Oleh M Husnaini
Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) di Malaysia masih berlangsung hingga 9 Juni 2020. Kita berdoa, semoga setelah 84 hari sejak 18 Maret 2020 “disekap” di rumah, kita diperbolehkan kembali beraktivitas, kendati tentu tidak begitu leluasa seperti sebelumnya.
Selama PKP, kerajaan mengawal kebijakan secara ketat. Polisi di mana-mana, siap mendenda RM 1000 (Rp 3 juta), bahkan menangkap, siapa saja yang masih berkeliaran di luar rumah tanpa keperluan mendesak. Tidak pakai masker didenda RM 200 (Rp 600 ribu).
Tentu tidak ringan menjalani PKP secara nasional. Beban paling berat ditanggung oleh siapa saja yang bekerja dengan upah harian. Bagi mereka, PKP memutus mata pencaharian. Pemasukan putus, kebutuhan jalan terus. Tiada yang dilakukan selain doa dan harap.
Mahasiswa Indonesia di Malaysia, terutama yang non-beasiswa, juga menerima beban berat. Pendapatan yang biasa diterima dari bekerja sambilan dengan mengajar atau lainnya sekarang terputus, sementara SPP kuliah dan biaya hidup sehari-hari tidak boleh ditunda.
Saya bersyukur Allah masih memberikan kecukupan. Lebih dari itu, hampir setahun, istri dan anak-anak menemani saya belajar di Negeri Jiran ini. Minimal, di masa-masa sulit begini, hati saya lebih tenang. Pikiran akan lebih berat jika istri dan anak-anak tidak ada di sisi.
Saya terus mengajak istri dan anak-anak bersyukur. PKP jelas ujian bagi semua. Memperbanyak keluhan tidak pernah menyelesaikan persoalan. Marah-marah di medsos, termasuk di grup-grup WhatsApp, juga tiada guna, kecuali hanya membongkar siapa kita sebenarnya.
Semasa PKP, pemerintah meniadakan jamaah di masjid. Jumatan juga tidak lagi diperkenankan. Kami manfaatkan untuk jamaah shalat lima waktu di rumah. Kesempatan begini jarang terjadi di hari-hari biasa. Saya dan istri juga bisa membenahi gerakan shalat putra kami yang kecil.
Saat-saat untuk bercengkerama juga lebih leluasa. Di hari-hari biasa, istri lebih banyak di tempat kerja, anak-anak di sekolah, saya sendiri di kampus. PKP membuat kami setiap hari di rumah. Kebutuhan apa saja di luar rumah, termasuk belanja kebutuhan, sekarang menjadi tugas saya.
Saya mulai belajar mengenali nama-nama bumbu dapur. Urusan begini, sebelum PKP, tanggung jawab istri, dan saya terima beres. Kini, saya yang pergi ke pasar membeli setiap kebutuhan dapur. Tentu dengan bekal catatan dari istri tentang bahan masak apa yang harus dibeli.
Pun PKP saya gunakan untuk banyak membaca. Beberapa koleksi buku yang belum sempat terbaca, kini sudah saya khatamkan. Saya juga berhasil mengumpulkan tulisan-tulisan saya yang berserak di internet sejak tahun 2018. Semua sudah saya satukan dalam file di laptop.
Dari kumpulan tulisan tadi, beberapa sedang saya poles menjadi naskah buku. Sebelum Ramadan sudah ada naskah yang siap terbit. Tahun 2019 kemarin, hanya satu buku saya yang terbit. Semoga tahun 2020 ini lebih produkif. Tekad saya adalah minimal “satu tahun satu buku”.
Saya paham, PKP ini berat. Yang penting, jangan kalah oleh keadaan. Ketika pikiran galau, sumpek, apalagi putus asa, mulai tiba, yakinlah bahwa di luar sana masih banyak yang lebih susah dari kita. Bersyukur itu nikmat sedikit dirasa banyak, memberi lebih dirasa kurang.
Corona, kata para ahli, adalah virus baru dengan daya tular yang begitu cepat dan mematikan. Melawannya perlu kerja sama kompak semua pihak. Mengkritik pemerintah harus disertai solusi dari kita. Mengkritik saja, namun kita tidak menjadi bagian dari pencegahan adalah sia-sia.
Kalau sementara tidak boleh berkerumun, termasuk shalat jamaah di masjid, mari kita patuhi. Toh, hanya sementara. Jangan sampai tidak dianjurkan ke masjid semasa wabah saja heboh dan marah-marah, sementara sekian lama masjid dibuka, kita tidak nongol juga. Jangan gitu, ah!
M Husnaini, Mahasiswa Doktoral di International Islamic University Malaysia (IIUM)