Oleh: Hasnan Bachtiar
Semua negara di dunia memang prihatin, ketika berhadapan dengan wabah pandemik Covid-19. Akibatnya, mereka merasa terpuruk. Bahkan, ancaman krisis dan depresi ekonomi, mulai menghantui masa depan mereka.
Kendati demikian, di antara keterpurukan yang ada, apa yang dihadapi Iran mungkin lebih berat. Boleh dikatakan, jalan yang harus ditempuh untuk bangkit, lebih terjal dan berliku.
Kita tahu bahwa perekonomian Iran “lumpuh” akibat sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) berkaitan dengan masalah nuklir. Tapi kini, di tengah kelumpuhan yang dideritanya, ia harus menjadi episentrum penyebaran Covid-19 di Timur Tengah.
The Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) telah menumbangkan lebih banyak nyawa di sana, dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan. Tehran secara resmi mengkonfirmasi adanya 106.220 kasus dan lebih dari 6.500 orang meninggal dunia. Sementara itu, menurut laporan lainnya, angka-angka yang ada menyangkut virus tersebut, jauh lebih tinggi.
Krisis akibat Covid-19 ini, terjalin erat dengan sanksi AS yang masih berlangsung. Karena itu, negara Persia ini harus memutuskan berbagai pilihan yang serba sulit, terutama berkaitan dengan bagaimana menghadapi krisis kemanusiaan dan ekonomi.
Sanksi AS berdampak pada masalah keuangan dan transaksi bisnis Iran dengan dunia luar. Termasuk di antaranya adalah penghentian ekspor minyak Iran; sebagai sumber pendapatan utama Tehran. Sementara itu, ketika pandemi berlangsung, yang menjadikan situasi semakin runyam adalah Iran sendiri harus berhadapan dengan masalah kekurangan obat-obatan, fasilitas dan layanan kesehatan yang tidak mencukupi, serta sistem pemerintahan teokratis-pluralis yang tidak berfungsi dengan baik dalam melayani kepentingan publik.
Kendati Iran harus menanggung dampak yang luar biasa yang timbul dari sanksi AS dan Covid-19, pusat perhatian pemerintah Iran pada masalah keamanan nasional dan regional sama sekali tak tergoyahkan. Sejak pandemi menyerang, sama sekali tidak mengubah status permusuhan abadinya dengan AS. Tidak pula negeri para Ayatullah ini lantas mengurangi dukungannya pada peran-peran strategis milisi Syiah di Irak, rezim Bashar al-Assad di Suriah, Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman.
Iran sama sekali tidak melunak dan lantas kemudian menyetujui kesepakatan dengan Presiden AS, Donald Trump. Hal ini, terutama mengenai isu pencabutan perjanjian multilateral nuklir Iran, yang diteken pada Juli 2015 (yang secara resmi disebut the Joint Comprehensive Plan of Action; disingkat JCPoA). Iran tampaknya juga sama sekali tidak berkecil hati, ketika harus berhadapan dengan kebijakan tekanan maksimal AS dalam rangka menjinakkannya. Iran justru menentang dan menantang semua perlakuan AS, apapun bentuknya.
Ketegangan-ketegangan yang ada antara Tehran dan Washington selama ini, adalah berkaitan dengan berbagai proxy-conflict di negara-negara kawasan, terutama Irak. Mereka, – antara milisi Syiah vis-a-vis tentara AS – masih bersemangat untuk saling memukul satu sama lain di sana. Pada perkembangan terkini, kedua belah pihak saling saling menuduh, mengecam dan mengancam satu sama lain. Terutama soal operasi laut kapal perang mereka, di mana Angkatan Laut AS mendapatkan perintah khusus dari Trump, untuk menenggelamkan setiap armada Iran yang dianggap mengganggu di sekitar gurun Persia.
Seiring dengan situasi di kawasan yang terus memanas, pada akhir April lalu, pasukan khusus Iran yang tangguh (Islamic Revolutionary Guard Corps/IRGC) meluncurkan satelit mata-mata mereka ke orbit udara. Tentu hal yang menjadikan Washington terganggu ini, menyulut reaksi Trump. Presiden yang ceplas-ceplos ini menyebut mereka organisasi teroris.
Tehran menjelaskan bahwa satelitnya memiliki banyak fungsi, yang memperluas jangkauan operasi intelijen strategis IRGC. Fungsi yang paling menonjol adalah meningkatkan kemampuan misil mereka. Tapi pesan utama yang ingin disampaikan Tehran adalah kebijakan luar negeri AS untuk menjinakkan Iran, relatif gagal.
Mike Pompeo, Sekretaris Negara AS, mengecam berbagai kemajuan yang diupayakan Tehran. Terutama, berkaitan dengan pengembangan alusista canggih mereka. Di samping itu, Washington juga memblokade permohonan Tehran untuk mendapatkan bantuan hutang dari IMF sebesar lima miliar dolar untuk menangani merebaknya wabah pandemik Covid-19. Dengan segala upaya yang dilakukan, tercatat bahwa Washington saat ini telah menyiapkan draf resolusi yang akan diajukan ke Dewan Keamanan PBB agar supaya PBB memberikan sanksi kepada Iran yang sebelumnya angkat kaki dari perjanjian nuklir JCPoA. Kendati demikian, walau Iran bukan lagi menjadi anggota JCPoA, permohonan AS tersebut di-veto oleh Rusia dan Tiongkok.
Sementara itu, dalam konteks konfrontasi AS-Iran, negeri Paman Sam selama ini selalu didukung oleh Arab Saudi dan Israel. Di Irak sendiri, pasukan militer AS sebenarnya berjumlah dua kali lipat dari yang diberitakan secara resmi di hadapan publik, yakni hanya 5.200. Meskipun parlemen Irak menetapkan “resolusi tidak mengikat” penarikan tentara AS di sana, – yang disebabkan oleh karena pembunuhan seorang jenderal Iran, Qassim Soleimani di awal Januari lalu – nyatanya Trump malah menebar ancaman menjatuhkan ekonomi Irak, jika resolusi tersebut dipaksakan.
Karena itu, menurut sumber dari Irak, tentara AS akan tetap berada di sana dan menunggu perintah dari Washington untuk melancarkan serangan kepada Iran pada awal 2021, jika Trump terpilih kembali dalam Pemilu Amerika. Jika nanti hal ini benar-benar terjadi, tentu segala yang dilakukan AS akan meledakkan episode perang berikutnya di Irak (sebagai medan tempur) dan pasti akan merembet ke timbulnya perang regional yang mengerikan. Iran, akan melakukan upaya balas dendam dengan segala cara.
Kendati demikian, ketika nanti pandemi mulai reda, pemerintah Republik Islam Iran masihlah terlalu berat untuk bangkit. Terutama dalam rangka membawa perekonomian Iran ke taraf yang lebih stabil. Iran tidak punya banyak pilihan untuk bermanuver di kawasan, kecuali akan memusatkan perhatian ke normalisasi sosial dan ekonomi masyarakat pasca pandemi Covid-19, dan menghadapi sanksi AS.
Namun, bukan berarti tidak ada jalan alternatif untuk menyiasati sanksi AS. Salah satu pilihan Iran adalah bernegosiasi-ulang mengenai keanggotaannya di JCPoA. Dalam konteks JCPoA, sebenarnya administrasi Trump menerapkan “sanksi drakonian” yang cenderung menghakimi, menghukum dan menghancurkan. Hal ini tentu bisa digunakan sebagai jalan masuk adanya renegosiasi (karena sanksi yang ada, bersifat destruktif, berat sebelah dan sangat merugikan). Tapi, tentu ini mestinya bukanlah pilihan yang dikehendaki oleh pimpinan tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei. Sementara itu, sepertinya berbeda situasinya di lingkaran Presiden Hassan Rouhani yang lebih moderat. Ia sebenarnya cenderung membuka diri untuk berdialog dengan Washington, selama sanksi yang saat ini diterapkan, dicabut.
Pilhan renegosiasi ini kemungkinan besar akan sangat menghemat anggaran keamanan regional Iran. Terlebih bahwa, saat ini Iran telah menghabiskan pengeluaran lebih dari biasanya dalam penguatan militer di tanah Levant, perbaikan ekonomi dan juga urusan reformasi struktural di dalam negeri. Tentu saja langkah yang ditempuh ini tidak akan serba mudah, terlebih bahwa isu keamanan nasional di dalam, terjalin erat dengan isu keamanan regional yang kompleks. Tanpa melalui jalan alternatif ini, dinamika politik dan keamanan di kawasan akan terus memanas. Mungkin saja konsekuensi-konsekuensi (entah itu baik atau sebaliknya) yang tak terprediksi sebelumnya bagi Iran dan kawasan, akan timbul.[]
Hasnan Bachtiar, Dosen UMM, Menekuni Hukum Perang dan Hubungan Internasional, Alumnus The Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS) Middle East and Central Asia, The Australian National University (ANU), Australia.