Menghadapi Covid-19 dengan Bersyukur dari Satu Nikmat ke Nikmat yang Lain

Oleh: Miqdam Awwali Hashri

Bulan Ramadhan dan hari Idul Fitri tahun 1441 H atau 2020, bisa dikatakan cukup bersejarah yang bisa menjadi kisah bagi anak cucu kelak. Pasalnya, selama satu bulan penuh berpuasa, kita ditemani oleh wabah covid-19. Wabah yang mulai muncul di Wuhan China pada sekitar akhir tahun 2019 kemudian mulai dinyatakan positif masuk di Indonesia pada awal Maret 2020 dan masih mewabah hingga Hari Idul Fitri yang kita rayakan pada 1 Syawwal 1441 atau  24 Mei 2020 kemarin.

Merebaknya wabah covid-19 tentu menjadi suatu keprihatinan bagi kita, terutama bagi umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Perjuangan melawan covid-19 tetap digelorakan. Bahkan Muhammadiyah telah mengucurkan dana sekitar Rp143M dan sampai detik ini masih tetap mendeklarisikan perlawanan sekalipun pemerintah sempat menyatakan ajakan kepada masyarakat agar berdamai dengan covid-19.

Meskipun wabah covid-19 merupakan bagian dari suatu musibah, namun dalam menyikapinya tetap harus mengedepankan rasa syukur. Sejatinya nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT untuk umat manusia di dunia ini sangat berlimpah. Kadangkala manusia beranggapan bahwa musibah itu adalah kenikmatan yang tercerabut, padahal hakikatnya hanyalah perpindahan nikmat dari satu nikmat ke nikmat yang lain. Jika kita mampu memahami hal tersebut, maka kita akan selalu memunculkan rasa syukur dalam setiap kondisi. Kita ambil beberapa contoh empiris dilapangan berdasarkan pengamatan sederhana di tengah-tengah masyarakat.

Pertama, wabah covid-19 menyebabkan sebagian perusahaan, instansi pemerintahan, BUMN, dsb, menerapkan prinsip kerja work from home (WFH) atau bekerja dari rumah. Sebelum terjadinya wabah covid-19, masyarakat pada umumnya yang bekerja di perkotaan seperti di Jakarta berangkat dari rumah ke kantor pada saat masih pagi-pagi sekali. Mereka menuju kantor menggunakan moda transportasi Commuter Line. Sesampai di kantorm, kemudian mereka bekerja secara rutin seperti rapat, diskusi, bertemu dengan mitra, dsb. Mereka menikmati itu dan mensyukuri atas anugerah pekerjaan yang mereka dapatkan, sekalipun terkadang ketika pulang bekerja mereka mendapati anak-anak mereka sudah tidur karena dia pulangnya malam.

Namun dalam kondisi wabah covid-19 yang menghendaki mereka bekerja dari rumah, maka harus tetap disyukuri. Jika sebelumnya mereka menikmati bertemu dengan mitra dilakukan dengan tatap muka secara langsung, maka untuk saat ini dilakukan dengan cara video call. Sebaliknya, mereka lebih banyak bertemu dengan anggota keluarga. Kondisi ini seakan dibalik yang sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang lain, maka saat ini lebih banyak waktu bersama dengan keluarga di rumah sekalipun tetap menjalankan tanggungjawab dalam bekerja. Hal ini sejatinya merupakan bagian dari nikmat Allah yang harus disyukuri.

Kedua, wabah covid-19 menyebabkan sekolah-sekolah menerapkan prinsip learn from home (LFH) atau belajar dari rumah. Hampir sama dengan pekerja, pelajar juga melakukan pembelajaran dari rumah. Sebelumnya mereka menikmati bagaimana bersekolah dan belajar langsung dari para guru, namun ketika menerapkan prinsip belajar LFH, mereka akan diajari  dan diawasi oleh orang tua. Hal ini pun bisa menjadi pembelajaran bagi anak agar mereka juga bisa merasakan bagaimana rasanya tidak belajar di sekolah, sebagaimana anak-anak yang tidak mampu bersekolah. Orang tua pun juga bisa memahami secara langsung proses belajar sang anak. Dengan demikian, diharapkan anak akan lebih mensyukuri kondisinya yang dapat bersekolah sekalipun dalam proses belajar di sekolah menghadapi kesulitan dan kelelahan.

Ketiga, kaitannya dengan kegiatan beribadatan khususnya bagi umat Islam, diharapkan mampu melakukan penyesuaian. Otoritas keagamaan dan organisasi Islam seperti MUI dan Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa dan himbauan, khususnya dalam hal pelaksanaan ibadah seperti shalat fardhu berjamaah di masjid, shalat jumat, dan shalat Id. Maka dalam kondisi wabah covid-19 seperti ini, muncullah ungkapan “berpindah dari satu sunnah kepada sunnah yang lain”. Maksudnya adalah bahwa putusan fatwa dan himbauan yang telah disampaikan oleh para ulama yang tergabung dalam wadah organisasi tersebut, didasarkan pada tuntunan syariat sebagaimana dalil-dalil yang ada di dalam Al Quran dan Hadits.

Diantaranya yang cukup menarik adalah adanya himbauan agar shalat Id dilakukan di rumah masing-masing. Ini tentu menjadi hal yang baru bagi umat Islam secara umum yang ada di Indonesia. Mengingat bahwa shalat Id biasa dilakukan di tanah lapang atau masjid, maka hal ini menjadi suatu perbincangan yang menarik di tengah-tengah umat Islam.

Ada sebagian umat Islam yang masih ingin tetap menggelar shalat Id di masjid padahal hal tersebut hendaknya dihindari karena sangat berpotensi menimbulkan kerumunan yang merupakan salah faktor penyebab penularan covid-19.

Padahal jika kita mau merenung sejenak, himbauan pelaksanaan shalat Id di rumah ini merupakan hal baik. Selain mengurangi risiko penularan covid-19, ini menjadi momentum bagi umat Islam untuk mencetak jutaan imam dan khatib secara serentak. Tentu hal ini dapat mendorong, khususnya kepala rumah tangga yang akan menjadi imam dan khatib pada saat pelaksanaan shalat Id di rumah, untuk meningkatkan literasi keagamaan. Mereka akan terpacu untuk mencari referensi sebagai imam dan khotib yang memenuhi kaidah sebagaimana ketentuan syariah dalam berkhutbah.

Hikmah lain yang harus disyukuri adalah ketika menjelang akhir bulan Ramadhan lalu, telah banyak beredar broadcast bahan-bahan materi khutbah shalat Id yang tentunya ini sangat membantu masyarakat. Hal ini hendaknya dipandang sebagai suatu hal yang positif karena merupakan bagian dari meningkatkan literasi umat.

Bisa dibayangkan bagaimana jika masyarakat, khususnya kepala rumah tangga yang akan menjadi khatib, harus menyusun materi khutbah sendiri. Tidak semua orang mampu membuat naskah khutbah, termasuk pengetahuan tentang rukun-rukun khutbah. Bagi yang sudah terbiasa, mungkin hal itu mudah saja. Namun demikian, tentu lebih banyak masyarakat yang tidak biasa bahkan tidak pernah menjadi khatib.

Hal ini menjadi suatu yang patut direnungkan bahwa tugas seorang khatib itu sejatinya tidak mudah. Selain persiapan bahan khutbah, perlu juga mempersiapkan sikap dan mental untuk menghadapi jamaah sekalipun jamaahnya adalah anggota keluarganya sendiri. Oleh karena itu, harus diperhatikan bagi para jamaah untuk  menghormati khotib saat sedang berkhutbah dengan cara menyimak dengan seksama apa yang disampaikannya agar hal itu dapat menambah keimanan dan ketakwaan para jamaah. Maka bersyukurlah kepala keluarga yang pada hari Idul Fitri lalu bertindak sebagai khatib bagi keluarganya karena memiliki pengalaman sebagai khotib ditengah wabah covid-19 yang bisa jadi tidak dimiliki oleh orang lain, yang masih tetap menjadi makmum pada shalat Id di tengah kerumuman.

Masih banyak contoh-contoh empiris yang bisa kita amati berdasarkan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Namun dari sekian realita yang terjadi di tengah masyarakat dalam menghadapi wabah covid-19 ini adalah yang paling penting adalah rasa syukur kita kehadirat Allah. Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari peristiwa ini dari pada kita disibukkan dengan polemik dan keluhan. Namun jangan kaget jika kita lebih banyak mendapati orang yang mengeluh daripada bersyukur karena secara nature orang yang bersyukur lebih sedikit daripada yang tidak. Pada intinya, kehidupan ini adalah bersyukur dari satu nikmat ke nikmat yang lain.  

Wallahua’lam bi shawwab

Miqdam Awwali Hashri, warga Muhammadiyah Cabang Pasuruhan, Kudus, Jawa Tengah

Exit mobile version