Rheza Firmansyah
Hampir dua bulan lebih Indonesia dilanda pandemi corona virus disesase 2019 (Covid-19). Kondisi demikian tentu merubah perilaku dan pola hidup masyarakat Dunia pada umumnya dan terkhusus pada masyarakat Indonesia. Beberapa sektor ekonomi masyarakat yang terdiri dari sektor transportasi, pariwisata, layanan jasa, dan sektor usaha lainnya turut berhenti akibat pandemi covid19. Hal demikian tentu berimplikasi pada maraknya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tentunya akan menambah jumlah daftar angka kemiskinan di Indonesia. Dilain sisi masyarakat juga harus dihadapkan dengan kondisi yang mengancam keselamatan jiwa dan kesehatan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementrian Kesehatan RI (Kemenkes RI), menjelang lebaran korban positif terpapar covid 19 melonjak drastis bahkan menyentuh angka 900 (Sembilan ratus) orang. Tentu 900 orang tersebut berpotensi menularkan covid 19 kepada yang lain.
Tentu tidak mudah menentukan pilihan antara tetap bekerja dibawah ancaman covid 19. Namun disisi lain muncul sebuah wacana dari Pemerintah agar masyarakat dapat berkompromi atau berdamai dengan keberadaan covid 19. Wacana ini sempat membuat “geger” publik sacara umum. Bagaimana mungkin angka korban positif covid-19 terus melonjak disisi lain mayarakat diminta harus berdamai dan berkompromi dengan kondisi demikian? Apakah kebijakan ini relevan dengan adagium hukum tertinggi adalah keselamatan masyarakat?
Lantas bagaimana salah satu fungsi dan tugas negara menjaga jiwa dan seluruh tumpah darah rakyat Indonesia sebagaimana amanat konstitusi?
Wacana kebijakan berdamai dan berkompromi dengan covid ini bukanlah kebijakan yang semata mata keluar dan ditetapkan begitu saja, akan tetapi ada pertimbangan yang penting yaitu masyarakat harus kembali produktif dengan menjaga protokol kesehatan. Artinya aktivitas akan berjalan seperti sedia kala, namun masyarakat diminta tetap menjalankan pencegahan penularan Covid-19. Masyarakat tetap diminta melakukan praktik cuci tangan, menjaga jarak, hingga mengenakan masker saat ke luar rumah. Sekilas kebijakan tersebut mudah untuk dipahami namun sulit untuk dilaksanakan. Alih- alih ingin covid segera enyah dari Indonesia, banyak masyarakat tidak patuh akan himbauan dan kebijakan tersebut. Disisi lain pemerintah juga terkesan tarik ulur terhadap kebijakan pencegahan dan penanganan covid-19. Persoalan demikian menjadikan upaya pencegahan dan penanganan covid 19 justru menjadi boomerang bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Akar Persoalan
Jika ditinjau dari ilmu peraturan perundang- undangan, pada dasarnya Indonesia telah memiliki UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina wilayah. Namun peraturan teknis yang menjelaskan dari UU No. 6 Tahun 2018 justru menimbulkan pemaknaan ganda dan penafsiran yang bertentangan dengan UU Karantina. Sebagai contoh, pasal 2 ayat (1) PP No. 21 Tahun 2020 tentang PSBB yang berbunyi: Dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/ kota tertentu. Perlu menjadi perhatian bahwa frasa atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang, berimplikasi objek PSBB tidak hanya kegiatan sosial akan tetapi juga mengatur soal perpindahan dan pergerakan orang atau barang baik antar kota dalam provinsi maupun antar kota antar provinsi.
Dilhat dari konstruksi pembentukan UU No. 6 Tahun 2018, telah dibedakan antara rezim PSBB dan Karantina Wilayah. Perbedaan tersebut terletak pada penjelaskan pasal 1 angka 11 UU tersebut yang membatasi PSBB hanya sebatas “kegiatan penduduk” saja. Sedangkan kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan dalam bentuk mengumpulkan masa dan bersifat kolektif seperti kegiatan sekolah, perkantoran, acara keagamaan, pertujukan,dsb. Batasan- batasan tersebut seharusnya menjadi acuan implementasi kebijakan PSBB. Sementara pasal 1 angka 10 UU tersebut “pembatasan penduduk” merupakan objek dari Karantina Wilayah. Berdasarkan konstruksi tersebut dapat disimpulkan bahwa PP No 21 Tahun 2020 sejatinya merupakan bagian dari rezim Karantina Wilayah mengingat pasal 2 ayat (1) PP PSBB telah mengatur tentang pembatasan kegiatan kolektif, tetapi mencakup pembatasan pergerakan orang secara individual. Maka, wajar bila kebijakan PSBB ini terkesan tarik ulur dan muncul fenomena pembukaan Bandara secara tiba- tiba yang dilakukan pemerintah.
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa akar persoalan tarik ulur kebijkan ini pada dasarnya dimulai oleh pemerintah yang membuka “kran” perdebatan soal peraturan teknis pencegahan dan penanganan covid 19.
Bersikap Terhadap Kebijakan
Cukup pelik persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini di tengah pandemi covid 19. Contoh diatas adalah sebagian kecil dari mis konsepsi dari tata peraturan perundang- undangan yang berdampak pada kehidupan sosial bermasyarakat. Meminjam istilah Buya Syafii energi bangsa kita saat ini sudah habis terkuras dalam penanganan pandemi ini, oleh karena itu sebagai masyarakat tentu jangan menambahkan beban yang lebih berat lagi kepada bangsan dan negara Indonesia. Dalam ajaran islam mengajarkan bahwa ketaatan dan kepatuhan tersebut menjadi fondasi utama dalam kehidupan Bergama sebagaimana Firman Allah, SWT dalam surat An- Nisa:59 “ Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan ulil amri kalian.” Kaitanya dengan konteks ayat ini Al Mawardi memberikan gambaran bahwa jika Imam telah menjalankan kewajibannya dan memenuhi hak-hak rakyat, rakyat wajib mematuhi dan mendukung kebijaksanaannya.
Selain itu dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muslim Rasulullah, SAW bersabda: “Barang siapa yang melepaskan tangannya bai’atnya (memberontak) hingga tidak taat ( kepada pemimpin ) dia akan mememui Allah dalam keadaan tidak berhujjah apa-apa.” (HR. Muslim). Ayat dan hadits tersebut memberikan gambaran yang jelas bagaimana kita bersikap terhadap kebijakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ketaatan rakyat dan pemerintah sejatinya diikuti oleh prinsip hak dan kewajiban antara rakyat dan pemerintah.
Rakyat memiliki hak untuk menilai kebijakan pemerintah sebaliknya pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan rakyat melalui kebijakan yang dikeluarkan atau ditetapkan.
Namun meskipun demikian sebagian masyarakat Indonesia tidak memahami akan adanya hal demikian, bahkan tidak jarang ada tuduhan- tuduhan miring terhadap kinerja Pemerintah saat ini bahkan sampai ada yang melabelinya dengan Dzalim. Kaitanya dengan kekhawatiran sebagian pihak tentang kebijakan pemerintah, sejatinya sudah difasilitasi oleh negara melalui Pasal 75 ayat (1) UU 30/2014 (UU Adpem) menentukan bahwa Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Dengan adanya ketentuan demikian maka terjawablah suara dari sebagian masyarakat yang khawatir akan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Oleh karena itu upaya administratif perlu diutamakan ketimbang upaya yang lain.
Rheza Firmansyah, Alumnus Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, Anggota Bidang Hukum HAM PWPM DIY