YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Idul Fitri merupakan hari kemenangan yang sangat penting bagi setiap muslim. Setelah menunaikan puasa dan rangkaian ibadah Ramadhan lainnya selama satu bulan penuh, seluruh umat muslim merayakannya melalui momen idul fitri dengan penuh suka cita.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan, semangat yang terkandung dalam idul fitri adalah semangat untuk saling memaafkan. Sedangkan makna idul fitri yang sebenarnya ialah hari berbuka bagi kaum muslimin. “Setelah berpuasa satu bulan lamanya, umat muslim diperbolehkan untuk berbuka, menikmati kegembiraan dan kebahagiaan,” jelasnya.
Idul fitri juga memiliki makna kembali kepada fitrah yaitu untuk senantiasa selalu bertuhan, beriman, beragama, dan bertakwa. Benih fitrah sejatinya sudah ada pada diri setiap manusia. Hanya saja ada sebagian manusia yang melalaikan dan mengabaikan serta menentang fitrahnya. “Hal ini terjadi karena ia tidak memelihara dan merawat fitrah yang ada di dalam dirinya. Tidak ada pedoman kitab suci dan wahyu yang dibawa oleh Rasulullah untuk membimbing fitrah tersebut,” ungkap Haedar.
“Sudah saatnya di bulan Syawal ini kaum muslimin kembali ke fitrah yaitu dengan menjadikan diri kita lebih bersih lahir dan batin, lebih murni dalam berkata dan bertindak,” himbaunya.
Haedar menambahkan, di tengah musibah yang sedang terjadi dan terus memakan banyak korban, setiap kita harus senantiasa waspada dan berhati-hati. Tetap berikhtiar, berusaha, berdoa, dan bermunajat kepada Allah agar pandemi ini segera berakhir. “Mari kita jadikan momentum ini untuk mengaktualisasikan takwa dan keshalehan diri dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, kemanusiaan secara universal,” pesannya.
Perbedaan dalam beragama, bersuku, berbangsa, bernegara, ras, maupun golongan jangan sampai menghalangi kita untuk menjalin ukhuwah kepada sesame anak cucu Adam. Menjalin rasa untuk saling mengenal antara satu dengan yang lainnya dapat menumbuhkan rasa toleransi di tengah perbedaan, dan kita menjadi kesatuan manusia yang utuh.
Dalam upaya membangun solidaritas sosial di tengah pandemi, dibutuhkan sikap kasih sayang kepada sesama, welas asih, yang akan melahirkan empati, simpati, dan persaudaraan tanpa deskriminasi. Islam mengajarkan kasih sayang yang melintasi. sebagaimana sabda Nabi, “Tidak disebut orang yang beriman sampai dia terbukti mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”.
“Bagi mereka yang memiliki kelebihan, sudah saatnya untuk peduli kepada sesama. Mereka adalah manusia seperti kita. Dalam diri mereka ada hak dari kekayaan yang kita miliki,” ujar Haedar. (diko)