id di lapangan maupun di masjid karena adanya ancaman Covid-19 tidaklah berarti mengurang-ngurangi agama. Ketika dibolehkan salat Id di rumah bagi yang menghendakinya, pertimbangannya adalah melaksanakannya dengan cara lain yang tidak biasa, yaitu dilaksanakan di rumah, karena dituntut oleh keadaan di satu sisi, dan di sisi lain dalam rangka mengamalkan bagian lain dari petunjuk agama itu sendiri, yaitu agar kita selalu memperhatikan riʻāyat al-maṣāliḥ, perwujudan kemaslahatan manusia, berupa perlindungan diri, agama, akal, keluarga, dan harta benda dan menjaga agar kita tidak menimbulkan mudarat kepada diri kita dan kepada orang lain.
“Bahkan sebaliknya, tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena salat Id adalah ibadah sunah,” tegas Haedar.
Dalam pandangan Islam, perlidungan diri (jiwa dan raga) sangat penting sebagaimana Allah menegaskan dalam Al-Quran, yang artinya “Barangsiapa mempertahankan hidup satu manusia, seolah ia memberi hidup kepada semua manusia” [QS Al-Maidah/5: 32]. Menghindari berkumpul dalam jumlah banyak berarti kita berupaya memutus rantai pandemi Covid-19 dan berarti pula kita berupaya menghindarkan orang banyak dari paparan virus korona yang sangat mengancam jiwa ini.
Haedar juga mengimbau agar kaum muslim yang berkemampuan hendaknya menunaikan zakat fitrah sebelum masuk 1 Syawwal selain Zakat, Infaq, dan shadaqah. Perbanyak takbir, tahmid, tasbih, dan berdzikir kepada Allah. Seraya memupuk kasih sayang, kelekatan, dan kegembiraan dalam merayakan idul fitri di keluarga.
“Melalui media teknologi informasi, telepon, dan media sosial dapat dikembangkan silaturahmi dengan saudara dan handai tolan sehingga terjalin erat persaudaraan, kebersamaan, dan keakraban antarsesama. Kembangkan saling memaafkan dan semangat untuk peningkatan amal shaleh demi kemajuan hidup muslim dalam menebar misi rahmatan lil-‘alamin,” jelasnya.
Hendaknya sesama setiap muslim maupun warga masyarakat saling memupuk persaudaraan, kebersamaan, dan toleransi dalam melaksanakan agama dan hidup berbangsa. Seraya menjauhi silang sengketa, saling menyalahkan, dan pertentangan lebih-lebih ketika kita tengah menghadapi musibah Covid-19 saat ini.
Haedar juga meminta kepada anggota dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dan lingkungan agar menaati dan melaksanakan Surat Edaran dan Maklumat yang telah dikeluarkan berkaitan dengan Tuntunan Ibadah dalam situasi darurat Covid-19 sebagai wujud berorganisasi dalam satu barisan yang kokoh (QS Ash-Shaff/61: 4).
“Semoga Allah mengeluarkan kita dari musibah serta melindungi umat Islam dan bangsa Indonesia dari segala bahaya ini dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya,” tutup Haedar. (ppmuh)